Penyebab Puluhan Nabi GAGAL TOTAL Menghapus Satupun Maksiat/Dosa, Allah Butuh PENDOSA PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA

Konon, menurut agama-agama samawi, puluhan nabi telah pernah diutus oleh Allah, namun telah ternyata GAGAL TOTAL menghapus satupun maksiat paling primitif yang dikenal dalam sejarah umat manusia.

Mulai dari berjudi, berkata kasar, memfitnah, berbohong, menipu, memerkosa, menganiaya, membunuh, selingkuh, berzina, mencuri, merampok, mabuk, dan lain sebagainya—kejahatan-kejahatan mana sudah sejak ada sejak peradaban manusia dimulai.

Pernahkah Anda bertanya : Apa penyebabnya?

Untuk memancing ikan, maka nelayan butuh umpan yang dipasang di ujung tali pancing. Lantas, apa yang menjadi “umpan” dalam agama-agama samawi, sehingga umat pemeluknya menjadi mayoritas di dunia ini?

Mari kita buat rekonstruksi peristiwanya, saat nabi yang satu ke nabi yang lain diutus oleh Allah melakukan “PKDT” kepada para umat manusia.

Ini dan itu, DILARANG Tuhan.

Ini dan itu, DOSA.

Ini dan itu, MAKSIAT.

Ini dan itu, HARAM.

Tampil bak “polisi MORAL”, kaum SUPERIOR, misionaris “Agama SUCI”.

Namun, bagaikan akrobatik sirkus, terjadilah jungkir-balik “logika moral”—sang nabi kemudian mengumandangkan promosi “Agama DOSA” (bagi PENDOSA, tentunya) berikut:

Babi, HARAM.

PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA, HALAL.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

MERAMPOK dan MEMBUNUH kaum NON, HALAL.

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Sang nabi kemudian mengkampanyekan gaya hidup PENUH DOSA alias MENCANDU DOSA, alih-alih mempromosikan cara hidup higienis dari dosa—dengan dogma-dogma bahwa adalah MERUGI bila tidak menjadi seorang PENDOSA PENJILAT PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins).

Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

Sang nabi junjungan saja, yang disebut-sebut sebagai manusia paling sempurna, paling mulia, paling suci, paling baik hati, paling lurus, telah ternyata MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA.

Bung, hanya seorang PENDOSA yang butuh PENGHAPUSAN DOSA.

Lalu, pertanyaannya, itu adalah “Kitab SUCI” ataukah “Kitab DOSA”?

Itu nabi-nabi “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?

Yang Anda peluk dan jalankan, adalah “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?

Pertanyaan berikutnya, mungkinkah ajaran-ajaran yang mengajak kebaikan, ada disatu tempat atau disatu kitab yang sama dengan kitab yang mengajarkan iming-iming KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA”?

Jawabannya sangat sederhana, untuk apa berbuat bajik ataupun kebaikan, jika hidup JAHAT dan KOTOR saja bisa masuk surga?

Antara dogma “PENGHAPUSAN DOSA” dan ayat-ayat yang seolah mengajarkan kebaikan, sejatinya merupakan “dua proposisi yang saling menegasikan satu sama lainnya”.

Ajaran yang JAHAT dan KOTOR, sekalipun diberi label sebagai “SUCI”, tetap saja JAHAT dan KOTOR. Sebagai contoh, bulan Ramadhan dan Lebaran, merupakan bulan pesta-pora OBRAL PENGHAPUSAN DOSA bagi para muslim yang konsumsinya meningkat, meminta dihormati, menuntut THR, serta bermalas-malasan dalam berkerja, dimana “dosa-dosa selama setahun penuh dihapuskan”, mabuk PENGHAPUSAN DOSA, disebut sebagai “bulan SUCI” alih-alih “bulan DOSA”?

“Kabar gembira” bagi PENDOSA, sama artinya “kabar duka” bagi kalangan para Korban. Berkah bagi PENDOSA ataukah petaka bagi korban-korban para PENDOSA tersebut?

Coba perhatikan, setiap harinya para PENDOSA tersebut beribadah memohon PENGHAPUSAN DOSA. Saat hari raya keagamaan, mereka berpesta OBRAL PENGHAPUSAN DOSA. Saat meninggal dunia, sanak keluarga sang almarhum PENDOSAWAN tersebut juga berdoa memohon PENGHAPUSAN DOSA.

Tidak pernah sekalipun mereka memerhatikan, mendoakan, maupun memberikan keadilan bagi para Korban—seakan, Tuhan lebih PRO terhadap PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA. Tuhan semacam apakah itu?

Kesemua itu dipromosikan lewat speaker pengeras suara, secara vulgar mempertontonkan PENGHAPUSAN DOSA kepada publik luas—sekalipun, AURAT TERBESAR ialah berbuat dosa seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan orang-orang lainnya.

Para nabi-nabi tersebut, alih-alih memanusiakan manusia, justru menjadikan para umat manusia pemeluknya menjadi manusia yang begitu PEMALAS untuk menanam benih-benih Karma Baik dan disaat bersamaan terlampau PENGECUT untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah serta masih akan menyakiti, melukai, maupun merugikan orang-orang lainnya.

Jadilah, “business as usual”, para PENDOSA PENJILAT PENGECUT PEMALAS PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut setiap harinya berkubang dosa, mengoleksi segudang dosa, memproduksi segunung dosa, menimbun diri dengan berbukit-bukit dosa, serta bersimbah dosa.

Mereka, adalah PECUNDANG KEHIDUPAN—alias kasta paling rendah, dangkal, hina, kerdil, kotor, jorok, tercela, serta menjijikkan.

Sebaliknya, Sang Buddha bukanlah seorang nabi, Beliau menemukan Dhamma atas usahanya sendiri dan bergerak melawan arus nabi-nabi-an agama samawi.

Sang Buddha bersabda:

182 (2) Penjamin

“Para bhikkhu, terhadap empat hal ini tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada penuaan agar tidak menjadi tua.

(2) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada penyakit agar tidak jatuh sakit.

(3) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada kematian agar tidak mati.

(4) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia, atas kamma buruk yang – kotor, mengarah pada penjelmaan baru, menyusahkan, matang dalam penderitaan, mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan – agar tidak menghasilkan akibatnya.

“Terhadap keempat hal ini tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia.”

~0~

185 (5) Kebenaran Brahmana

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Hering. Pada saat itu sejumlah pengembara terkenal sedang menetap di taman pengembara di tepi sungai Sappinī, yaitu, Annabhāra, Varadhara, Sakuludāyī, dan para pengembara terkenal lainnya.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi taman pengembara di tepi sungai Sappinī. Pada saat itu para pengembara sekte lain telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi:

“Demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana, demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana.”

Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para pengembara itu, duduk di tempat yang telah disediakan, dan bertanya kepada mereka:

“Para pengembara, diskusi apakah yang telah kalian bicarakan tadi? Perbincangan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Guru Gotama, kami telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi: ‘Demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana, demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana.’”

“Para pengembara, ada empat kebenaran brahmana ini yang telah Kunyatakan, setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para pengembara, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Semua makhluk hidup tidak boleh dicelakai.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan.

Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’

Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya karena simpati dan belas kasihan pada semua makhluk hidup.

(2) “Kemudian, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: [177] ‘Semua kenikmatan indria adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’

Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’

Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya demi kekecewaan pada kenikmatan-kenikmatan indria, demi peluruhan dan lenyapnya.

(3) “Kemudian, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Semua kondisi kehidupan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan.

Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’

Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya demi kekecewaan pada kondisi-kondisi kehidupan, demi peluruhan dan lenyapnya.

(4) “Kemudian, para pengembara, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Aku tidak di mana pun menjadi milik siapa pun, juga segala sesuatu di mana pun juga di segala tempat bukan milikku.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan.

[Kitab Komentar : Maknanya adalah bahwa ia tidak melihat diri siapa pun dalam posisi yang dapat dianggap sebagai miliknya.]

Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’

Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia mempraktikkan jalan kekosongan.

“Ini, para pengembara, adalah keempat kebenaran brahmana itu yang telah Kunyatakan, setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

SUMBER : Khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha JILID II”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara.