Apa jadinya, seekor “CACING” berdelusi bahwa dirinya adalah “NAGA YANG PERKASA”? Itulah, kaum yang merasa dirinya sebagai paling “superior”, namun “DELUSIF”.
Umat
agama samawi alias para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, sejatinya merupakan kasta
paling rendah, hina, busuk, buruk, dangkal, kotor, dan tercela—namun berdelusi
sebagai kaum paling superior.
Menurut Anda, apa jadinya bila kaum dari kasta budak, meledek kaum dari kasta bangsawan sebagai “miskin”? Yang “konyol” disini, siapakah?
Sekonyol
itulah, umat agama samawi, kaum PEMALAS PENGECUT PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN
DOSA—kasta paling rendah alias pecundang yang berdelusi sebagai kaum paling
superior yang merasa berhak untuk menghakimi kaum lainnya.
Selama
ini, kaum muslim merasa paling puas dapat merendahkan harkat dan martabat kaum
lainnya dengan “mengkafir-kafirkan” serta mengutuk kaum NON sebagai penghuni
neraka jahanam.
Tidak
terkecuali kaum kristen, yang mengutuk kaum NON sebagai akan dilempar ke neraka
oleh Yesus, semata karena tidak menggadaikan jiwanya dengan menjadi PENDOSA
PENJILAT “bokong Yesus”.
Mendiskreditkan
kaum lain, apakah artinya si pelaku demikian, lebih tinggi derajat moralitas,
keluhuran, kesucian, maupun kemuliannya?
Untuk
memuliakan Tuhan, ialah dengan cara menjadi seorang individu manusia yang mulia
dan berbudi luhur—bukan dengan cara menjadi seorang PENDOSA PEMALAS PENGECUT
PENJILAT PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA”.
Bung,
hanya seorang PENDOSA yang butuh PENGHAPUSAN DOSA.
Pernah
ada umat agama samawi, menantang berdebat. Ia bertanya, apa agama saya?—seakan-akan
dirinya adalah kasta paling superior?
Untuk
menjawabnya, saya uraikan tiga jenis atau kategorisasi agama.
Pertama,
“Agama SUCI”, umatnya ialah orang-orang suciwan yang berlatih dalam disiplin
diri yang ketat berupa “self-control”.
Kedua,
“Agama KSATRIA”, dimana pemeluknya ialah kalangan ksatriawan yang siap sedia
serta berani untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri
yang telah pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain.
Ketiga,
“Agama DOSA”, dimana para pendosawan menjadi umat pemeluknya, yang
mempromosikan ideologi korup berupa “Penghapusan DOSA” (bagi PENDOSA, tentunya)
alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa.
Saya
masih dapat berbuat keliru untuk satu atau dua hal, akan tetapi saya
menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang tercela, namun disaat bersamaan
rajin menanam benih-benih Karma Baik serta memiliki sikap yang penuh tanggung-jawab
sehingga orang lain tidak perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari saya.
Karenanya,
saya BUKAN seorang pemeluk “Agama DOSA”.
Sebaliknya,
umat agama samawi, yakni para PENDOSA yang mencandu ideologi korup semacam
“PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”, merupakan pemeluk “Agama DOSA”.
Karenanya,
umat agama samawi merupakan kaum dari kasta paling hina—hanya seekor “manusia
cacing” yang lebih patut menghuni selokan (slum).
Pendosa,
tapi hendak berceramah perihal hidup suci, mulia, luhur, baik, penuh
pengendalian diri, lurus, terpuji, serta beradab? Itu menyerupai orang buta
yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai
surga, dan berbondong-bondong para butawan tersebut terperosok masuk ke dalam
lembah jurang nista.
Bukankah
menjadi lucu, pemeluk “Agama DOSA” hendak mengkafir-kafirkan para umat “Agama
SUCI” maupun “Agama KSATRIA”, ataupun merasa sebagai kaum paling superior yang
memonopoli alam surgawi—sekalipun sejatinya mereka hanyalah kaum dari kasta
paling rendah dan paling hina?
Terhadap
dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda
keyakinan, begitu intoleran dengan mengutuk para pemeluk “Agama SUCI” maupun
“Agama KSATRIA” masuk neraka hanya karena tidak bersedia menjilat bokong Tuhan
yang mereka sembah.
Sang
Buddha pernah bersabda mengenai “siapa yang layak disebut sebagai naga”:
V.
Dhammika
43
(1) Nāga
Pada
suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman
Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu pagi,
Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki
Sāvatthī untuk menerima dana makanan.
Ketika
Beliau telah melakukan perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika
kembali dari perjalanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah,
Ānanda, kita pergi ke istana Migāramātā di Taman Timur untuk melewatkan hari.”
”Baik,
Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.
Kemudian
Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke Istana Migāramātā di
Taman Timur. Kemudian pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan
dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke gerbang
timur untuk mandi.”
“Baik,
Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.
Kemudian
Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke gerbang timur untuk
mandi. Setelah mandi di gerbang timur dan keluar dari sana, Beliau berdiri
dengan mengenakan satu jubah untuk mengeringkan badan.
Pada
saat itu, gajah besar milik Raja Pasenadi Kosala bernama “Seta” sedang mendekat
melalui gerbang timur diiringi oleh musik instrumental dan tabuhan genderang.
Orang-orang
melihatnya dan berkata: “Gajah besar milik raja berpenampilan cantik! Gajah
besar milik raja berpenampilan indah! Gajah besar milik raja berpenampilan
anggun! Gajah besar milik raja sangat besar! Ia adalah seekor nāga, benar-benar
seekor nāga.”
Ketika
hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante,
apakah hanya ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang
sangat besar maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ atau
apakah orang-orang juga mengatakan hal ini ketika mereka melihat benda-benda [lain]
yang memiliki tubuh yang sangat besar?”
“(1)
Udāyī, ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat
besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’
(2)
Ketika orang-orang melihat seekor kuda yang memiliki tubuh yang sangat besar,
maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’
(3)
Ketika orang-orang melihat seekor sapi jantan yang memiliki tubuh yang sangat
besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’
(4)
Ketika orang-orang melihat seekor ular yang memiliki tubuh yang sangat besar,
maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’
(5)
Ketika orang-orang melihat sebatang pohon yang memiliki batang yang sangat
besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’
(6)
Ketika orang-orang melihat sesosok manusia yang memiliki tubuh yang sangat
besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’
Tetapi,
Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi
ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga pada
siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan
pikiran.”
[Kitab
Komentar : Pernyataan Sang Buddha - āguṃ
na karoti – secara main-main menurunkan kata nāga dari na + āguṃ, “tanpa kejahatan.”
Dengan demikian nāga menjadi suatu gelar bagi Sang Buddha, atau, secara lebih
luas, bagi Arahant.
Aguṃ
na karoti kiñci loke … nāgo tādi pavuccate tathattā
(“Seorang yang tidak melakukan kejahatan di dunia … yang stabil karena alasan
demikian maka disebut nāga”).]
“Betapa
menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh
Sang Bhagavā: ‘Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan
Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva
dan manusia, Aku menyebut seseorang
sebagai nāga pada siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran.’ Aku bergembira, Bhante, mendengar pernyataan
yang baik dari Sang Bhagavā melalui syair-syair ini:
“Seorang
manusia yang tercerahkan sempurna,
jinak
dan terkonsentrasi,
menapaki
jalan brahmā,
ia
bersenang dalam kedamaian pikiran.
“Aku
telah mendengar dari Sang Arahant
yang
bahkan para deva menghormatiNya,
kepada
orang yang sama umat manusia menghormat,
seorang
yang telah melampaui segalanya.
“Beliau
telah melampaui segala belenggu
dan
keluar dari belantara menuju ruang terbuka;
bersenang
dalam pelepasan kenikmatan indria,
Beliau
bagaikan emas murni yang bebas dari bijih besi.
“Beliau
adalah nāga yang mengalahkan segalanya,
bagaikan
Himalaya di tengah-tengah pegunungan lainnya.
Di
antara segala sesuatu yang bernama nāga,
Beliau,
yang tidak terlampaui,
adalah
seorang yang sungguh benar dinamai demikian.
“Aku
akan memuji sang nāga untuk kalian:
sesungguhnya,
Beliau tidak melakukan kejahatan.
Lembut
dan tidak berbahaya
adalah
kedua kaki sang nāga.
“Pertapaan
keras dan hidup selibat
adalah
kedua kaki lainnya dari sang nāga.
Keyakinan
adalah belalai besar sang nāga,
dan
keseimbangan adalah taring gadingnya.
“Perhatian
adalah lehernya, kepalanya adalah kebijaksanaan,
penyelidikan,
dan refleksi atas fenomena-fenomena.
[Kitab
Komentar : Sati gīvā siro paññā vimaṃsā
dhammacintanā. “Ujung belalai gajah disebut
penyelidikan (vimaṃsā)
karena [menyelidiki] benda-benda untuk menentukan apakah keras atau lunak,
dapat dimakan atau tidak dapat dimakan, dan sebagainya. Kemudian gajah itu
menolak apa yang harus ditolak dan mengambil apa yang harus diambil. Demikian pula,
bagi nāga Sang Buddha, refleksi atas fenomena-fenomena (dhammacintanā) – merujuk pada pengetahuanNya yang menentukan
kelompok-kelompok fenomena – adalah [alat] penyelidikanNya. Dengan pengetahuan
ini Beliau mengetahui siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu.” Versi
terjemahan Mahayana menerjemahkan kalimat ini secara lebih langsung: “kebijaksanaan
adalah kepalanya, refleksi atas dan pembedaan fenomena-fenomena.”
Dhamma
adalah panas seimbang dalam perutnya,
dan
keterasingan adalah ekornya.
[Kitab
Komentar : “Adalah konsentrasi jhāna ke empat yang di sini disebut dhamma.
Karena dengan berdasarkan pada ini maka kekuatan-kekuatan batin itu berhasil. Oleh
karena itu disebut panas seimbang dalam perutnya (kucchisamātapo). Keterasingan
(viveka) merujuk pada keterasingan
jasmani, keterasingan pikiran, dan keterasingan dari perolehan (kāyacittaupadhiviveko). Seperti halnya gajah
menggunakan ekornya untuk menghalau nyamuk-nyamuk, demikian pula Sang Tathāgata
mendatangi keterasingan untuk menghalau perumah tangga dan para bhikkhu.”]
“Meditator
ini, bersenang dalam penarikan napas,
[Kitab
Komentar : Assāsa dapat berarti
penarikan napas dan juga dapat berarti penghiburan, arti ke dua merujuk pada
Kearahattaan. Seperti halnya menarik napas dan mengembuskan napas adalah apa
yang mempertahankan gajah tetap hidup, demikian pula buah Kearahattaan (phalasamāpatti) adalah penting bagi Sang
Buddha, dan adalah di sana Beliau bersenang.]
terkonsentrasi
baik dalam pikiran.
Ketika
berjalan, sang nāga terkonsentrasi;
ketika
berdiri, sang nāga terkonsentrasi.
“Ketika
berbaring, sang nāga terkonsentrasi;
ketika
duduk juga, sang nāga terkonsentrasi.
di
mana-mana, sang nāga terkendali:
ini
adalah kesempurnaan sang nāga.
“Beliau
memakan makanan tanpa cela,
tetapi
tidak memakan apa yang tercela.
Ketika
Beliau memperoleh makanan dan jubah,
Beliau
menghindari menyimpannya.
“Setelah
memotong semua belenggu dan ikatan,
apakah
yang kasar maupun yang halus,
ke
arah mana pun Beliau pergi,
Beliau
pergi tanpa cemas.
“Bunga
teratai
tumbuh
dan besar dalam air,
namun
tidak terkotori oleh air
melainkan
tetap harum dan indah.
“Demikian
pula Sang Buddha, terlahir dengan baik di dunia,
berdiam
di dunia,
namun
tidak terkotori oleh dunia
bagaikan
teratai [yang tidak terkotori] oleh air.
“Api
besar menyala berkobar
menjadi
tenang ketika kehabisan bahan bakar,
dan
ketika semua bara telah berhenti menyala,
maka
dikatakan sebagai padam.
“Perumpamaan
ini, yang menyampaikan makna,
diajarkan
oleh Sang Bijaksana.
Para
nāga agung akan mengenali nāga
yang
diajarkan oleh sang nāga.
“Hampa
dari nafsu, hampa dari kebencian,
hampa
dari delusi, tanpa noda,
sang
nāga, meninggalkan jasmaniNya,
tanpa
noda, padam sepenuhnya
dan
mencapai nibbāna akhir.”
[Kitab
Komentar : Tanpa kayu api, api tidak dapat terus menyala. Maka api ini
dikatakan sebagai telah padam. Nāga ini dikatakan telah mencapai nibbāna, api
ini dikatakan telah padam.]
Hanya Nāga yang
dapat mengenali sesama Nāga. Tidak dapat seekor “cacing” mengenali siapa
itu Nāga. Seekor “cacing” kerdil hanya dapat mengenali sesama “cacing-cacing”
kerdil lainnya.
SUMBER : khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press.