Tidak banyak orang yang menyangka, bahwa dengan mengakui bahwa “hidup adalah DUKKHA”, mampu membuat hidup kita setidaknya lebih damai, sejuk, teduh, dan tenteram—tanpa lagi dikuasai oleh kegelisahan tanpa ujung pangkal.
Dogma
sebaliknya, yang diajarkan oleh agama samawi, bahwa “hidup adalah NIKMAT”,
justru ibarat “menyiram bensin ke dalam bara api yang sedang menyala” atau
ibarat “meminum air laut untuk melepaskan dahaga”.
Untuk mencari obat “pelipur lara”, bukan dengan memungkiri kenyataan dan realita yang mengikat seluruh makhluk yang masih terkondisikan, yakni hukum mengenai segalanya ialah : selalu berubah, dukkha, dan tiada inti diri.
Apa
yang dimaksud dengan dukkha?
Dukkha
bermakna senantiasa tidak terpuaskan, akan kembali disergap dahaga, kebosanan,
kejemuan, menyedihkan, menyakitkan, dan kegelisahan.
Tidak
ada yang pasti, yang pasti ialah ketidakpastian itu sendiri—alias selalu
berubah.
Jika
jiwa ini adalah “AKU”, maka mengapa jiwa ini kerap membuat kita dilanda
kegelisahan dan kesedihan, ketidaknyamanan, bisa merasa takut, disergap trauma,
rasa sakit-getir-pahit, keinginan-keinginan yang negatif, ingatan-ingatan yang
traumatik, kerap salah ingat atau lupa, bahkan cenderung merugikan diri kita
sendiri?
Jika
tubuh ini adalah “AKU”, maka mengapa tubuh ini tidak bertumbuh sesuai keinginan
kita, dapat menjadi sakit, menua, pemikiran-pemikiran bodoh, serta harus
belajar ilmu anatomi tubuh, mengambil keputusan yang kita sesali sendiri di
kemudian hari, bahkan kerap terdapat dorongan atau impuls dari dalam diri untuk
merugikan dan menyikiti diri kita sendiri?
Ada
bahaya dibalik dogma “hidup adalah NIKMAT”—itu akan membuat batin Anda
digentayangi dan dihantui oleh keserakahan, ketidakpuasan akut, kebencian, iri
hati, bagaikan “hantu penasaran”, Anda tidak akan pernah tenang.
Ketika
Anda mendapati diri Anda merasa tidak puas, senantiasa dikuasai ambisi,
menderita, sedih, pedih, kehilangan orang yang Anda cintai, berkumpul dengan
mereka yang Anda benci, mengalami kerugian finansial, jatuh sakit, menua, maka
Anda akan berpikir : “ADA YANG SALAH DENGAN DIRI DAN HIDUP SAYA! SAYA TIDAK
BAHAGIA, SEMENTARA ORANG LAIN MERASA BAHAGIA! TUHAN SUDAH BILANG BAHWA HIDUP
ADALAH NIKMAT. SAYA TIDAK RELA! SAYA TIDAK INGIN MENDERITA! MENGAPA HANYA SAYA
SEORANG DIRI DI DUNIA INI YANG MENDERITA! SAYA TIDAK TERIMA!”
Akibatnya,
Anda hidup bagaikan zombie, “hantu penasaran” yang bergentayangan
mempertanyakan dan menggugat hidup Anda sendiri.
Sebaliknya,
ketika Anda mulai menyadari dan memahami, sebelum kemudian mengakui dan
menerimanya sebagai bagian dari kehidupan yang mengikat setiap makhluk hidup,
tanpa terkecuali, bahkan itu makhluk dewa di alam dewata, makhluk brahma di
alam brahma, mereka akan menua, sakit, dan meninggal dunia, dicengkeram
ketidakpuasan, senantiasa haus dan dahaga,
dan perasaan-perasaan negatif menekan lainnya.
Maka,
pada saat itu jugalah Anda mulai terbangun, tersadarkan, dengan kesegaran hidup
yang baru, bahwa : semua makhluk yang masih terkondisikan, terjerat dalam
“belenggu rantai karma”, dipermainkan oleh siklus tumimbal lahir, adalah
menderita, sama seperti diriku yang menderita, tanpa terkecuali.
Berbekal
“insight” demikian, Anda tidak lagi
terobsesi untuk merampas hak-hak orang lain, merenggut kebahagiaan milik orang
lain, menyakiti dan membuat orang lain menderita, bahkan mulai belajar untuk
berbelas-kasih terhadap orang-orang yang sejatinya mereka semua “sesama makhluk
yang menderita” seperti kita.
Iri
hati dan cemburu, berganti menjadi welas-asih, bagai sinar kehangatan mentari
mengatasi dingin-gelap-nya dunia.
Seperti
kelakar yang dikatakan oleh Ajahn Brahm, ketika Anda jatuh sakit dan pergi
mencari dokter, katakanlah kepada sang dokter : “Dok, ada yang BERES dengan diri saya, saya jatuh sakit!”
Ada
sebuah momen yang unik. Pada saat saya masih berkuliah, dosen memberi
kesempatan kami untuk mempresentasikan keberanian ber-opini, pada forum itulah,
disaksikan sang dosen dan para mahasiswa dari beragam latar-belakang ekonomi
maupun agama, saya sampaikan bahwa “hidup
adalah DUKKHA”—dan, tidak ada yang membantah ataupun melontarkan
argumentasi yang menentang.
Bila
Anda tidak ingin menua, sakit, dan meninggal dunia, maka bukanlah dunia ini
yang “TIDAK BERES”—yang tidak beres ialah diri dan pikiran Anda sendiri.
Sang Buddha
pernah bersabda:
“Para bhikkhu, (1) pada hari ke delapan dwimingguan,
para menteri dan anggota kelompok dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia,
[dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya
terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan
brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha,
menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’
(2) Pada hari ke empat belas dwimingguan, para putra
dari empat raja dewa mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada
banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … [143] …
dan melakukan perbuatan berjasa.’
(3) Pada hari ke lima belas, hari uposatha, Keempat
raja dewa sendiri mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada
banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan
melakukan perbuatan berjasa.’
[Kitab Komentar : Hari ke delapan dari dwimingguan adalah
hari bulan seperempat, baik pada periode bulan mengembang maupun menyusut.
“Empat Raja Dewa” (catumahārājāno)
adalah para penguasa di alam terendah dari enam alam surga indria, alam
terdekat dengan manusia. Kita melihat suatu tingkatan berurutan di sini: pada
hari ke delapan, para menteri dan anggota kelompok (amaccā pārisajjā) memeriksa dunia; pada hari ke empat belas (hari
sebelum bulan purnama dan bulan baru), para putra (puttā) mereka memeriksa dunia; dan pada hari ke lima belas, hari
bulan purnama sebenarnya dan hari bulan baru, keempat raja dewa sendiri
memeriksa dunia.]
“Jika, para bhikkhu, ada sedikit orang yang
berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan
berjasa, keempat raja dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama
di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang
berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan
berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi tidak senang, [dengan mengatakan]: ‘Aduh,
kelompok surgawi akan mengalami kemunduran dan kelompok asura akan berkembang!’
[NOTE : Asura merupakan salah satu makhluk penghuni
“alam tanpa kebahagiaan”, yakni sejenis jin raksasa namun memiliki kesaktian
setingkat dewa, akan tetapi lebih rendah derajatnya daripada manusia dan kerap
melakukan kejahatan dengan kesaktiannya tersebut.]
“Tetapi jika
ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan
melakukan perbuatan berjasa, keempat raja dewa melaporkan hal ini kepada para
deva Tāvatiṃsa ketika
mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan
yang terhormat, ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan
ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana,
menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha,
menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’
Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi gembira,
[dengan mengatakan]: ‘Sungguh, kelompok surgawi akan berkembang dan kelompok
asura akan mengalami kemunduran!’”
“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika
Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia melafalkan syair berikut ini: [144]
“‘Orang yang ingin menjadi sepertiku
harus menjalankan uposatha
yang lengkap dengan delapan faktor,
pada hari ke empat belas, ke lima belas,
dan ke delapan dari dwimingguan,
dan selama dwimingguan khusus.’
“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk
oleh Sakka, penguasa para deva, bukan diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan
buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka,
penguasa para deva, tidak hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi. Tetapi dalam
hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya
dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa
yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya sendiri,
telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang
yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya
baginya untuk mengatakan:
“‘Orang yang ingin menjadi sepertiku … dan selama
dwimingguan khusus.’
“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu hampa
dari nafsu, kebencian, dan delusi.”
~0~
“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika
Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia melafalkan syair berikut ini:
“‘Orang yang akan menjadi sepertiku …, dan selama
dwimingguan khusus.’
“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk
oleh Sakka, penguasa para deva, bukan diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan
buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka,
penguasa para deva, tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari
dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas
dari penderitaan, Aku katakan. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah
seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan … seorang yang
sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya
untuk mengatakan:
“‘Orang yang akan menjadi sepertiku … dan selama
dwimingguan khusus.’ [145]
“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu
terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan,
kesakitan, keputus-asaan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari
penderitaan, Aku katakan.”
SUMBER : Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID I”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press.