Makna HIDAYAH : Dari Semula Toleran menjadi INTOLERAN, HAUS DARAH, dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA (bagi PENDOSA, Tentunya)

Apa yang dimaksud dengan “hidayah”?

Mengapa kaum muslim, begitu delusif dengan merasa dirinya merupakan kaum paling superior, yang berhak menghakimi kaum lain seakan “polisi moral” yang sudah “bermoral”?

Faktanya, mereka merupakan PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA”—sekalipun, hanya seorang PENDOSA yang butuh PENGHAPUSAN DOSA—yang terlampau pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, alias kasta paling rendah, hina, kotor, tercela, buruk, busuk, ternoda, dan dangkal.

Terdapat satu syarat untuk mendapatkan “hidayah”, yakni : gadaikan otak Anda, demi iman setebal tembok beton yang bahkan tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun—seolah otak untuk berpikir kritis bukanlah ciptaan Tuhan itu sendiri.

Mengapa? Karena makna harafiah “Islam” ialah “KEPATUHAN SECARA MUTLAK”.

Otak, karenanya, haram hukumnya. Otak hanya berfungsi sebagai pajangan belaka, tidak lebih daripada itu. Bahasa agamaisnya ialah, “sunat kepala”, yakni buang jauh-jauh otak Anda.

Kita mulai dari “hidayah” pertama : Dari semula melek, menjadi BUTA. Dari semula orang baik yang takut berbuat dosa, menjadi “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA!”

Dari orang baik-baik, menjelma pendosa penjilat penuh dosa—alias pecandu ideologi korup bernama “PENGHAPUSAN DOSA”.

Bung, hanya seorang PENDOSA, yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”.

Babi, HARAM.

Penghapusan Dosa, HALAL—bahkan dijadikan “halal lifestyle”, sekalipun AURAT TERBESAR ialah berbuat dosa, akan tetapi dipertontonkan lengkap dengan doa-doa memohon “PENGHAPUSAN DOSA”.

Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

Pendosa, namun hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, mulia, agung, bersih, jujur, dan baik?

Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, dan berbondong-bondong mereka terperosok masuk ke dalam jurang nista tersebut.

Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Kaum yang “merugi”, kata mereka, jika tidak menikmati dosa dan maksiat plus mencandu iming-iming “PENGHAPUSAN DOSA”.

Akan tetapi disaat bersamaan, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu intoleran.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

“Hidayah” kedua : disaat masih sebagai minoritas, menuntut diberikan toleransi serta menikmati toleransi beragama.

Akan tetapi ketika telah menjelma mayoritas, mereka hendak memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati dari nenek-moyang Nusantara yang beragama Buddha sejak abad ke-1 s.d. ke-15 Masehi—lihat Kitab Jawa DHARMO GHANDUL, durhakanya kaum muslim terhadap tolerani umat Buddha Nusantara Kerajaan Majapahit.

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

“Hidayah” ketiga : Dari semula tidak punya hobi mencium-cium batu, menjelma penyembah dan pencium-cium batu hitam.

Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

“Hidayah” keempat : Demi bisa bersetubuh dengan puluhan bidadari berdada montok yang selaput daranya bisa di-“daur ulang” di Kerajaan Allah, anak kandung sendiri tega disembelih dan dirampas nyawa hidup dan masa depannya.

Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.

(100) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.

(101) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.

(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”.

(103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

(104) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

(105) susungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang berbuat baik.

(106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

(107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

(108) Kami abadikan Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.

(109) (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.

(111) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

“Hidayah” kelima : Dari semula cinta damai, namun menjelma barbarisme “menyelesaikan segala masalah dengan kekerasan fisik serta pembunuhan”. Berikut inilah, misi misionaris mereka:

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.

Timbul pertanyaan dibenak orang-orang yang masih memiliki “akal sehat milik orang sehat”—bukan “akal sakit milik orang sakit”—sebenarnya yang namanya “hidayah” ini, adalah anugerah Tuhan ataukah kutukan IBLIS?

Kita tahu, ciri paling khas dari IBLIS ialah : suka menyaru dan penuh tipu muslihat. Namun mudah untuk mengenalinya, yakni jahat, egosentris, dan tercela. Hanya orang-orang dengan tingkat IQ menyedihkan yang tidak mampu membedakannya.

Mengapa begitu bertolak belakang, terhadap ajaran Sang Buddha berikut:

Sang Buddha bersabda: [dikutip dari Dhammapada dan Angguttara Nikaya]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

Sang Buddha pernah bersabda : Apa yang dianggap / dipandang sebagai kenikmatan bagi kebanyakan orang, merupakan dukkha di mata saya.

Maka, bisa pula kita katakan, apa yang disebut sebagai “neraka” di mata kaum muslim, merupakan “surga” di mata kaum bijaksanawan. Karenanya, “melawan arus” menjadi penting di sini—tidak terkecuali “melawan arus hidayah”.