Masih Untung Tidak Sampai Disembelih, hanya DIPERKOSA
Mungkinkah seseorang ber-SQ Tinggi, namun Tidak
ber-Otak alias ber-IQ Tiarap? IQ Rendah, cenderung Memiliki EQ dan SQ yang juga
Sama Rendahnya
Hak Asasi Anak, Bukan Hak Orangtua untuk Merampas
Masa Depan dan Kepentingan / Kebaikan seorang Anak
Seni Pikir dan Tulis bersama Hery Shietra
Menurut Anda, menentukan nama seseorang,
apakah merupakan “hak asasi orangtua” ataukah “hak asasi anak”? Jika Anda,
selaku orangtua, hendak merubah nama anak Anda di dalam akta perkawinan, maka Anda
harus mendapatkan surat kuasa dari anak Anda yang berisi persetujuan anak
bersangkutan, barulah pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat akan
mendaftarkan perubahan nama sang anak secara resmi ke dalam Akta Kelahiran sang
anak. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak telah menegaskan, menentukan nama
adalah “hak asasi anak” (the right of self determination). Itu baru urusan
menentukan nama, bagaimana dengan hak-hak anak lainnya seperti hak untuk hidup?
Anehnya, banyak umat manusia
yang dengan bangga merayakan serta membudayakan apa yang disebut sebagai “Hari
Raya PESUGIHAN”—yang bermakna, menumbalkan hidup anak demi kepentingan pribadi
alias ego orangtua semata. Alkisah, pada suatu pagi, seorang ayah mendatangi
putrinya yang masih gadis remaja dan cantik jelita, manis nan gemulai, serta berdada
“montok”, sembari berkata sebagai berikut : “Wahai puteri-ku ciptaan Tuhan yang cantik dan kulit seputih mutiara, yang
sangat Ayah sayangi, yang juga sangat Ayah cintai, tadi malam Ayah bermimpi
meniduri dan menyetubuhi dirimu! Ada bisikan dari Tuhan yang memerintahkan
Ayah, hamba yang beriman ini, untuk meniduri dan menyetubuhi anak gadis
tercantik yang paling Ayah sukai dan cintai. Sebagai hamba-hamba ciptaan Tuhan,
bagaimana menurut pendapatmu, wahai Puteri-ku?”
Berhubung sang puteri juga
sama-sama umat yang beriman kepada ‘Tuhan’, maka tanpa pikir panjang, sang
puteri pun memberi respons dengan jawaban berikut : “Wahai Ayah-ku yang beriman, bila memang itu kehendak dan perintah
Tuhan, maka biarlah terjadi. Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar. Apa yang telah Tuhan halal-kan
bagimu, janganlah di-haram-kan.”
Maka tanpa pikir panjang lagi, sang
ayah kemudian membaringkan puterinya di ranjang yang empuk, mulai melucuti
pakaiannya sendiri serta busana puterinya satu per satu, dalam rangka demi
menjalankan perintah ‘Tuhan’. Namun, saat sang ayah yang nafasnya sudah “memburu”
dan kulit tubuhnya demikian menjelma merah dikuasai oleh nafsu birahi, meraba-raba,
meremas-remas, dan saat akan melakukan “penetrasi” ke dalam lubang senggama
puteri-nya yang masih “virgin”, sang
puteri baru tersadarkan dari lamunan “naif” atau kepolosannya yang membahayakan
diri, kehormatan, maupun keselamatan dirinya sendiri.
Bagai bangun dari mimpi dan
tidur, mendadak sang puteri meronta dan mendorong tubuh sang ayah, dan mulai
menyadari bahwa sang ayah telah mendapat bisikan “SETAN” ketimbang bisikan
ilahi. Tidak mungkin Tuhan memberikan perintah ataupun bisikan untuk menyakiti
makhluk hidup lainnya, merampas hidup, ataupun merugikan pihak-pihak lainnya.
Menjadi jelas saat kini, dengan pikiran yang lebih jernih, bahwa senyatanya sang
ayah telah mendapatkan bisikan “SETAN” (satanic
whisper), sehingga menjadi “kesetanan” hendak memangsa anaknya sendiri—kasus
lainnya ialah, menumbalkan / menyembelih anak, semata agar sang ayah
mendapatkan bidadari di surga.
Mendapati sang anak tiba-tiba
melakukan perlawanan, sang ayah menjerit, “Kamu
anak gadis yang tidak soleh! Perempuan yang tidak beriman! Tidak patuh pada
perintah Tuhan!” Namun sang anak gadis bersikukuh untuk mempertahankan
kehormatan dan ke-gadis-an dirinya sebagai harta yang berharga untuk
dipertahankan, sekalipun dari orangtua-nya sendiri. Tuhan telah memberikan umat
manusia otak untuk berpikir, bukan untuk dibuang dan digadaikan demi “iman yang
tidak cerdas”, namun “beriman secara cerdas”. Inilah yang kemudian dikatakan oleh
sang ayah kepada puterinya yang menolak disetubuhi : “Masih untung kamu hanya diperintahkan untuk disetubuhi dan ditiduri oleh
ayahmu sendiri, bukan untuk disembelih oleh ayahmu!”
Atau, skenario kedua, bila
puterinya “tidak ber-otak”, bagai perempuan dungu yang “idiot”, maka sang puteri
akan pasrah saja ditanggali busananya, dan disetubuhi oleh ayah kandungnya
sendiri, hingga hamil jika perlu—semua adalah kehendak, rencana, serta seizin
Tuhan. Namun, mendadak ‘Tuhan’ mengubah sosok tubuh puterinya menjadi seekor
ternak, seperti sapi, kambing, atau domba, atau bahkan seekor kerbau, ataupun
seperti seekor keledai! Yang tentu
saja, tetap saja sang ayah yang “kesetanan” dikuasai oleh nafsu birahi tidak
terkendali, tetap menyetubuhi ternak tersebut. Sang ‘Tuhan’-pun kemudian
menyatakan, “Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.”
Sang keledai pun melenguh, “capek deh..., bukan salah bunda mengandung!”
Kita semua sepakat, bahkan bisikan yang diperdengarkan kepada sang ayah, bukanlah
bisikan Tuhan, namun bisikan setan yang menyaru sebagai Tuhan, setan berbulu
Tuhan. Namun, secara berstandar ganda, banyak umat dari agama samawi yang
justru melegalkan, menyetujui, serta membenarkan praktik yang lebih ekstrem,
yakni bisikan berisi perintah untuk membunuh anak kandungnya sendiri—bahkan
dirayakan, diperingati, dan dijadikan Hari Raya.
Selain Al-quran, perintah
penyembelihan (meng-kurban-kan) putra Ibrahim diceritakan pula dalam Alkitab.
Alkitab dengan jelas menyebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Ishak sedangkan
Alquran tidak menyebutkan secara spesifik nama putra Ibrahim yang akan
dikurbankan. Yang ironis serta memprihatinkan, yang menjadi perdebatan
masyarakat kita dari sejak dulu sampai saat kini, ialah tentang siapa yang akan
dikurbankan, Ishaq ataukah Ismail—bukan memakai otak dan moralitas untuk
melakukan “uji moril”, apakah niat buruk untuk menyembelih anak kandung sendiri
adalah terpuji ataukah tercela, patut diteladani ataukah dikutuk dan dikecam,
serta mengapa Ibrahim / Abraham tidak memilih untuk menyembelih lehernya sendiri?
Bahwa memiliki niat buruk untuk menyembelih leher anak sendiri, apakah bentuk
cinta ataukah justru EGO? Bahwa apakah mungkin Tuhan memberikan “bisikan SETAN”
(berisi perintah untuk membunuh) semacam itu ataupun pesugihan yang tidak ada
bedanya dengan menyembelih / merampas hidup anak sendiri demi kepentingan
pribadi sang orangtua?
Bila Anda tidak bergidik
membaca ayat-ayat “pesugihan” berikut, berarti Anda adalah tergolong sebagai
orangtua yang “psikopat”. Kita buka dengan mengutip teladan bagi para umat Nasrani
sebagaimana versi Alkitab. Kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada
Abraham (Ibrahim) tercatat dengan eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab)
22:1-3. [PERINGATAN / WARNING : DON’T TRY THIS AT HOME!]
(1) Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya:
“Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”
(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi,
yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai
korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
(3) Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana
keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia
membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke
tempat yang dikatakan Allah kepadanya. [NOTE : Menurut ilmu hukum, sudah terjadi delik
“percobaan pembunuhan”, karena melakukan persiapan yang juga merupakan delik
“pembunuhan berencana”.]
Atas dasar ayat inilah umat
Kristen meyakini bahwa anak yang akan dikurbankan oleh Abraham adalah Ishak dan
bukan Ismail sebagaimana kepercayaan Umat Islam di seluruh dunia, juga
di-“halal”-kan untuk dilakukan oleh para Nasrani kepada anak-anak kandung
mereka sendiri, alih-alih di-tabu-kan. Dalam kitab Kejadian 22:2 di atas, Allah
memerintahkan kepada Abraham mengambil anak tunggalnya, Ishak, untuk
dipersembahkan. Demi apa? Demi memuaskan EGO diri Abraham sendiri guna
mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya.
Pertanyaan nurani dan “akal
sehat”-nya bukanlah, apakah Ishak ataukah Ismail yang hendak coba dikorbankan
oleh Abraham, namun apakah praktik SETAN (kesetanan) demikian berbeda dengan
praktik perdukukan klenik “black magic”
seperti pesugihan yang mengorbankan anak kandung kesayangan para pelaku praktik
pesugihan? Semua dukun “black magic”,
ketika ditanya dari mana sumber kekuatan mistis pendukukannya, dijawab oleh
semua dukun manapun sebagai, “Dari Allah.”—Anda
lihat, semua dukun jahat sekalipun, mengaku-ngaku kekuatannya bersumber dari
Tuhan. Itulah ciri khas pola tingkah-laku setan, si “Maha Penyesat” yang haus
darah, suka menyaru sebagai Tuhan.
Kini kita membandingkan versi
dalam AL-QURAN, yang (justru) juga mempromosikan dan mengkampanyekan praktik
EGOSENTRIS dengan merampas hak hidup anak sendiri maupun orang lain demi
memakan iming-iming “masuk surga”, iman membuta mengangkangi akal sehat otak
(otak mana untuk berpikir sendiri merupakan pemberian dan anugerah terbesar
Tuhan, justru digadaikan), tidak mengkritisi dengan nurani apakah itu “bisikan
SETAN” ataukah “bisikan Tuhan”, dan tidak juga memilih untuk menyembelih
leher sendiri alih-alih menyembelih leher orang yang “terkasih” ataupun orang
lain—semata demi EGO pribadi untuk disebut “beriman”, untuk disebut sebagai
“nabi”, untuk disebut sebagai “calon penghuni surga”, “soleh”, “patuh”,
mendapat hadiah puluhan bidadari berdada “montok”, dsb.
Peristiwa pengurbanan ini
diceritakan juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa
menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita
simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada
Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.
[PERINGATAN / WARNING : PLEASE DON’T TRY THIS TO YOUR CHILDREN!]
(100) “Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.
(101) Maka Kami beri dia kabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang anak
yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]
(102) Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
sabar”. [NOTE
: Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya sendiri dengan
membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan darah anak
kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian Tuhan.
Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal melancarkan
niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah penjahat yang
selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]
(103) Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya).
(104) Dan Kami panggillah dia:
“Hai Ibrahim,
(105) susungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu
membenarkan bisikan sang setan.]
(106) Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya, Tuhan Maha Tahu, mustahil
masih perlu menguji umat manusia. Hanya setan, yang merasa perlu menguji
kedunguan umat manusia.]
(107) Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar.
(108) Kami abadikan Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang datang kemudian.
(109) (yaitu) “Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh orang
lain, justru diberikan “reward”
alih-alih diberi “punishment”. Jika
yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal
“percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]
(111) Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.
Sebaliknya, bertolak-belakang
secara kontras dengan kisah atau ajaran di atas, Buddhisme mengajarkan
cinta-kasih sejati yang tidak melekat juga tidak berupaya untuk menguasai
individu lainnya, namun melepaskan ego, yakni dengan cara melepaskan
orang-orang yang kita kasihi dari jeratan derita apapun—jika perlu mengorbankan
hidup kita demi keselamatan dan kebahagiaan hidup anak-anak yang kita kasihi
dan cintai. Mengorbankan hidup anak dengan mengatasnamakan agama, itulah ibadah
yang “penuh pertumpahan darah”, dimana para umatnya menjadi “haus darah”, SESAT
dan MENYESATKAN serta melanggar hak asasi anak!
Praktik ritual kurban atau
pengorbanan, versi Buddhistik, dapat kita jumpai dalam Khotbah Sang Buddha
di Sutta Pitaka, “Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha, Dīgha Nikāya” (salah
satu sutta dalam Tripitaka, versi terjemahan dari Bahasa Pali), diterbikan oleh
DhammaCitta Press, 2009: [NOTE : Catatan penyunting bagi para pembaca, untuk
diperhatikan, khotbah yang dibabarkan oleh Sang Buddha berikut telah
terjadi lebih dari 2.500 tahun yang lampau, jauh sebelum agama samawi lahir,
sehingga para umat dari agama samawi tersebut tidak memiliki hak untuk
melakukan “gugatan penistaan agama” terhadap Sang Buddha.]
~ Kåñadanta Sutta ~
PENGORBANAN TANPA DARAH
[127] 1. DEMIKIANLAH YANG
KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang melakukan perjalanan melewati
Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan Beliau tiba di sebuah desa Brahmana
bernama Khànumata. Dan di sana Beliau menetap di taman Ambalaññhikà. Pada saat
itu, Brahmana Kåñadanta sedang menetap di Khànumata, tempat yang ramai, banyak
rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Seniya
Bimbisàra dari Magadha sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan
kerajaan.
Dan Kåñadanta merencanakan upacara
pengorbanan besar: tujuh ratus ekor sapi, tujuh ratus ekor kerbau, tujuh
ratus ekor anak sapi, tujuh ratus ekor kambing jantan, dan tujuh ratus ekor
domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan.
2. Dan para Brahmana dan
perumah tangga Khànumata mendengar berita: ‘Petapa Gotama … sedang menetap di
Ambalaññhikà. Dan sehubungan dengan Gotama, Bhagavà Yang Terberkahi, telah
beredar berita: “Yang Terberkahi adalah seorang Arahat, Buddha yang telah
mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah
menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia
yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia,
seorang Buddha, Bhagavà Yang Terberkahi.” Beliau menyatakan kepada dunia ini
dengan para dewa, màra dan Brahmà, para petapa dan Brahmana bersama dengan para
raja dan umat manusia, setelah mengetahui dengan pengetahuan-Nya sendiri.
Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah
di akhir, dalam makna dan kata, dan Beliau memperlihatkan kehidupan suci yang
sempurna, murni sepenuhnya. Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahat
demikian.’ Dan mendengar berita itu, para Brahmana dan perumah tangga, berduyun-duyun
meninggalkan Khànumata, berjumlah sangat besar, pergi menuju Ambalaññhikà.
3. Kebetulan saat itu,
Kåñadanta baru saja naik ke teras rumahnya untuk istirahat siang. Melihat para
Brahmana dan perumah tangga berjalan menuju Ambalaññhikà, ia menanyakan
alasannya kepada pelayannya. Si pelayan menjawab: ‘Tuan, ini karena Petapa
Gotama, sehubungan dengan berita baik yang beredar: “Sang Bhagavà Yang
Terberkahi adalah seorang Arahat, … seorang Buddha, Sang Bhagavà Yang
Terberkahi”. Itulah sebabnya, mereka pergi menemui-Nya.’
4. Kemudian Kåñadanta berpikir:
‘Aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama memahami tentang bagaimana
menyelenggarakan dengan baik upacara pengorbanan tiga tingkat dengan
enam belas persyaratannya. Sekarang aku tidak memahami seluruhnya, namun aku
ingin melakukan upacara pengorbanan besar. Bagaimana jika aku menemui
Petapa Gotama dan bertanya kepada-Nya mengenai persoalan ini.’ Maka ia mengutus
pelayannya untuk menemui para Brahmana dan perumah tangga Khànumata dan memohon
agar mereka menunggunya.
5. Pada saat itu, beberapa
ratus Brahmana sedang berada di Khànumata bermaksud mengambil bagian dalam upacara
pengorbanan Kåñadanta. Mendengar niatnya untuk mengunjungi Petapa Gotama,
mereka datang dan bertanya apakah hal itu benar. ‘Demikianlah, Tuan-tuan, aku
akan mengunjungi Petapa Gotama.’
6. ‘Tuan, jangan mengunjungi
Petapa Gotama … (argumentasi yang persis sama dengan Sutta 4, paragraf 5). Oleh
karena itu, adalah tidak pantas bagi Yang Mulia Kåñadanta untuk mengunjungi
Petapa Gotama, melainkan sebaliknya, Petapa Gotama yang seharusnya
mengunjungimu.’
7. Kemudian Kåñadanta berkata
kepada para Brahmana: ‘Sekarang dengarkan, Tuan-tuan, mengapa kita pantas
mengunjungi Yang Mulia Gotama, dan mengapa Beliau tidak pantas mengunjungi kita
… (persis sama dengan Sutta 4, paragraf 6). Petapa Gotama telah tiba di
Khànumata dan sedang menetap di Ambalaññhikà. Dan petapa atau Brahmana mana pun
yang datang ke wilayah kita adalah tamu kita … Beliau melampaui segala pujian.’
8. Mendengar hal ini, para
Brahmana berkata: ‘Tuan, karena engkau begitu memuji Petapa Gotama, maka bahkan
jika Beliau berada seratus yojana jauhnya dari sini, adalah pantas bagi mereka
yang berkeyakinan untuk pergi dengan membawa tas bahu untuk mengunjungi Beliau,
marilah kita semua pergi mengunjungi Petapa Gotama.’ Dan demikianlah Kåñadanta
pergi bersama sejumlah besar Brahmana menuju Ambalaññhika. Ia mendekati Sang Bhagavà,
saling bertukar sapa dengan Beliau, dan duduk di satu sisi. Beberapa Brahmana
dan perumah tangga Khànumata bersujud kepada Sang Bhagavà, beberapa memberi
hormat dengan merangkapkan kedua tangannya, beberapa menyebutkan nama dan suku
mereka, dan beberapa duduk di satu sisi dan berdiam diri.
9. Duduk di satu sisi,
Kåñadanta berkata kepada Sang Bhagavà: ‘Yang Mulia Gotama, aku telah mendengar
bahwa engkau memahami bagaimana menyelenggarakan dengan baik upacara
pengorbanan tiga tingkat dengan enam belas persyaratannya. Sekarang aku
tidak memahami seluruhnya, namun aku ingin melakukan upacara pengorbanan
besar. Baik sekali jika Petapa Gotama sudi menjelaskannya kepadaku.’
‘Dengarkanlah, Brahmana, perhatikanlah dengan saksama dan Aku akan
menjelaskan.’ ‘Ya, Yang Mulia,’ Kåñadanta berkata, dan Sang Bhagavà berkata:
10. ‘Brahmana, pada suatu masa,
ada seorang raja yang bernama Mahàvijita. Ia kaya, memiliki banyak harta
kekayaan, dengan emas dan perak yang berlimpah, harta benda dan barang-barang
kebutuhan, dan uang, dengan gudang harta dan lumbung yang penuh. Dan ketika
Raja Mahàvijita sedang bersenang-senang sendirian, ia berpikir: “Aku memiliki
sangat banyak kekayaan, aku memiliki tanah yang sangat luas yang kutaklukkan. Seandainya
sekarang aku menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, apakah itu akan
memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?” dan ia memanggil
Brahmana-kerajaan, dan menceritakan pemikirannya. “Aku ingin menyelenggarakan
upacara pengorbanan besar. Instruksikan aku, Yang Mulia, bagaimana
langkahnya demi manfaat dan kebahagiaan bagiku untuk waktu yang lama.”’
11. ‘Si Brahmana-kerajaan
menjawab: “Negeri Baginda diserang oleh para pencuri, dirusak, desa-desa dan
kota-kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda
mengutip pajak atas wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda
berpikir: ‘Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi
dan hukuman penjara, atau dengan menyita, mengancam, dan mengusir’, gangguan
ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri
Baginda. Namun dengan rencana ini, engkau dapat secara total melenyapkan
gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini, yang bermata
pencaharian bertani dan beternak sapi, Baginda akan membagikan benih dan
makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, akan diberikan modal; yang
bekerja melayani pemerintahan akan menerima upah yang sesuai. Maka orang-orang
itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Penghasilan
Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak diserang oleh para
pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira, akan bermain dengan anak-anak
mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang terbuka.”’
‘Dan dengan mengatakan:
“Jadilah demikian!” raja menerima nasihat si Brahmana-kerajaan: ia memberikan
benih dan makanan ternak, memberikan modal kepada yang berdagang … upah yang
sesuai … dan masyarakat dengan hati gembira … menetap di dalam rumah yang
terbuka.’
12. ‘Kemudian Raja Mahàvijita
memanggil si Brahmana dan berkata: “Aku telah melenyapkan gangguan para
perampok; menuruti rencanamu, pendapatanku bertambah, negeri ini tenang dan
tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira
bermain dengan anak-anak mereka dan menetap di dalam rumah yang terbuka.
Sekarang aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar.
Instruksikan aku bagaimana cara menyelenggarakannya agar memberikan manfaat
dan kebahagiaan kepadaku untuk waktu yang lama.” “Untuk hal ini, Baginda, engkau
harus memanggil para Khattiya dari kota-kota dan desa-desa, para penasihatmu,
para Brahmana yang paling berpengaruh, dan para perumah tangga kaya di negerimu
ini, dan katakan pada mereka: ‘Aku ingin menyelenggarakan upacara
pengorbanan besar. Bantu aku, Tuan-tuan, agar ini memberikan manfaat dan
kebahagiaan kepadaku untuk waktu yang lama.’”’
‘Raja menyetujui, dan melakukan
instruksi tersebut. “Baginda, pengorbanan dapat dimulai, sekarang adalah
waktunya. Empat kelompok penerima ini akan menjadi pelengkap dalam pengorbanan
ini.’
13. ‘“Raja Mahàvijita memiliki
delapan hal. Ia terlahir mulia dari kedua belah pihak, … (seperti Sutta 4,
paragraf 5), kelahiran yang tanpa cela. Ia tampan … tidak ada bagian yang
berpenampilan rendah. Ia kuat, memiliki empat kesatuan bala tentara yang setia,
dapat diandalkan, meningkatkan reputasinya di antara musuh-musuhnya. Ia adalah
seorang pemberi dan tuan rumah yang bertanggung jawab, tidak menutup pintu
terhadap para petapa, Brahmana dan pengembara, para pengemis dan mereka yang
membutuhkan – sebuah mata air kebajikan. Ia sangat terpelajar dalam hal apa
yang harus dipelajari. Ia memahami makna dari apa pun yang dikatakan, dengan
mengatakan: ‘Ini adalah apa yang dimaksudkan.’ Ia terpelajar, sempurna,
bijaksana, kompeten untuk menikmati manfaat-manfaat di masa lampau, masa depan,
dan masa sekarang. Raja Mahàvijita memiliki delapan hal ini. Ini merupakan
perlengkapan untuk upacara pengorbanan.’
[138] 14. ‘“Brahmana kerajaan
memiliki empat hal. Ia terlahir mulia …. Ia terpelajar, ahli dalam
mantra-mantra …. Ia berbudi, moralitasnya meningkat, memiliki moralitas yang
meningkat. Ia terpelajar, sempurna dan bijaksana, dan merupakan yang pertama
atau ke dua dalam memegang sendok pengorbanan. Ia memiliki empat hal
ini. Ini merupakan perlengkapan untuk upacara pengorbanan.’
15. ‘Kemudian, sebelum pengorbanan,
si Brahmana mengajarkan tiga syarat kepada Sang Raja. “Mungkin Baginda merasa
menyesal akan upacara pengorbanan ini: ‘Aku akan kehilangan banyak
kekayaan’, atau selama upacara: ‘Aku sedang kehilangan banyak kekayaan’, atau
setelah upacara: ‘aku telah kehilangan banyak kekayaan.’ Jika demikian, maka
Baginda tidak boleh merasa menyesal.”’
16. ‘Kemudian, sebelum pengorbanan,
si Brahmana melenyapkan kecemasan Sang Raja dalam sepuluh kondisi untuk si
penerima: “Yang Mulia, akan tiba dalam upacara pengorbanan ini, mereka
yang melakukan pembunuhan dan mereka yang menghindari pembunuhan. Kepada
mereka yang melakukan pembunuhan, biarkanlah mereka; tetapi kepada mereka yang
menghindari pembunuhan akan mendapatkan pengorbanan yang berhasil dan akan
bergembira dalam pengorbanan ini, dan hati mereka akan tenang. Akan tiba
dalam upacara pengorbanan ini, mereka yang mengambil apa yang tidak
diberikan dan mereka yang menghindari …, mereka yang menikmati hubungan seksual
yang salah dan mereka yang menghindari …, mereka yang mengucapkan kebohongan …
, mengucapkan kata-kata fitnah, kasar dan kata yang tidak berguna … , mereka
yang serakah dan yang tidak, mereka yang menyimpan rasa benci dan yang tidak,
mereka yang berpandangan salah dan yang tidak. Kepada mereka yang berpandangan
salah, maka biarkanlah mereka; tetapi kepada mereka yang berpandangan benar
akan mendapatkan pengorbanan yang berhasil dan akan bergembira dalam
pengorbanan ini, dan hati mereka akan tenang.” Demikianlah sang Brahmana
melenyapkan keraguan Raja dalam sepuluh kondisi.’
17. ‘Demikianlah sang Brahmana
menginstruksikan Raja yang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar dengan
enam belas alasan, mendesaknya, menginspirasinya, dan menggembirakan hatinya.
“Orang-orang akan berkata: ‘Raja Mahàvijita sedang menyelenggarakan upacara
pengorbanan besar, tetapi ia tidak mengundang para Khattiya-nya …, para
penasihatnya, para Brahmana yang paling berpengaruh, dan para perumah tangga
kaya ….’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya, karena
Raja telah mengundang mereka. Dengan demikian, Raja akan mengetahui bahwa ia
akan mendapatkan upacara pengorbanan yang berhasil dan bergembira
karenanya, dan hatinya menjadi tenang. Atau seseorang akan berkata: ‘Raja
Mahàvijita sedang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, tetapi ia
tidak terlahir mulia dari kedua pihak .…’ Tetapi kata-kata tersebut tidak
sesuai dengan yang sebenarnya …. Atau seseorang akan berkata: ‘Sang Brahmana
Kerajaan tidak terlahir mulia .…’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan
yang sebenarnya.” Demikianlah sang Brahmana menginstruksikan Sang Raja dalam
enam belas alasan ….’
18. ‘Dalam upacara
pengorbanan ini, Brahmana, tidak ada kerbau yang disembelih, tidak ada
kambing atau domba, tidak ada ayam dan babi, tidak juga berbagai makhluk hidup
yang dibunuh, juga tidak ada pohon yang ditebang sebagai tiang pengorbanan,
juga tidak ada rumput yang dipotong sebagai rumput pengorbanan, dan mereka yang
disebut budak atau pelayan atau pekerja tidak bekerja karena takut akan pukulan
atau ancaman, mereka tidak menangis atau bersedih. Tetapi mereka yang ingin
melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak ingin melakukan
tidak melakukannya; mereka melakukan apa yang mereka inginkan; dan tidak
melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Pengorbanan itu
diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup.’
19. ‘Kemudian, Brahmana, para
Khattiya …, para menteri dan penasihat, para Brahmana berpengaruh, para perumah
tangga dari desa dan kota, setelah menerima cukup penghasilan, mendatangi Raja
Mahàvijita dan berkata: “Kami membawa cukup banyak harta kekayaan, Baginda,
terimalah.” “Tetapi, Tuan-tuan, aku telah mengumpulkan cukup banyak kekayaan.
Apa pun yang tersisa boleh kalian ambil.”’
‘Atas penolakan raja itu,
mereka pergi ke satu sisi dan berdiskusi: “Tidaklah pantas bagi kita untuk
membawa pulang harta ini ke rumah kita. Raja sedang menyelenggarakan upacara
pengorbanan besar. Marilah kita mengikuti teladannya.”’
20. ‘Kemudian para Khattiya
meletakkan persembahan mereka di sebelah timur dari ceruk pengorbanan,
para penasihat meletakkan di sebelah selatan, para Brahmana di sebelah barat dan
para perumah tangga kaya di sebelah utara. Dalam pengorbanan ini, tidak ada
kerbau yang disembelih, … juga tidak ada makhluk hidup apa pun yang dibunuh …
mereka yang ingin melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak
ingin melakukan tidak melakukannya .... Pengorbanan itu
diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup.
Demikianlah ada empat kelompok penerima, dan Raja Mahàvijita memiliki delapan
hal, dan Brahmana Kerajaan memiliki empat hal dalam tiga syarat. Ini, Brahmana,
disebut pengorbanan besar yang berhasil dalam enam belas tingkat dan
tiga syarat.’
21. Mendengar kata-kata ini,
para Brahmana berteriak keras dan berisik: ‘Sungguh suatu pengorbanan yang
megah! Sungguh suatu cara yang megah dalam melakukan pengorbanan!’
tetapi Kåñadanta tetap duduk diam. Dan para Brahmana menanyakan kepadanya
mengapa ia tidak bersorak mendengar kata-kata indah dari Petapa Gotama. Ia
menjawab: ‘Bukannya aku tidak gembira mendengarnya. Kepalaku akan pecah menjadi
tujuh keping jika aku tidak gembira mendengarnya. Tetapi aku heran bahwa Petapa
Gotama tidak mengatakan: “Aku mendengar bahwa”, atau “Ini pasti seperti ini”,
tetapi Beliau mengatakan: “Kejadiannya seperti ini atau seperti itu pada waktu
itu.” Dan karena itu, aku merasa bahwa Petapa Gotama pada waktu itu adalah
mungkin Raja Mahàvijita, yang menyelenggarakan pengorbanan, atau si
Brahmana Kerajaan yang memimpin upacara pengorbanan itu untuknya. Apakah
Yang Mulia Gotama mengakui bahwa Beliau menyelenggarakan, atau memimpin upacara
pengorbanan besar itu, dan sebagai akibatnya, setelah kematiannya,
setelah hancurnya jasmani, Beliau terlahir di alam yang baik, alam surgawi?’
‘Aku mengakuinya, Brahmana. Aku adalah Brahmana kerajaan yang memimpin upacara
pengorbanan.’
22. ‘Dan, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan yang lain yang lebih sederhana, yang lebih mudah,
lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada tiga tingkat pengorbanan
dengan enam belas syarat tersebut?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Di mana pun pemberian rutin dari suatu keluarga yang diberikan
kepada para petapa yang berbudi, ini merupakan pengorbanan yang lebih
berbuah dan lebih bermanfaat daripada itu.’
23. ‘Mengapa, Yang Mulia
Gotama, dan karena alasan apakah itu lebih baik?’
‘Brahmana, Tidak ada Arahat
atau mereka yang telah mencapai Jalan Arahat akan menerima pengorbanan
ini. Mengapa? Karena melihat penganiayaan dan pembunuhan, maka mereka
tidak menerima. Tetapi mereka akan menerima pengorbanan berupa pemberian
rutin dari suatu keluarga yang diberikan kepada para petapa yang berbudi, karena
tidak ada penganiayaan dan pembunuhan. Itulah sebabnya, jenis
pengorbanan ini lebih berbuah dan lebih bermanfaat.’
24. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada yang sebelumnya
itu?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja yang menyediakan tempat tinggal bagi Sangha
yang datang dari empat penjuru, itu merupakan pengorbanan yang lebih
bermanfaat.’
25. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada tiga ini?’ ‘Ada,
Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja dengan hati yang tulus berlindung pada
Buddha, Dhamma, dan Sangha, itu merupakan pengorbanan yang lebih bermanfaat
daripada tiga yang sebelumnya.’
26. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada empat ini?’ ‘Ada,
Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja dengan hati yang tulus melaksanakan sila
– menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak
diberikan, hubungan seksual yang salah, kebohongan, dan meminum minuman keras
dan obat-obatan yang mengakibatkan lemahnya kesadaran - itu merupakan pengorbanan
yang lebih bermanfaat daripada empat yang sebelumnya.’
27. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada lima ini?’ ‘Ada,
Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat,
Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan
perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh
alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para
dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya
dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra
dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah
di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan
menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa
pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, dan seterusnya
(Sutta 2, paragraf 41-74). Demikianlah seorang bhikkhu sempurna dalam
moralitas. Ia mencapai empat jhàna (Sutta 2, paragraf 75-82). Itu,
Brahmana, adalah suatu pengorbanan … lebih bermanfaat. Ia mencapai berbagai
pandangan terang (Sutta 2, paragraf 97). Ia mengetahui: “Tidak ada lagi yang
lebih jauh di dunia ini.” Itu, Brahmana, adalah suatu pengorbanan yang lebih
sederhana, lebih mudah, lebih berbuah, dan lebih bermanfaat dari semua lainnya.
Dan lebih dari ini, tidak ada lagi pengorbanan yang lebih mulia dan lebih
sempurna.’
28. ‘Sungguh indah, Yang Mulia
Gotama, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang
terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita
di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada
di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam
berbagai cara. Semoga Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai siswa awam sejak
hari ini hingga akhir hidupku! Dan, Yang Mulia Gotama, aku membebaskan
tujuh ratus sapi, tujuh ratus kerbau, tujuh ratus anak sapi, tujuh ratus
kambing jantan, dan tujuh ratus domba. Aku memberikan kehidupan kepada
mereka, memberi mereka makanan berupa rumput hijau dan air sejuk
untuk diminum, dan biarlah mereka bermain di angin yang sejuk.’
29. Kemudian Sang Bhagavà
membabarkan ceramah bertingkat kepada Kåñadanta, tentang kedermawanan, tentang
moralitas, dan tentang alam surga, menunjukkan bahaya, penurunan dan kekotoran
dari kenikmatan-indria, dan manfaat dari meninggalkan keduniawian. Dan ketika
Sang Bhagavà mengetahui bahwa batin Kåñadanta telah siap, lunak, bebas dari
rintangan, gembira dan tenang, maka ia membabarkan ceramah Dhamma secara
singkat: tentang penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Dan
bagaikan sehelai kain bersih yang noda-nodanya telah dihilangkan dapat diwarnai
dengan sempurna, demikian pula Brahmana Kåñadanta, selagi ia duduk di sana,
muncul Mata-Dhamma yang murni dan tanpa noda, dan ia mengetahui: ‘Segala
sesuatu memiliki sebab dan pasti lenyap.’
30. Kemudian Kåñadanta, setelah
melihat, mencapai, mengalami, dan menembus Dhamma, setelah melampaui
keragu-raguan, melampaui ketidakpastian, setelah mencapai keyakinan sempurna
dalam Ajaran Sang Guru tanpa bergantung pada yang lainnya, berkata:
‘Sudilah Yang Mulia Gotama dan para bhikkhu menerima makanan dariku besok!’
Sang Bhagavà menerimanya dengan
berdiam diri. Kemudian Kåñadanta, mengetahui penerimaan Beliau, bangkit,
memberi hormat kepada Sang Bhagavà, berjalan dengan sisi kanannya menghadap
Sang Bhagavà dan pergi. Pagi harinya, ia mempersiapkan makanan keras dan lunak
di tempat pengorbanan, dan ketika persiapan selesai, ia mengumumkan:
‘Yang Mulia Gotama, sudah waktunya, makanan telah siap.’
Dan Sang Bhagavà, setelah
bangun pagi, pergi dengan membawa jubah dan mangkuk-Nya dan disertai oleh para
bhikkhu menuju tempat pengorbanan Kåñadanta, dan duduk di tempat yang
telah disediakan. Dan Kåñadanta melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan
makanan-makanan terbaik dengan tangannya sendiri hingga mereka puas. Dan ketika
Sang Bhagavà telah selesai makan dan menarik tangan-Nya dari mangkuk, Kåñadanta
mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavà, setelah
memberikan instruksi kepada Kåñadanta dalam suatu ceramah Dhamma,
menginspirasinya, memicu semangatnya, dan menggembirakannya, bangkit dari
duduk-Nya dan pergi.
Demikianlah untuk dapat
menghargai hidup dan kehidupan kita sendiri, kita tidak dapat dibenarkan untuk
mengorbankan ataupun menumbalkan hidup dan nyawa makhluk hidup lainnya, justru
sebaliknya, kita perlu berlatih diri untuk melepas segala kemelekatan diri, keserakahan,
serta praktik latihan membebaskan makhluk hidup (fang-sheng). Dengan menghargai hidup dan kehidupan orang lainnya
maupun makhluk hidup lainnya, sejatinya kita sedang menghargai hidup dan
kehidupan kita sendiri. Seorang manusia dicemarkan dan dimuliakan oleh
PERILAKUNYA SENDIRI, bukan karena ritual yang dilakukan olehnya juga bukan
karena bergantung pada orang lain.
Berkebalikan dengan ajaran
dalam Buddhisme yang membebaskan, memberdayakan, serta memerdekakan, terjadi
pemaksaan dalam ajaran berikut ini : [NOTE penyunting : Penulis tidak menyebut
manakah ajaran yang “lurus” dan mana ajaran yang “sesat” ketika dibuat
perbandingan antara satu dogma keagamaan dan dogma keagamaan lainnya. Para
pembaca dipersilahkan dengan kedewasaan berpikir dan akal sehat dapat
menilainya sendiri secara rasional tanpa terbias oleh fanatisme yang membuta,
dengan menempatkan diri Anda di atas kaki dan pikiran Anda sendiri.]
- Hadist Tirmidzi Nomor 2533 : “Saya diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA
MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami,
dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS
HARTA mereka.”
- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.’
- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri
dan juga berzina’.”