Bahagia dalam Keindahan “KAFIR LIFESTYLE”. KAFIR Vs. PENDOSA PECANDU “PENGHAPUSAN DOSA” Bernama Muslim

Memuliakan Tuhan, adalah dengan cara menjadi manusia yang mulia—bukan dengan menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa” yang mencandu “PENGHAPUSAN DOSA”.

Bung, hanya seorang PENDOSA, yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”.

Jadilah umat “Agama SUCI” ataupun “Agama KSATRIA”, jangan menjadi umat pemeluk “Agama DOSA” yang mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA, tentunya) alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa.

Menjadi Kafir, adalah “berkah / anugerah terbesar”. Atas alasan apakah?

Alasan pertama, keindahan menjadi seorang Kafir, ialah kita tetap menjadi seorang manusia yang “TIDAK BUTA”.

Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

Pendosa, namun hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, mulia, agung, bersih, jujur, dan baik?

Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, dan berbondong-bondong mereka terperosok masuk ke dalam jurang nista tersebut.

Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Kaum yang “merugi”, kata mereka, jika tidak menikmati dosa dan maksiat plus mencandu iming-iming “PENGHAPUSAN DOSA”.

Akan tetapi disaat bersamaan, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu intoleran.

Alasan kedua, mengapa kita perlu berbangga diri menjadi seorang Kafir, ialah kita bisa dengan penuh martabat dan integritas berkata lantang, “TIDAK BUTUH” terhadap ideologi korup berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

Alasan ketiga, mengapa kita berbahagia hidup sebagai seorang Kafir, ialah kita hidup dalam kedamaian tanpa perlu mengotori tangan maupun jiwa kita dengan darah orang lain.

 “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Alasan keempat mengapa kita patut bersyukur menjadi seorang Kafir, ialah kita tidak perlu diperbudak oleh “batu hitam” yang tidak berfaedah namun minta dicium-cium dan bekas dicium-cium jutaan para pendosa yang mabuk “penghapusan dosa”.

Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

Alasan kelima, mengapa Anda patut bersyukur bila memiliki seorang ayah yang Kafir, ialah Anda sebagai anak tidak perlu cemas Ayah Anda akan meniru Abraham / Ibrahim yang tergiur untuk bersetubuh dengan puluhan bidadari berdada montok di Kerajaan Allah (EGO, selfish motive), dengan cara menumbalkan hidup anak kandungnya sendiri.

Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.

(100) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.

(101) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [Ini kok, pakai istilah “KAMI”? Katanya wahyu dari Tuhan.]

(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”.

(103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

(104) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

(105) susungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang berbuat baik. [ini yang disebut “KAMI”, siapa?]

(106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

(107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. [Kok muncul lagi, istilah “KAMI”?]

(108) Kami abadikan Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.

(109) (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.

(111) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. [“KAMI”, bukankah katanya tiada Tuhan lain selain Allah?]

Alasan keenam, mengapa kita perlu merawat “ke-kafir-an” kita sebagai harta terbesar kita, ialah agar kita tetap mampu menjaga kewarasan kita, serta tetap “eling” alias “ber-kesadar-an” (mindfull).

Sang Buddha bersabda: [dikutip dari Dhammapada dan Angguttara Nikaya]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

Sang Buddha pernah bersabda : Apa yang dianggap / dipandang sebagai kenikmatan bagi kebanyakan orang, merupakan dukkha di mata saya.

Maka, bisa pula kita katakan, apa yang disebut sebagai “neraka” di mata kaum muslim, merupakan “surga” di mata kaum bijaksanawan. Karenanya, “melawan arus” menjadi penting di sini—tidak terkecuali “melawan arus ke-muslim-an”.