Agama yang OPTIMISTIK mengajarkan,
setiap orang yang baik dapat masuk surga, tanpa terkecuali, sekalipun Ateis.
Sebaliknya, agama yang PESIMISTIK
mengajarkan, hanya seorang “PECANDU PENGHAPUSAN DOSA” dan yang “menggadaikan
otaknya demi iman setebal tembok beton yang tidak tembus oleh cahaya ilahi
manapun”, yang memonopoli surga.
Mengapa ada orang yang justru memilih memeluk agama yang PESIMISTIK?
Dewa berkumpul dengan sesama dewa,
iblis berkumpul dengan sesama iblis. Begitupula, orang yang PESIMISTIK akan
cenderung memeluk agama yang juga PESIMISTIK.
Pernah terjadi, pada suatu hari,
seorang ustad / kiai di masjid, dengan speaker pengeras suara eksternal, tanpa
malu-malu berceramah :
“Ada yang
mengatakan, orang baik akan masuk surga sekalipun NONmuslim. Saya tidak setuju!
Jika orang-orang baik bisa masuk surga, lalu untuk apa kita solat 5 kali
sehari?”
Sering juga terjadi, kemanapun
berada, ketika terdapat dua orang umat nasrani / kristiani saling mengobrol,
obrolannya khas seperti ini:
“Orang-orang
Buddhist, baik sih orangnya, tapi karena tidak percaya dan mengimani Yesus
Kristus, orang-orang Buddhist masuk neraka.”
Mereka, adalah kaum yang begitu
PEMALAS menanam benih-benih Karma Baik, dan disaat bersamaan merupakan kaum
yang begitu PENGECUT untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk
mereka sendiri.
Yang hebat bukanlah menjadi PECANDU
“PENGHAPUSAN DOSA”, namun menjadi seorang berjiwa KSATRIA yang siap sedia
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruknya sendiri dan yang mau
menyingsingkan lengan baju untuk berbuat kebajikan.
Untuk memuliakan Tuhan, ialah
dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, bukan menjadi seorang “pendosa
penjilat penuh dosa”.
Pendosa, namun hendak berceramah
perihal cinta kasih, kedamaian, kejujuran, kebaikan, kesucian, keluhuran, dan
kemuliaan?
Itu ibarat orang buta, hendak
menuntun para butawan lainnya, berbondong-bondong mereka melaju menuju jurang
nista bernama neraka. Neraka pun dipandang sebagai surga.
Ibarat Tuhan mengampuni dosa-dosa
seorang penipu, Tuhan pun ditipu oleh sang penipu. Yang bodoh, siapa di sini?
Sudah tahu penipu, masih juga mau memakan klaim-klaim seorang penipu. Tuhan
yang bodoh, pastas tertipu.
Dalam islam maupun nasrani, ritual
dijadikan substitusi alias pengganti dari perbuatan baik maupun
pertanggung-jawaban perbuatan-perbuatan buruk para muslim maupun kristen.
Sebaliknya, ritual dalam Buddhisme
justru ialah berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk.
Sehingga, Buddhistik sangat
bertolak-belakang dengan dogma-dogma korup dalam agama samawi.
Lalu, apa dan seperti apakah,
ibadah dalam Buddhisme?
Tidak semua orang, sanggup memiliki
komitmen untuk menjalankan ibadah Buddhisme berikut:
Ovada Patimokkha
Tidak
melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa
mengembangkan kebajikan
dan
membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”, begitulah sabda Para
Buddha.
Dia
yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya
bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri
sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di
tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan batin nan luhur;
inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada 183-184-185, Syair Gatha.]
Masih juga, para “agamais” PECANDU
“PENGHAPUSAN DOSA” tersebut merasa sebagai kaum paling superior, memiliki SQ tertinggi,
memiliki “standar moral” tertinggi, sehingga merasa berhak menghakimi kaum
lainnya.
Bung, hanya seorang PENDOSA yang
butuh PENGHAPUSAN DOSA.
Babi, mereka sebut sebagai haram.
Namun, PENGHAPUSAN DOSA—bagi
PENDOSA, tentunya—mereka sebut sebagai HALAL.
Itulah, “halal lifestyle” kaum
agamais, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap PENDOSA alih-alih sebagai hakim
yang adil kepada para korban dari para PENDOSA tersebut.
Sang Buddha bersabda:
“Para
bhikkhu, ada lima kualitas ini yang menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang
yang masih berlatih. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki
keyakinan dan bermoral, terpelajar, bersemangat, dan bijaksana.
(1)
Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tanpa keyakinan tidak ada pada
seorang yang memiliki keyakinan; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan
kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.
[KITAB
KOMENTAR : Sārajja adalah kondisi
seseorang yang takut, enggan, dan tidak aman (sārada) ketika harus muncul di hadapan publik atau mengambil posisi
dalam urusan komunitas. Lawannya, vesārajja,
adalah kondisi di mana seseorang merasa nyaman dan percaya-diri (visārada) ketika berinteraksi dengan
orang lain.]
(2)
Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak bermoral tidak ada pada
seorang yang bermoral; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan
kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.
(3)
Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak terpelajar tidak ada pada
seorang yang terpelajar; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan
kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.
(4)
Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang malas tidak ada pada seorang yang
bersemangat; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada
seorang yang masih berlatih.
(5)
Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak bijaksana tidak ada pada
seorang yang bijaksana; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan
kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.
Ini
adalah kelima kualitas itu yang menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang
masih berlatih.” [128]
SUMBER : Khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara.