Cara Merdeka dari Kutukan Warisan Genetik Buruk Orangtua / Leluhur
Kita tidak bisa memilih, terlahir di keluarga yang seperti apa kualitas genetiknya. Penelitian terhadap Genom, menemukan adanya salah satu kromosom yang bertanggung-jawab atas sifat kriminil seseorang—yang konon, sifatnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itu, menyerupai kutukan yang bisa jadi kita wariskan sejak dari nenek moyang kita.
Relevansi hipotesis ilmiah di
atas, dapat kita jumpai sendiri di keseharian maupun dari pemberitaan, yakni
adanya suatu pola atau corak kriminalitas yang bersifat turun-temurun dari
orangtua kepada anak. Itu, menyerupai sebuah “vonis” terhadap hidup seorang
anak yang dilahirkan dari sebuah keluarga yang mewarisi genetik kriminil dari
nenek-buyutnya—bahkan sebelum anak tersebut dilahirkan.
Jika kata pepatah, pohon pepaya
menghasilkan buah pepaya. Pohon nangka menghasilkan buah nangka. Kecuali,
dilakukan mekanisme transgenik, dimana genetika tanaman direkayasa. Namun,
apakah artinya kita hanya bisa pasrah, menjadi “budak” atas warisan genetik
dari silsilah keluarga kita?
Kita akan mencermatinya dari
berbagai sisi. Tips Pertama, benar-benar cermati bibit, bebet, serta bobot
calon pasangan hidup yang akan Anda nikahi. Jangan bersikap seolah “yang
penting ada yang mau menikah dengan saya”. Kasihani calon anak Anda, bila ia mewarisi
sifat-sifat buruk salah satu orangtuanya, terlebih bila kedua orangtuanya
memiliki paduan sifat buruk yang kental.
Tips Kedua, yaitu dengan
melakukan “self-repair” alias melakukan rekayasa terhadap diri kita sendiri
sebagai sebentuk terapi diri. Tidak mudah, namun setidaknya kita berupaya
terbaik yang kita mampu, kecuali Anda memandang bahwa diri dan hidup Anda
adalah “tidak berharga”, sehingga Anda memutuskan untuk mencampakkan diri Anda
sendiri.
Langkah pertama, sadari dan
amati, seperti apakah perilaku orangtua maupun diri kita sendiri. Apakah ada,
sifat-sifat yang perlu dikoreksi, dibuang jauh, ataupun sifat-sifat baik yang
belum muncul dalam diri kita. Disini, kita menggunakan kekuatan “evaluasi diri”
dan “mawas diri”. Gunakan metode “sudut pandang pihak ketiga”, seolah-olah kita
melihat perilaku diri kita sendiri, dari mata orang lain yang punya “mata
dewa”.
Langkah kedua, berlatih
disiplin diri yang ketat, bernama “self-control” terhadap setiap bentuk
tendensi-tendensi ataupun kecenderungan-kecenderungan buruk yang mendesak dari
dalam diri kita. Jujur pada diri sendiri, serta bercermin-diri, menjadi
penting. Practice, makes perfect. Berlatihlah, meski awalnya terseok-seok atau
babak-belur!
Upaya awal, berat, sama
beratnya dengan pesawat ulang-aling yang hendak melawan gravitasi—seberat
itulah, melawan sebuah warisan genetik. Jadi, jangan pernah meremehkannya.
Langkah kedua, menetapkan
tekad, serta membulatkan tekad tersebut. Contoh, “Saya bertekad, untuk tidak
menjadi seperti dosen saya yang arogan dan korup terhadap mahasiswa, memeras
mahasiswa pembayar uang kuliah, dengan menjual buku materi kuliah kepada
mahasiswanya sendiri meskipun itu tanggung-jawab dosen”, misalnya.
Ada sebuah seni yang kebetulan
saya kembangkan secara pribadi, bernama “seni mengubah petaka menjadi berkah”. Ketika
kita merasa dilukai oleh perbuatan orang lain, maka dengan itu, kita menjadi
tahu, perbuatan semacam itu adalah buruk, karenanya kita dapat membuat semacam
“vaksin” (vaccine) untuk kita suntikkan ke dalam diri kita sendiri, agar kita
tidak memiliki sifat-sifat buruk semacam itu.
Ini, menyerupai metode “cuci
otak”—namun kita melakukannya kepada diri kita sendiri dimana terapis serta
mentor-nya juga adalah diri kita sendiri, secara mandiri. Ingat, pergaulan itu
“menular”—bentengi diri Anda sebelum terlambat.
Pernah mendengar istilah
psikologi “stockholm syndrome”, semisal seseorang yang pernah menjadi korban
pada mulanya, namun kemudian menjelma menjadi pelaku kejahatan yang melakukan
kejahatan serupa yang dahulu ia alami? Korban, menjelma menjadi pelaku,
dikemudian hari. Pintar-pintarlah dalam membawa, mendidik, serta mengasuh diri
kita sendiri.
Kisah inspiratif berikut, dapat
cukup menjelaskan caranya. Ada seorang ayah, memiliki sifat pemabuk yang hebat.
Ia, memiliki dua orang anak yang kini keduanya sudah dewasa. Anak pertama,
ternyata hidupnya sama berantakannya dengan sang ayah, hidup sebagai seorang
pemabuk.
Ketika ditanyakan, mengapa sang
anak pertama, hidup seperti demikian. Berikut jawaban sang anak pertama,
“Karena ayah saya seorang pemabuk!”
Sebaliknya, anak kedua memiliki
hidup yang makmur dan mapan, bebas dari alkohol. Ketika ditanyakan, mengapa ia
bisa begitu berbeda hidupnya dengan sang ayah, inilah jawaban sang anak kedua: “Karena
saya tidak ingin menjadi seperti ayah saya yang pemabuk.”
Kita selalu punya “ruang bebas
untuk memilih” alias “pilihan dan kehendak bebas”. Bahkan, Sang Buddha berkata
bahwa Hukum Karma maupun kuasa Tuhan sekalipun tidak bersifat deterministik,
terlebih sebuah genetik.
Genetik, adalah sebentuk
“potensi”. Selama Anda tidak memicunya, seburuk apapun genetik tersebut, maka
statusnya tetap saja “inactive”. Bila terdapat sebuah tombol, yang dapat
meluncurkan rudal berisi nuklir, kita cukup untuk tidak menekan tombol
tersebut.
Pilihan ada di tangan Anda, itu
hidup Anda sendiri, lengkap dengan konsekuensi dibalik masing-masing pilihan
hidup yang Anda pilih. Apa yang Anda pelajari dalam kesempatan ini, bukanlah
teori yang belum teruji.
Kesemua ini adalah kristalisasi
dari pengalaman pribadi saya, dan berharap dapat bermanfaat bagi Anda yang bisa
jadi memiliki kendala hidup serupa—terbelenggu sebuah rantai yang “tidak kasat
mata” dan bergerak melampauinya.
Semoga berhasil, kawanku semua,
dan selamat berlatih.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.