Menjadi PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA Disebut SQ Superior?

Delusi para Muslim, SQ Jongkok dan IQ Tiarap namun Menuntut Dijadikan Polisi Moral dan “Standar Moral”?

PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA Mustahil Mencapai Kesucian, Mereka justru Kian Tenggelam dalam Jurang Nista dan Kubangan Dosa

Question: Apa dasar atau sebabnya, kaum muslim selalu bersikap seolah-olah mereka-lah satu-satunya kaum paling superior yang memonopoli kapling di alam surgawi, yang juga berhak menghakimi kaum lain serta menjadi “polisi moral”? Banyak muslim yang melecehkan dan memandang rendah fungsi IQ, lalu mengklaim bahwa yang terpenting di dunia ini ialah SQ semata alias “iman”.

Brief Answer: Bukankah menjadi lucu disamping ironis, mengingat para muslim di Indonesia tergolong sebagai “warga IQ 78” dimana skor atau tingkat IQ 70 sudah tergolong “disfungsi kognitif”, namun masih juga memandang bahwa mengejar tingginya IQ tidaklah penting sebagaimana sikap para muslim yang membuang jauh-jauh otak mereka demi memiliki iman setebal tembok beton yang tidak tembus oleh cahaya ilahi apapun. Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Namun, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu intoleran.

Orang dungu, cenderung tidak bijaksana, bahkan dapat menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sang Buddha memberi julukan kepada para pecandu ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA” tersebut, sebagai mereka yang berkubang dalam “kehidupan rendah”. Sehabis para muslim meningkat konsumsinya selama bulan ramadhan dan pesta-pora “PENGHAPUSAN DOSA” (dosa-dosa setahun dihapuskan), maka para muslim tersebut “kembali ke fitrah” yang maknanya ialah “kembali kepada kehidupan rendah”—yakni menjadi seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA.

PEMBAHASAN:

Delusi diri semacam apakah, yang membuat para muslim secara membuta berkeyakinan bahwa mereka memiliki “standar moral” maupun tingkat SQ yang superior dibandingkan dengan kaum lainnya? Berikut inilah, yang disebut sebagai SQ dalam kamus para pemeluk agama islam—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

“Standar moral” semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul Allah? Telah ternyata berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

Semua orang sanggup menjadi seorang PENDOSA PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun tidak semua orang sanggup dan memiliki kemauan untuk merepotkan diri menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya dikehidupan mendatang dan yang memiliki keberanian untuk bertanggung-jawab terhadap setiap perbuatan-perbuatan buruknya sendiri yang telah pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya.

Untuk memuliakan Tuhan, ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia, bukan dengan cara menjadi seorang PENDOSA PENGECUT PEMALAS PECANDU PENGHAPUSAN DOSA. Babi, disebut haram. PENGHAPUSAN DOSA, disebut halal? Bung, hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins). Percuma bagi sang muslim untuk mengadu kepada Allah, ketika ia disakiti oleh para muslim lainnya, karena Allah lebih PRO terhadap PENDOSA alih-alih bersikap adil bagi korban.

Telah ternyata kaum muslim merupakan kasta paling hina, rendah, dangkal, kotor, jorok, tercela, serta pemalas disamping pengecut, maka atas dasar ilusi apakah para muslim “KORUPTOR DOSA” tersebut hendak menjadi “standar moral” bagi seluruh umat manusia, terlebih merasa berhak menghakimi dan menjadi “polisi moral” bagi orang-orang baik, bagi para manusia berjiwa ksatria, maupun bagi para suciwan yang tidak pernah butuh ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA”? Pendosa, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, mulia, adil, baik, jujur, terpuji, serta luhur? Itu ibarat orang buta yang hendak menceramahi dan menggurui para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga dan surga pun mereka tuding sebagai neraka.

Apakah niscaya ataukah mustahil, para PENDOSA PEMALAS PENGECUT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut, menjadi orang suci lewat ritual-ritual “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi pendosa, tentunya)? Alih-alih menjadi suci bersih (kembali fitrah), mereka justru menjelma “KORUPTOR DOSA”, yang begitu bernafsu dan mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA”.

Vonis hidup mereka, yakni hidup dan mati sebagai seorang PENDOSA, sebagaimana dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

60 (6) Hatthi

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāasī di taman rusa di Isipatana. Pada saat itu, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul dan sedang duduk bersama di paviliun terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma. Selagi mereka sedang berdiskusi, Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berulang-ulang menyela pembicaraan mereka.

[Kitab Komentar : “Ia menyela diskusi mereka dan memberikan penjelasannya sendiri” (tesa katha vicchinditvā attano kathakatheti).

Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Citta Hatthisāriputta:

“Ketika para bhikkhu senior sedang terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma, jangan berulang-ulang [393] menyela pembicaraan mereka tetapi tunggulah hingga diskusi itu selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu teman-teman Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita:

“Jangan meremehkan Yang Mulia Citta Hatthisāriputta. Yang Mulia Citta Hatthisāriputta bijaksana dan mampu melibatkan diri dengan para bhikkhu senior dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma.”

[Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata:] “Adalah sulit, teman-teman, bagi mereka yang tidak mengetahui pikiran orang lain untuk mengetahui hal ini.

(1) “Di sini, teman-teman, seseorang tampak sangat lembut, rendah hati, dan tenang selama ia berada di dekat Sang Guru atau seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru. Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa dari para guru sektarian. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan seekor sapi pemakan hasil panen diikat dengan tali atau dikurung dalam kandang. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang sapi pemakan hasil panen ini tidak akan pernah lagi memasuki daerah hasil panen.’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa sapi pemakan hasil panen ini memutuskan tali itu atau mendobrak kandang dan memasuki daerah hasil panen itu.”

“Demikian pula, seseorang [394] di sini sangat lembut … Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(2) “Kemudian, teman-teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

Misalkan pada sebuah persimpangan jalan turun hujan, dengan tetes-tetesan air yang besar, akan membuat debu menjadi lenyap dan memunculkan lumpur. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang debu tidak akan pernah muncul kembali di persimpangan jalan ini’?

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin orang-orang akan melewati persimpangan jalan ini, atau sapi-sapi dan kambing-kambing akan melewatinya, atau angin dan panas matahari akan mengeringkan kelembaban dan kemudian debu akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. [395]

(3) “Kemudian, teman-teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam besar. Hujan yang turun dengan tetes-tetesan air yang besar, akan menyebabkan berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil, menjadi lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil tidak akan pernah muncul kembali di kolam ini’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa orang-orang akan minum dari kolam itu, atau sapi-sapi dan kambing-kambing akan minum dari sana, atau angin dan panas matahari akan mengeringkan kelembaban. Kemudian berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil, akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(4) “Kemudian, teman-teman, dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan makanan yang tersisa dari malam sebelumnya [396] tidak akan menarik bagi seseorang yang telah selesai memakan makanan lezat. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang makanan tidak akan pernah menarik lagi bagi orang itu’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena makanan tambahan tidak akan menarik bagi orang itu selama intisari gizi masih ada dalam tubuhnya, tetapi ketika intisari gizi lenyap, maka adalah mungkin bahwa makanan itu akan menarik lagi baginya.”

“Demikian pula, dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(5) “Kemudian, teman-teman, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan di sebuah lembah gunung terdapat sebuah danau yang terlindung dari angin dan hampa dari ombak. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang ombak-ombak tidak akan pernah muncul kembali di danau ini’?”

“Tentu tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa hujan badai yang kencang datang dari timur, [397] barat, utara, atau selatan dan menggerakkan ombak di danau itu.”

“Demikian pula, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(6) “Kemudian, teman-teman, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. [Dengan berpikir,] ‘Aku adalah seorang yang memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

[Kitab Komentar : Animitta cetosamādhi. “Segala gambaran adalah semua gambaran itu seperti kekekalan dan sebagainya. Konsentrasi pikiran tanpa gambaran adalah konsentrasi pandangan terang kuat (balavavipassanāsamādhi).”]

“Misalkan seorang raja atau menteri kerajaan telah berjalan di sepanjang jalan raya bersama dengan empat barisan bala tentaranya dan mendirikan kemah untuk bermalam di sebuah hutan belantara. Karena suara gajah, kuda, kereta, genderang, kulit kerang, dan tambur, maka suara jangkrik akan lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang suara jangkrik tidak akan pernah muncul kembali di hutan belantara ini’?” [398]

Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin raja atau menteri kerajaan itu akan meninggalkan hutan belantara itu, dan kemudian suara jangkrik akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”

Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Citta Hatthisāriputta menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Kemudian teman-temannya para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahākoṭṭhita dan berkata kepadanya: “Apakah Yang Mulia Mahākoṭṭhita dengan pikirannya sendiri melingkupi pikiran Citta Hatthisāriputta dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh keberdiaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah’? Atau apakah para dewata memberitahukan hal ini kepadanya?”

“Teman-teman, aku dengan pikiranku melingkupi pikiran Yang Mulia Citta Hatthisāriputta dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh keberdiaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Dan juga para dewata memberitahukan hal ini kepadaku.”

Kemudian para bhikkhu teman-teman dari Citta Hatthisāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [399] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Citta Hatthisāriputta memperoleh keberdiaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”

“Tidak lama lagi, para bhikkhu, Citta Hatthisāriputta akan berpikir untuk meninggalkan keduniawian.”

[Kitab Komentar : Sarissati nekkhammassa. “Ia akan mengingat keluhuran dari meninggalkan keduniawian.”]

Tidak lama setelah itu, Citta Hatthisāriputta mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Citta Hatthisāriputta merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.”

[Kitab Komentar menjelaskan bahwa Citta kembali ke kehidupan awam sebanyak tujuh kali dan meninggalkan keduniawian sebanyak tujuh kali. Alasan dari ketidak-mantapannya adalah bahwa pada masa Buddha Kassapa, ia telah membujuk seorang bhikkhu untuk kembali kepada kehidupan awam. Oleh karena itu, walaupun ia memiliki kondisi-kondisi yang mendukung untuk tercapainya Kearahattaan, tetapi karena kamma itu maka ia harus bolak-balik sebanyak tujuh kali antara kehidupan awam dan kehidupan monastik sebelum mencapai Kearahattaan.

Dan Yang Mulia Citta Hatthisāriputta menjadi salah satu di antara para Arahant.