Minum alkohol, dibilang haram.
Tapi,
mabuk serta kecanduan PENGHAPUSAN DOSA, dibilang halal.
Itu
“Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?
Jujur, saya heran, dimana letak “SUCI”-nya dari Kitab yang justru mempromosikan PENGHAPUSAN DOSA bagi PENDOSA berikut—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
-
No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
-
No. 4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
-
No. 4863 : “Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
-
No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang
masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat
kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii
wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah
aku rizki).”
-
No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang
sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika
kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
Mari
kita simak sunnah nabi rasul Allah, memberi teladan MABUK dan MENCANDU
PENGHAPUSAN DOSA—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
-
No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada
Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan).’”
-
No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah
tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
-
No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
Orang-orang
yang memeluk ajaran MABUK PENGHAPUSAN DOSA demikian, pastilah orang-orang dari
kalangan pemabuk, pikirannya tidak jernih dan kesadarannya lemah, sehingga
memandangnya sebagai “surga” dan menyebutnya sebagai “Agama SUCI”.
Akal
mabuk milik orang mabuk, agamanya para pemabuk, MABUK (PENGHAPUSAN) DOSA.
Sang Buddha
pernah bersabda:
“Para
bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?
(1)
“Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak menghargai perilaku bermoral dan tidak
menjadikan perilaku bermoral sebagai otoritas, tidak menghargai konsentrasi dan
tidak menjadikan konsentrasi sebagai otoritas, dan tidak menghargai
kebijaksanaan dan tidak menjadikan kebijaksanaan sebagai otoritas.
(2)
“Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku
bermoral sebagai otoritas, tetapi tidak menghargai konsentrasi dan tidak
menjadikan konsentrasi sebagai otoritas, dan tidak menghargai kebijaksanaan dan
tidak menjadikan kebijaksanaan sebagai otoritas.
(3)
“Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku
bermoral sebagai otoritas, menghargai konsentrasi dan menjadikan konsentrasi
sebagai otoritas, tetapi tidak menghargai kebijaksanaan dan tidak menjadikan
kebijaksanaan sebagai otoritas.
(4)
“Seseorang lainnya menghargai perilaku
bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai otoritas, menghargai
konsentrasi dan menjadikan konsentrasi sebagai otoritas, dan menghargai
kebijaksanaan dan menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.
“Ini
adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”
~0~
~Auman Singa~
“Para bhikkhu, pada malam hari seekor singa, raja
binatang buas, keluar dari sarangnya, meregangkan tubuhnya, mengamati empat
penjuru sekeliling, dan mengaumkan aumannya tiga kali. Kemudian ia pergi
berburu.
“Binatang apa pun yang mendengar auman singa
sebagian besar akan merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan kegentaran.
Mereka yang hidup di dalam lubang memasuki lubang mereka; mereka yang hidup di
dalam air memasuki air; mereka yang hidup di dalam hutan memasuki hutan; dan
burung-burung terbang ke angkasa. Bahkan gajah-gajah kerajaan yang besar, yang
terikat erat dengan tali kulit di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota
besar, memberontak dan memutuskan ikatan mereka hingga hancur; dengan
ketakutan, mereka buang air kecil dan air besar dan berlarian dari sana.
Sungguh betapa berkuasanya di antara binatang-binatang singa, raja binatang
buas itu, begitu agung dan perkasa.
“Demikian pula, para bhikkhu, ketika Sang Tathāgata
muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam
pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia,
pelatih yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para
deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci, Beliau mengajarkan Dhamma
sebagai berikut: ‘(1) Demikianlah penjelmaan diri, (2) demikianlah asal-mula
penjelmaan diri, (3) demikianlah lenyapnya penjelmaan diri, (4) demikianlah jalan
menuju lenyapnya penjelmaan diri.’
[NOTE : Penjelmaan diri” (sakkāya), bermakna kelima
kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan.]
“Ketika para deva itu yang berumur panjang, indah,
dengan kebahagiaan melimpah, menetap lama di istana-istana agung, mendengar
ajaran Dhamma Sang Tathāgata, sebagian besar dari mereka akan merasa ketakutan,
merasakan keterdesakan, dan kegentaran sebagai berikut: ‘Tampaknya kami
sebenarnya adalah tidak kekal, walaupun kami pikir kami adalah kekal; tampaknya
kami sebenarnya adalah sementara, walaupun kami pikir kami bertahan selamanya;
tampaknya kami sebenarnya adalah tidak abadi, walaupun kami pikir kami adalah
abadi. Tampaknya kami adalah tidak kekal, sementara, tidak abadi, yang termasuk
dalam penjelmaan diri.’ Begitu berkuasanya Sang Tathāgata, begitu agung dan
perkasanya Beliau di dunia ini bersama dengan para devanya.”
[Penjelasan Kitab Komentar : ‘Sebagian besar’ (yebhuyyena) dikatakan untuk
mengecualikan para deva itu yang adalah para siswa mulia. Walaupun mereka
mengalami desakan pengetahuan (ñāṇasaṃvega), namun tidak ada ketakutan sama sekali yang
muncul pada para Arahant, karena mereka telah mencapai apa yang harus dicapai
melalui usaha seksama. Para deva lain, ketika mereka memerhatikan
ketidakkekalan, mereka mengalami baik kekhawatiran maupun ketakutan pikiran (cittutrāsabhaya) dan, pada saat
pandangan terang yang kuat, mengalami ketakutan kognitif (ñāṇabhaya).
“Ketakutan kognitif” mungkin adalah tingkat
pandangan terang yang disebut “pengetahuan penampakan sebagai menakutkan”.
Termasuk dalam penjelmaan diri (sakkāyapariyāpannā):
termasuk dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah, ketika Sang Buddha
mengajarkan kepada mereka Dhamma yang disegel dengan ketiga karakteristik,
mengungkapkan cacat-cacat dalam lingkaran penjelmaan, maka ketakutan kognitif
merasuki mereka.]
Ketika, melalui pengetahuan langsung, Sang Buddha,
Sang Guru, manusia yang tanpa tandingan di dunia ini bersama dengan para
devanya, memutar roda Dhamma, [Beliau mengajarkan] penjelmaan diri, lenyapnya,
asal mula penjelmaan diri, dan jalan mulia berunsur delapan yang menuntun
menuju ditenangkannya penderitaan.
Maka bahkan para deva itu yang berumur panjang –
indah, gemerlap dengan keagungan – menjadi ketakutan dan merasakan kegentaran,
bagaikan binatang liar yang mendengarkan auman singa.
“Tampaknya kami adalah tidak kekal, tidak
melampaui penjelmaan diri,” [mereka berkata], ketika mereka mendengar kata Sang
Arahant, Yang Stabil yang terbebaskan sepenuhnya.
SUMBER
: Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha JILID II”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara.