Delusi para Muslim, SQ Jongkok dan IQ Tiarap namun Menuntut Dijadikan Polisi Moral dan “Standar Moral”?
PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA Mustahil Mencapai
Kesucian, Mereka justru Kian Tenggelam dalam Jurang Nista dan Kubangan Dosa
Question: Apa dasar atau sebabnya, kaum muslim selalu bersikap seolah-olah mereka-lah satu-satunya kaum paling superior yang memonopoli kapling di alam surgawi, yang juga berhak menghakimi kaum lain serta menjadi “polisi moral”? Banyak muslim yang melecehkan dan memandang rendah fungsi IQ, lalu mengklaim bahwa yang terpenting di dunia ini ialah SQ semata alias “iman”.
Brief Answer: Bukankah menjadi lucu disamping ironis, mengingat
para muslim di Indonesia tergolong sebagai “warga IQ 78” dimana skor atau
tingkat IQ 70 sudah tergolong “disfungsi kognitif”, namun masih juga memandang
bahwa mengejar tingginya IQ tidaklah penting sebagaimana sikap para muslim yang
membuang jauh-jauh otak mereka demi memiliki iman setebal tembok beton yang
tidak tembus oleh cahaya ilahi apapun. Terhadap dosa dan maksiat, begitu
kompromistik. Namun, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu intoleran.
Orang dungu, cenderung tidak bijaksana, bahkan dapat menjadi malapetaka
bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sang Buddha memberi julukan
kepada para pecandu ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA” tersebut, sebagai
mereka yang berkubang dalam “kehidupan rendah”. Sehabis para muslim meningkat
konsumsinya selama bulan ramadhan dan pesta-pora “PENGHAPUSAN DOSA” (dosa-dosa setahun
dihapuskan), maka para muslim tersebut “kembali ke fitrah” yang maknanya ialah “kembali
kepada kehidupan rendah”—yakni menjadi seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA.
PEMBAHASAN:
Delusi diri semacam apakah, yang membuat para muslim
secara membuta berkeyakinan bahwa mereka memiliki “standar moral” maupun tingkat
SQ yang superior dibandingkan dengan kaum lainnya? Berikut inilah, yang disebut
sebagai SQ dalam kamus para pemeluk agama islam—kesemuanya dikutip dari
Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus,
meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah
aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
“Standar
moral” semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul Allah? Telah ternyata
berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA—juga masih dikutip dari
Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]
Semua orang sanggup menjadi seorang PENDOSA
PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun tidak semua orang sanggup dan memiliki
kemauan untuk merepotkan diri menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik
sendiri buah manisnya dikehidupan mendatang dan yang memiliki keberanian untuk
bertanggung-jawab terhadap setiap perbuatan-perbuatan buruknya sendiri yang
telah pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya.
Untuk memuliakan Tuhan, ialah dengan cara menjadi
manusia yang mulia, bukan dengan cara menjadi seorang PENDOSA PENGECUT PEMALAS PECANDU
PENGHAPUSAN DOSA. Babi, disebut haram. PENGHAPUSAN DOSA, disebut halal? Bung,
hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins). Percuma bagi sang muslim untuk mengadu kepada
Allah, ketika ia disakiti oleh para muslim lainnya, karena Allah lebih PRO
terhadap PENDOSA alih-alih bersikap adil bagi korban.
Telah ternyata kaum muslim merupakan kasta paling
hina, rendah, dangkal, kotor, jorok, tercela, serta pemalas disamping pengecut,
maka atas dasar ilusi apakah para muslim “KORUPTOR DOSA” tersebut hendak
menjadi “standar moral” bagi seluruh umat manusia, terlebih merasa berhak menghakimi
dan menjadi “polisi moral” bagi orang-orang baik, bagi para manusia berjiwa
ksatria, maupun bagi para suciwan yang tidak pernah butuh ideologi KORUP
semacam “PENGHAPUSAN DOSA”? Pendosa, namun hendak berceramah perihal akhlak,
hidup suci, mulia, adil, baik, jujur, terpuji, serta luhur? Itu ibarat orang
buta yang hendak menceramahi dan menggurui para butawan lainnya, neraka pun
dipandang sebagai surga dan surga pun mereka tuding sebagai neraka.
Apakah niscaya ataukah mustahil, para PENDOSA PEMALAS
PENGECUT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut, menjadi orang suci lewat ritual-ritual
“PENGHAPUSAN DOSA” (bagi pendosa, tentunya)? Alih-alih menjadi suci bersih
(kembali fitrah), mereka justru menjelma “KORUPTOR DOSA”, yang begitu bernafsu
dan mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA”.
Vonis hidup mereka, yakni hidup dan mati sebagai
seorang PENDOSA, sebagaimana dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
60 (6) Hatthi
Demikianlah yang kudengar. Pada
suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa di Isipatana. Pada saat itu, setelah makan, setelah
kembali dari perjalanan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu senior
berkumpul dan sedang duduk bersama di paviliun terlibat dalam sebuah diskusi
yang berhubungan dengan Dhamma. Selagi mereka sedang berdiskusi, Yang Mulia
Citta Hatthisāriputta berulang-ulang menyela pembicaraan mereka.
[Kitab Komentar : “Ia menyela
diskusi mereka dan memberikan penjelasannya sendiri” (tesaṃ kathaṃ vicchinditvā attano kathaṃ katheti).
Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia
Citta Hatthisāriputta:
“Ketika para bhikkhu senior
sedang terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma, jangan
berulang-ulang [393] menyela pembicaraan mereka tetapi tunggulah hingga diskusi
itu selesai.”
Ketika hal ini dikatakan, para
bhikkhu teman-teman Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berkata kepada Yang Mulia
Mahākoṭṭhita:
“Jangan meremehkan Yang Mulia
Citta Hatthisāriputta. Yang Mulia Citta Hatthisāriputta bijaksana dan mampu
melibatkan diri dengan para bhikkhu senior dalam sebuah diskusi yang
berhubungan dengan Dhamma.”
[Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata:] “Adalah sulit,
teman-teman, bagi mereka yang tidak mengetahui pikiran orang lain untuk mengetahui
hal ini.
(1) “Di sini, teman-teman,
seseorang tampak sangat lembut, rendah hati, dan tenang selama ia berada di
dekat Sang Guru atau seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru. Tetapi ketika
ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia
bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam
laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru
sektarian dan para siswa dari para guru sektarian. Ketika ia bergaul erat
dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan
berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang
oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.
“Misalkan seekor sapi pemakan
hasil panen diikat dengan tali atau dikurung dalam kandang. Dapatkah seseorang
dengan benar mengatakan: ‘Sekarang sapi pemakan hasil panen ini tidak akan pernah
lagi memasuki daerah hasil panen.’?”
“Tentu saja tidak, teman.
Karena adalah mungkin bahwa sapi pemakan hasil panen ini memutuskan tali itu
atau mendobrak kandang dan memasuki daerah hasil panen itu.”
“Demikian pula, seseorang [394]
di sini sangat lembut … Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang
bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] …
ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.
(2) “Kemudian, teman-teman,
dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam
dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna
pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī,
para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan,
para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka
dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka,
nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia
menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.
“Misalkan pada sebuah
persimpangan jalan turun hujan, dengan tetes-tetesan air yang besar, akan
membuat debu menjadi lenyap dan memunculkan lumpur. Dapatkah seseorang dengan
benar mengatakan: ‘Sekarang debu tidak akan pernah muncul kembali di persimpangan
jalan ini’?”
“Tentu saja tidak, teman.
Karena adalah mungkin orang-orang akan melewati persimpangan jalan ini, atau
sapi-sapi dan kambing-kambing akan melewatinya, atau angin dan panas matahari
akan mengeringkan kelembaban dan kemudian debu akan muncul kembali.”
“Demikian pula, dengan terasing
dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna
pertama. [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’
ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan
kembali kepada kehidupan rendah. [395]
(3) “Kemudian, teman-teman,
dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam
jhāna ke dua ... [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke
dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para
umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para
guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan
menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan
mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan
latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.
“Misalkan tidak jauh dari
sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam besar. Hujan yang turun dengan
tetes-tetesan air yang besar, akan menyebabkan berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu
dan kerikil, menjadi lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan:
‘Sekarang berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil tidak akan
pernah muncul kembali di kolam ini’?”
“Tentu saja tidak, teman.
Karena adalah mungkin bahwa orang-orang akan minum dari kolam itu, atau
sapi-sapi dan kambing-kambing akan minum dari sana, atau angin dan panas
matahari akan mengeringkan kelembaban. Kemudian berbagai jenis kerang-kerangan,
batu-batu dan kerikil, akan muncul kembali.”
“Demikian pula, dengan
meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke
dua ... [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’
ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan
kembali kepada kehidupan rendah.
(4) “Kemudian, teman-teman,
dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …
[Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul
erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam
laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru
sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan
menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan
mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan
latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.
“Misalkan makanan yang tersisa
dari malam sebelumnya [396] tidak akan menarik bagi seseorang yang telah
selesai memakan makanan lezat. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang
makanan tidak akan pernah menarik lagi bagi orang itu’?”
“Tentu saja tidak, teman.
Karena makanan tambahan tidak akan menarik bagi orang itu selama intisari gizi
masih ada dalam tubuhnya, tetapi ketika intisari gizi lenyap, maka adalah
mungkin bahwa makanan itu akan menarik lagi baginya.”
“Demikian pula, dengan
memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …
[Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia
bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan
kembali kepada kehidupan rendah.
(5) “Kemudian, teman-teman,
dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam
dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna
ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī,
para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan,
para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka
dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka,
nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia
menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.
“Misalkan di sebuah lembah
gunung terdapat sebuah danau yang terlindung dari angin dan hampa dari ombak.
Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang ombak-ombak tidak akan
pernah muncul kembali di danau ini’?”
“Tentu tidak, teman. Karena
adalah mungkin bahwa hujan badai yang kencang datang dari timur, [397] barat,
utara, atau selatan dan menggerakkan ombak di danau itu.”
“Demikian pula, dengan meninggalkan
kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …
[Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia
bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan
kembali kepada kehidupan rendah.
(6) “Kemudian, teman-teman,
dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi
pikiran tanpa gambaran. [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh
konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu
[lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan,
raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka.
Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika
ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan
pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada
kehidupan rendah.
[Kitab Komentar : Animittaṃ cetosamādhiṃ. “Segala gambaran adalah semua
gambaran itu seperti kekekalan dan sebagainya. Konsentrasi pikiran tanpa gambaran
adalah konsentrasi pandangan terang kuat (balavavipassanāsamādhiṃ).”]
“Misalkan seorang raja atau
menteri kerajaan telah berjalan di sepanjang jalan raya bersama dengan empat
barisan bala tentaranya dan mendirikan kemah untuk bermalam di sebuah hutan belantara.
Karena suara gajah, kuda, kereta, genderang, kulit kerang, dan tambur, maka
suara jangkrik akan lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan:
‘Sekarang suara jangkrik tidak akan pernah muncul kembali di hutan belantara
ini’?” [398]
“Tentu saja tidak, teman.
Karena adalah mungkin raja atau menteri kerajaan itu akan meninggalkan hutan
belantara itu, dan kemudian suara jangkrik akan muncul kembali.”
“Demikian pula, dengan
tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam
konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang
memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu
[lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”
Pada kesempatan lainnya Yang
Mulia Citta Hatthisāriputta menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan
rendah. Kemudian teman-temannya para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahākoṭṭhita dan berkata kepadanya:
“Apakah Yang Mulia Mahākoṭṭhita dengan pikirannya sendiri melingkupi pikiran Citta Hatthisāriputta
dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh keberdiaman meditatif dan
pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada
kehidupan rendah’? Atau apakah para dewata memberitahukan hal ini kepadanya?”
“Teman-teman, aku dengan
pikiranku melingkupi pikiran Yang Mulia Citta Hatthisāriputta dan memahami:
‘Citta Hatthisāriputta memperoleh keberdiaman meditatif dan pencapaian ini dan
itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’
Dan juga para dewata memberitahukan hal ini kepadaku.”
Kemudian para bhikkhu
teman-teman dari Citta Hatthisāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada
Beliau, [399] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Citta Hatthisāriputta
memperoleh keberdiaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia menghentikan
latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”
“Tidak lama lagi, para bhikkhu,
Citta Hatthisāriputta akan berpikir untuk meninggalkan keduniawian.”
[Kitab Komentar : Sarissati nekkhammassa. “Ia akan
mengingat keluhuran dari meninggalkan keduniawian.”]
Tidak lama setelah itu, Citta
Hatthisāriputta mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan
meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa
rumah. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan
bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Citta Hatthisāriputta
merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam
kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya
anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan
rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam
di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan
spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan
kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.”
[Kitab Komentar menjelaskan
bahwa Citta kembali ke kehidupan awam sebanyak tujuh kali dan meninggalkan
keduniawian sebanyak tujuh kali. Alasan dari ketidak-mantapannya adalah bahwa
pada masa Buddha Kassapa, ia telah membujuk seorang bhikkhu untuk kembali
kepada kehidupan awam. Oleh karena itu, walaupun ia memiliki kondisi-kondisi yang
mendukung untuk tercapainya Kearahattaan, tetapi karena kamma itu maka ia harus
bolak-balik sebanyak tujuh kali antara kehidupan awam dan kehidupan monastik
sebelum mencapai Kearahattaan.
Dan Yang Mulia Citta
Hatthisāriputta menjadi salah satu di antara para Arahant.