Pendosa Jelas Berminat pada Ajaran Korup Bernama PENGHAPUSAN DOSA
KORUPTOR DOSA Manakah, yang Tidak Tergiur dan Memakan
serta Termakan Ideologi KORUP Bernama PENGHAPUSAN DOSA?
Question: Agama yang mengajarkan “pengahapusan dosa” (pengampunan maupun penebusan dosa, abolition of sins), adalah “agama dosa” bagi pendosa. Namun mengapa saat kini yang justru berkembang dan banyak umat pengikutnya, justru adalah “agama-agama dosa” tersebut yang mengkampanyekan ideologi korup bagi para “koruptor dosa” alih-alih mempromosikan gaya hidup higienis dari dosa?
Brief Answer: Karena para pendosa tersebut menemukan adanya
gunungan dosa yang menumpuk dalam diri mereka serta jelas-jelas para “KORUPTOR
DOSA” akan tergiur serta berminat untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab
atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah atau selama ini
menyakiti, merugikan, maupun melukai pihak-pihak lainnya. Sambil menyelam (di
lautan dosa), minum air (penghapusan dosa)—membuat para pemeluk “Agama DOSA”
tersebut berdelusi bahwa pihak-pihak yang tidak memeluk ajaran KORUP demikian
adalah kaum yang “merugi”. Kabar buruknya, dunia ini tidak pernah kekurangan
para PENDOSA yang berpotensi menjelma PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA ketika
diperkenalkan atau terpapar ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA”.
PEMBAHASAN:
Dahulu kala, sebelum agama samawi diperkenalkan
oleh para nabi yang mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi pendosa, tentunya),
tidak ada satupun pendosa yang yakin akan masuk surga setelah ajal
menjemputnya. Kini, para pendosa berlomba-lomba memproduksi dan mengoleksi
segudang dan segunung dosa, menikmati hidup berkubang dalam dosa, sembari
berharap dan yakin seyakin-yakinnya memonopoli kapling di alam surgawi setelah
kematian mereka. Pendosa manakah, yang tidak akan tertarik dan tergiur oleh
ajaran berisi iming-iming KORUP (namun “too
good to be true”) berikut—kesemuanya dikutip dari
Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Tidak
perlu jadi orang baik, jadi penjahat PENUH DOSA saja dijamin masuk surga
(“Agama DOSA”). “Standar moral” semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul
Allah? Telah ternyata berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA—juga
masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]
Sebaliknya, pendosa manakah
yang tidak akan benci dan tersinggung ketika disumpahi atau divonis “masuk
neraka”? Pendosa, paling benci dan menolak ajaran kebaikan, sebagaimana dapat
kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
157 (7) Khotbah yang
Disampaikan Secara Keliru
“Para bhikkhu, sebuah khotbah
disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap
jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak
tepat] ini. Apakah lima ini?
Sebuah khotbah tentang
keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan;
sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada
seorang yang tidak bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan
secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar; sebuah khotbah tentang
kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir; sebuah khotbah
tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak
bijaksana.
(1) “Dan mengapakah, para
bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada
seorang yang hampa dari keyakinan?
Ketika sebuah khotbah tentang
keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang hampa dari keyakinan menjadi kehilangan
kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena ia
tidak melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan
kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang
keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan.
(2) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang
tidak bermoral?
Ketika sebuah khotbah tentang
perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bermoral menjadi
kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena
ia tidak melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh
sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah
khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang
tidak bermoral.
(3) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang
sedikit belajar?
Ketika sebuah khotbah tentang
pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang sedikit belajar menjadi
kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena ia
tidak melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita
dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah
tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit
belajar.
(4) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang
kikir?
Ketika sebuah khotbah tentang
kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang kikir menjadi kehilangan
kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan
kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena ia
tidak melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan [182] tidak memperoleh
sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah
khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang
kikir.
(5) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang
tidak bijaksana?
Ketika sebuah khotbah tentang
kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bijaksana menjadi
kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena
ia tidak melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh
sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah
khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang
tidak bijaksana.
“Sebuah khotbah disampaikan
secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis
lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat]
ini.
“Para bhikkhu, sebuah khotbah
disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap
jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat]
ini. Apakah lima ini?
Sebuah khotbah tentang
keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan;
sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang
yang bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar
kepada seorang yang terpelajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan
secara benar kepada seorang yang dermawan; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan
disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana.
(1) “Dan mengapakah, para
bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada
seorang yang memiliki keyakinan?
Ketika sebuah khotbah tentang
keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang memiliki keyakinan tidak menjadi
kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena ia
melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan
berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan
disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan.
(2) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral?
Ketika sebuah khotbah tentang
perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang bermoral tidak menjadi
kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena
ia melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan
kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah
tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral.
(3) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang
terpelajar?
Ketika sebuah khotbah tentang
pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang terpelajar tidak menjadi
kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan [183] keras
kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan
apakah?
Karena ia melihat pembelajaran
itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan
padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara
benar kepada seorang yang terpelajar.
(4) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang
dermawan?
Ketika sebuah khotbah tentang
kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang dermawan tidak menjadi
kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena ia
melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan
kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan
disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan.
(5) “Dan mengapakah, sebuah
khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang
bijaksana?
Ketika sebuah khotbah tentang
kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang bijaksana tidak menjadi
kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia
tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.
Karena alasan apakah? Karena
ia melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan
kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah
tentang kebijaksanaan disampaikan benar kepada seorang yang bijaksana.
“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah
menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan
kepada lima jenis orang [yang tepat] ini.”