BURUK WAJAH, JANGAN CERMIN DIBELAH
Superioritas yang Dibangun Diatas Pilar Rapuh Bernama
DELUSI DIRI
Question: Selama ini umat muslim bersikap seolah-olah kaum mereka paling superior, memiliki SQ setinggi langit, menjadi “polisi moral” yang berhak menghakimi pihak lainnya, merendahkan martabat maupun harkat kaum lain, meng-haram dan meng-kafir-kan golongan lain, ini itu disebut “haram” ataupun “halal”, berbicara besar perihal surga, neraka, Tuhan, dan ayat-ayat Kitab. Namun benarkah demikian, ataukah kesemua itu justru mencerminkan hal sebaliknya?
Brief Answer: Faktanya, tingkat IQ kaum muslim tidak lebih
tinggi daripada level IQ anak “taman kanak-kanak”. Terdapat bukti empirik tidak
terbantahkan perihal IQ kaum muslim pemeluk agama islam, salah satunya berupa
fenomena khas dari pemeluk islam maupun dogma-dogma dalam ajaran islam berikut
: Babi, HARAM. “Penghapusan dosa” (abolition
of sins, hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa), HALAL.
Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Namun disaat bersamaan,
terhadap kaum yang berbeda keyakinan maupun golongan, mereka begitu intoleran.
Dahulu kala, sebelum agama samawi diperkenalkan
ke dunia manusia, tiada manusia jahat (pendosa) yang yakin ataupun berharap
dapat masuk surga setelah kematian menjemput mereka. Sebaliknya, orang-orang
baik sekalipun ateis, berhak dan terjamin masuk alam surgawi. Kini, setelah
agama samawi dikenal, para pendosawan yang memonopoli alam surga, dan orang
baik justru dilempar ke neraka semata karena mereka tidak bersedia menggadaikan
jiwanya menjadi budak sembah sujud “Tuhan versi raja tiran yang lalim dan gila
puja-puji sembah-sujud”—lebih patut diberi gelar sebagai “juru selamat” dan
“maha pengasih” ataukah “juru petaka” dan “maha pembenci”?
Alih-alih mempromosikan cara hidup higienis dari
dosa, para muslim justru mengkampanyekan (bahkan lewat pengeras suara seolah
bukan hal yang tabu “pamer dosa” sekalipun “AURAT TERBESAR” ialah berbuat dosa)
gaya hidup “penghapusan dosa” sebagai maskot “halal lifestyle” mereka. “Penghapusan dosa”, mereka berikan cap
atau stempel “HALAL”, sementara “babi ciptaan Tuhan” diberi logo “HARAM”
(penciptanya pasti “haram”). Yang mempromosikan dan mengkampanyekan ideologi
korup bernama “penghapusan dosa”, disebut sebagai “Agama SUCI” ataukah “Agama
DOSA”?
Dogma-dogma yang meng-halal-kan “penghapusan
dosa”, adalah “Kitab SUCI” ataukah “Kitab DOSA”? Mereka, para pendosawan
tersebut, begitu “pemalas” untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka
petik sendiri buah manisnya dikemudian hari, dan disaat bersamaan terlampau
“pengecut” untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka
sendiri yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun
merugikan orang lain. Mereka, para pendosawan tersebut, merupakan “kasta
terendah”. Kasta yang lebih tinggi daripada para “pendosa penjilat penuh dosa”
tersebut, ialah kalangan ksatriawan yang berani bersikap penuh-tanggung jawab
atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, dimana kasta yang tertinggi
tentu saja kaum suciwan yang tidak pernah membutuhkan iming-iming delusif
“penghapusan dosa” yang “too good to be
true”. Menjadi jelas, para pendosawan tersebut sejatinya merupakan “kasta
terendah”.
Mereka, para “agamais-pendosa” tersebut, bermulut
besar perihal agama dan Tuhan, namun disaat bersamaan begitu miskin dari
keberanian untuk bertanggung-jawab. “Merugi” bila bertanggung-jawab, ada
“penghapusan dosa”. Berhasil berbuat jahat dan tidak bertanggung-jawab, artinya
“untung”. “Kabar gembira” bagi pendosa yang dihapus dosa-dosanya, merupakan
“kabar buruk dan duka” bagi kalangan para korban. Pendosa, hendak berbicara
perihal hidup lurus, suci, bersih, baik, mulia, luhur, dan murni? Itu ibarat
orang buta yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya—dimana “neraka” pun
mereka pandang dan yakini sebagai “surga”, berbondong-bondong terjun bebas melaju
menuju ke dalam lubang gelap yang nista demikian.
Setiap harinya, para pendosawan tersebut
melakukan ritual dan doa-doa permohonan “penghapusan dosa” secara rutin dan
kecanduan “nikmat”-nya “penghapusan dosa”. Untuk setiap tahunnya pada hari raya
keagamaan mereka, yang mereka mohon dan harapkan ialah “penghapusan dosa”.
Bahkan ketika sang pendosawan meninggal dunia, sanak keluarga sang almarhum
pendosawan lagi-lagi berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi sang
pendosawan—tidak pernah satu kalipun nasib para korban mereka diperhatikan
ataupun diberi keadilan, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat
penuh dosa”. Dapat Anda bayangkan, apa jadinya bila Tuhan mau percaya dan
termakan ucapan seseorang penjilat sekaligus penipu yang pandai menipu, bahwa
dirinya bertobat dan menyesali perbuatannya, pastilah hanyalah versi “Tuhan
yang dungu”.
PEMBAHASAN:
Kaum muslim, memeluk islam
karena merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menjadi pemeluk
islam. Mereka menganggap dan meyakini, bahwa mereka tidak memiliki pilihan
lain, serta tidak bebas memilih, melainkan serendah “budak” yang tidak punya
pilihan bebas ataupun “self determination”
untuk memilih apa yang akan mereka peluk dan jalankan. Karenanya, secara
psiko-sosial, alam bawah sadar para muslim sejatinya “marah” dan “membenci”
diri mereka sendiri, tanpa mereka sendiri sadari. Mereka, para “pendosa
penjilat penuh dosa” tersebut, kemudian mencari pelarian dengan cara yang tidak
sehat, yakni “menipu diri mereka sendiri”, seolah-olah agama yang mereka peluk
adalah agama yang “sudah benar” dan “benar satu-satunya”, sebelum kemudian
memaksa kaum lain untuk turut terseret jatuh kedalam agama yang mereka peluk
berikut ini:
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang
banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
- “Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk
surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan
menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah
sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa
pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan
menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA
mereka.”
[Hadist Tirmidzi No. 2533]
Sebaliknya, kaum yang lebih
beradab menjunjung tinggi kebebasan dan pilihan bebas (free will), sebagai apa yang kaum beradab kenal dengan istilah “hak
asasi manusia”. Manusia menjadi beradab, karena memiliki pilihan untuk dipilih,
diberi kebebasan untuk memilih, serta untuk memperkaya pilihan hidup mereka
masing-masing. Karena memiliki pilihan, karenanya juga mereka menjadi dapat
dimintakan pertanggung-jawaban serta belajar untuk bertanggung-jawab atas
setiap tindakan maupun pilihan mereka sendiri. Demikianlah mereka diberdayakan
dan didewasakan, menjadi manusia yang dimanusiawikan. John Stuart Mill dalam
buku klasiknya berjudul “On Liberty”,
pernah menuangkan gagasan berpikirnya perihal kebebasan, dengan kutipan sebagai
berikut:
“Di negeri ini dan di
kebanyakan negeri yang berbudaya lainnya, misalnya, suatu kontrak yang membuat
seseorang harus menjual diri untuk membiarkan dirinya dijual sebagai budak,
harus dibatalkan dan tidak berlaku entah yang diperkuat oleh hukum entah oleh
pendapat umum.
“Dasar untuk membatasi
kebebasannya untuk dengan sukarela mengatur nasib hidupnya dengan cara seperti
itu adalah jelas dan nampak sangat jelas dalam kasus ekstrem ini. Alasan untuk
tidak campur tangan, kecuali untuk kepentingan orang lain, dalam perbuatan
bebas seseorang adalah pertimbangan akan kebebasannya. Pilihannya yang bebas
adalah bukti bahwa apa yang dipilihnya adalah sesuatu yang diinginkannya atau,
paling tidak, sesuatu yang dapat diterimanya, dan kepentingannya pada umumnya
terpelihara amat baik dengan membiarkan dia menggunakan harta kekayaannya
sendiri untuk mewujudkannya.
“Tetapi dengan menjual diri
sebagai seorang budak, dia melepaskan kebebasannya; dia sama sekali tidak
mempergunakan kebebasannya pada waktu yang akan datang sesudah satu tindakan
tunggal yang tadi itu terjadi. Dengan demikian dalam kasusnya sendiri, ia
justru menggagalkan tujuan yang membenarkan mengapa dia boleh menentukan
nasibnya sendiri. Dia tidak bebas lagi, tetapi sejak itu dia berada dalam suatu
posisi yang tidak lagi mempunyai martabat yang kiranya diberikan oleh
keberadaannya dengan sukarela dalam posisi itu.
“Prinsip kebebasan tidak dapat
menuntut bahwa ia harus bebas untuk tidak bebas. Bukan kebebasanlah apabila
orang dibiarkan untuk mengasingkan diri dari kebabasannya.
“Saya sudah mengamati bahwa,
karena prinsip-prinsip umum yang diakui tidak ada, seringkali kebebasan diberikan
padahal harus ditolak, dan ditolak padahal harus diberikan.”
Dalam banyak sutta, Sang
Buddha kerap menguraikan hal berikut kepada para murid-Nya ataupun kepada
para perumah tangga, secara konsisten antara ucapan dalam berbagai khotbah dan
teladan nyata hidup Beliau, salah satunya kutipan sutta berikut:
Aku tidak mengajar untuk
menjadikanmu sebagai murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan
gurumu yang lama.
Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,
karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.
Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,
dan nilailah oleh dirimu sendiri.
Jika itu baik bagimu, terimalah.
Jika tidak, janganlah engkau terima.
[Digha Nikaya 25; Patika Vagga;
Udumbarika-Sihanada Sutta]
Buddhisme menjunjung tinggi
pilihan hidup, kebebasan untuk memilih, disamping kebebasan untuk berpikir.
Manusia, karenanya, diberdayakan oleh kemampuan seorang manusia yang terampil
dan terasah dalam membuat pilihan-pilihan dalam hidup mereka sendiri, termasuk
untuk memilih apa yang menjadi pikiran disamping keyakinan mereka sendiri. Untuk
selengkapnya, Sang Buddha membabarkan khotbah yang dikenal dengan nama
“Kalama Sutta” berikut:
Aṅguttara Nikāya
Kesamutti Sutta
[Di terjemahkan dari pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah
pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta.
Pada saat itu, para penduduk
Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra
Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di
Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar
sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan
sempurna … [seperti pada 3:63] … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang
lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui
para Arahant demikian.”
Kemudian para penduduk Kālāma
di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang
Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam
diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma
itu berkata kepada Sang Bhagavā:
“Bhante, ada beberapa petapa
dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan
doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan,
mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan
brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan
membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan,
menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Kami menjadi
bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan
yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”
“Adalah selayaknya bagi kalian
untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian
untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian
sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk
Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin,
kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan
setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian
berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma,
kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak
bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana;
hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan
penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.
(1) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah
hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya
dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak
diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan
kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah
itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal
itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, pikirannya
dikuasai oleh kebencian, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang
lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan
penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu
demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang penuh delusi, dikendalikan oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh
delusi, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk
melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan
baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”
– “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” –
“Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela
oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah
hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau
bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka
hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami
menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal
ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan,
akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’
adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Marilah, para penduduk Kālāma.
Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan
teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah
merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian
berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui
untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini
adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika
dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan
kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.
(1) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang
yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak
dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa
yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan
tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain
untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya
tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga
tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya
tidak dikuasai oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak
akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –
“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela,
Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para
bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah
kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan
mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal
ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan,
akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus hidup
sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Kemudian, para penduduk
Kālāma, siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk,
tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi
satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang
dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan
altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian
pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke
bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk
seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia
dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas,
tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk,
tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan
akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik,
di alam surga.’
“Jaminan ke dua yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak
ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam
kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk,
bebas dari kesulitan.
“Jaminan ke tiga yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku
kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana
mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’
“Jaminan ke empat yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku
kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak
kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”
“Demikianlah, Sang Bhagavā!
Demikianlah, Yang Sempurna! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan
seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat
jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia
menangkan … [seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan
adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku
kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, Bhante, yang
pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan
murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.
“Bagus sekali, Bhante! … Kami
berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai
umat-umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir
hidup kami.”
Tiada pemaksaan otoritas
ataupun ancaman-ancaman dogmatis, itulah nafas Buddhisme sebagaimana diberikan
teladan nyata kehidupan Sang Buddha. Kita tidak dipaksa ataupun diancam
untuk “percaya” pada “kalama sutta” di atas, melainkan kita menjadi “tahu”,
“mafhum”, serta “memaklumi”, bahwa “kalama sutta” adalah patut dan layak kita
terima dan terapkan karena bermanfaat, tidak tercela, serta tidak mengundang
bahaya, sehingga secara personal kita memberikan pengakuan terhadapnya karena
nilai aktual. Kita melihat suatu pendapat (dalam hal ini pembabaran Sang
Buddha dalam “kalama sutta”) dan kita memiliki kebebasan mutlak untuk
mengujinya dengan fakta-fakta yang ada di luar maupun di dalam diri, dimana
pada kenyataannya yang namanya percaya secara “begitu saja” pada suatu otoritas
(kitab suci, guru, sesepuh, dll), telah ternyata mengandung bahaya dibaliknya
bila tidak disikapi secara arif dan bijaksana. Menjadi tidak mengherankan, bila
salah satu julukan bagi Sang Buddha, ialah : Guru Agung bagi para
dewa dan para manusia.