DEMI KESEDERHANAAN Versus DEMI KESENANGAN INDERAWI YANG TIDAK TERPUASKAN
Agama SUCI Vs. Agama DOSA
Question: Memangnya sejauh apakah, perbedaan antara agama
Buddha dan agama Islam?
Brief Answer: Agama Buddha menekankan hukum tabut-tuai, alias
prinsip meritokrasi (merit system) ala
egalitarian. Sebaliknya, Agama Islam lebih layak menyandang julukan “Agama DOSA”—semata
karena mempromosikan ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” (abolition of sins) alih-alih mengkampanyekan
gaya hidup higienis dari dosa. Sekalipun, hanya seorang pendosa yang butuh ‘penghapusan
dosa”, dimana para pendosa menjadi umat pemeluknya, dimana juga bermakna para
pengikutnya hanyalah kalangan pendosawan. Babi mereka “haram”-kan, namun
ironisnya disaat bersamaan “penghapusan dosa” mereka jadikan “halal lifestyle”. Mereka, para
pendosawan tersebut, terlampau pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik,
dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan
buruk mereka sendiri.
PEMBAHASAN:
“Islam” bermakna : “patuh
secara MUTLAH”. Artinya, mengkritisi lewat nurani maupun berpikir kritis
memakai otak, adalah tabu dan haram hukumnya. Salah satunya dogma-dogma berikut:
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim].
- “Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia
masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak
diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah
maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan
Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume
2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan
‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat
kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka
melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan
MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Pendosa, hendak berceramah
perihal hidup suci, lurus, bersih, mulia, dan jujur? Itu ibarat orang buta
hendak menuntun para butawan lainnya. Neraka pun disebut alam surgawi. Sebaliknya,
dalam Buddhisme berpikir jernih memakai nurani dan intelektual, adalah syarat
penting untuk dapat menjadi bijaksana. Salah satu khotbah Sang Buddha yang
menjunjung tinggi olah pikiran serta sikap kritis, berupa kutipan berikut:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang
yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah
menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan
yang tinggi.
(1) “Dan apakah orang yang
mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.
(2) “Dan apakah orang yang
melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan,
menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual
yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.
~0~
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.
(2) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Setelah menyelidiki dan
setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.
(2) Setelah menyelidiki dan
setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.
Dogma “demi kepuasan dan
kenikmatan inderawi” disikapi dengan “pelampiasan” yang tidak kenal kata
batasan sekalipun selalu menjumpai keterpuasan, dapat kita jumpai dalam kutipan
berikut:
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).
Sebaliknya, “demi kesederhanaan” sebagaimana khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan
kutipan:
IV. Penghuni Hutan
181 (1) Penghuni Hutan
“Para bhikkhu, ada lima jenis
penghuni hutan ini. Apakah lima ini?
(1) Seorang yang menjadi
penghuni hutan karena ketumpulan dan kebodohannya;
(2) seorang yang menjadi
penghuni hutan karena ia memiliki keinginan jahat, karena ia didorong oleh
keinginan;
[Kitab Komentar : Pāpiccho icchāpakato āraññiko hoti. “Ia
berpikir, ‘Sewaktu aku sedang menetap di hutan, mereka akan memberikan
penghormatan padaku dengan empat benda kebutuhan, dengan berpikir bahwa aku
adalah seorang penghuni hutan. Mereka akan menghargai moralitasku, dengan
berpikir bahwa aku puas dan terasing, dan seterusnya.’ Demikianlah ia menjadi
seorang penghuni hutan berdasarkan pada keinginan jahat, karena ia dikuasai
oleh keinginan.”
(3) seorang yang menjadi
penghuni hutan karena ia gila dan pikirannya terganggu;
(4) seorang yang menjadi
penghuni hutan, [dengan berpikir]: ‘Hal ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa
Buddha’;
(5) dan seorang yang menjadi
penghuni hutan demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan
[kekotoran-kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan. Ini adalah
kelima jenis penghuni hutan itu. Seorang yang menjadi penghuni hutan demi
keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran], demi
keterasingan, demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka,
tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.
Seperti halnya, para bhikkhu,
dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi
mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang
dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjadi
penghuni hutan demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang
terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima
jenis penghuni hutan ini.”
~0~
182 (2) – 190 (10) Pemakai
Jubah Potongan Kain, dan seterusnya.
“Para bhikkhu, ada lima jenis
pemakai jubah potongan kain ini … lima jenis orang yang menetap di bawah pohon
… [220] … lima jenis orang yang menetap di tanah pemakaman … lima jenis orang
yang menetap di ruang terbuka … lima jenis orang yang menjalankan praktik
selalu duduk … lima jenis orang yang menjalankan praktik menggunakan tempat
tidur apa saja … lima jenis orang yang menjalankan praktik satu kali … lima
jenis orang yang menjalankan praktik menolak makanan tambahan … lima jenis
orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya.
Apakah lima ini?
(1) Seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ketumpulan dan
kebodohannya;
(2) seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia memiliki
keinginan jahat, karena ia didorong oleh keinginan;
(3) seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia gila dan
pikirannya terganggu;
(4) seorang yang menjalankan
praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya, [dengan berpikir]: ‘Hal
ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa Buddha’;
(5) dan seorang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi
keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran], demi
keterasingan, demi kesederhanaan. Ini adalah kelima jenis orang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya. Seorang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi keinginan
yang sedikit … demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik,
terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya.
“Seperti halnya, para bhikkhu,
dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi
mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang
dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya [221] demi
keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang terunggul, terbaik,
terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang
menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya ini.”