Terobsesi Meraih Gelar Akademik, maka Sejatinya Anda hanya Memperkaya Pelaku Usaha Industri Pendidikan TInggi
Question: Sebenarnya saat kini, di era kontemporer dimana persaingan dan kompetisi diantara sarjana sudah begitu jenuh, sementara lapangan pekerjaan kian sempit akibat faktor kecanggihan teknologi maupun robotik dan kecerdasan buatan (AI, artificial intelligence) yang sedikit banyaknya telah menggantikan fungsi “tenaga kerja manusia”, padat modal alih-alih padat karya, apakah masih relevan belajar pengetahuan ataupun keterampilan di bangku pendidikan formal berupa sekolah maupun perguruan tinggi? Itu semua ibarat “membeli” izasah, namun telah ternyata izasah tidak menjamin kita akan menemukan hidup makmur.
Brief Answer: Secara objektif, penulis secara pribadi
menyarankan agar masyarakat tidak lagi membuang-buang waktu maupun biaya besar
untuk perkualiahan “Strata 2” demi mendapatkan “title magister” semata. Gelar
kesarjanaan, bisa membuat seseorang terperangkap dan tersandera oleh gelar
kesarjanaannya sendiri. Sebagai contoh, bila Anda memiliki gelar sarjana komputer,
namun telah ternyata angka sarjana baru dibidang komputer setiap tahunnya
dicetak begitu membludak oleh berbagai perguruan tinggi, tidak terserap oleh lapangan
pekerjaan yang ada, karena sangat terbatas lapangan pekerjaan yang ada, tidak
sebanding dengan pelamar pencari kerja, maka mendapatkan pekerjaan sesuai gelar
dan izasah Anda menjadi menyerupai “mencari jarum ditengah tumpukan jerami”.
Akan lebih membuat Anda terjerumus dan
terperangkap, ketika Anda sudah mengeluarkan banyak biaya, waktu, serta bersusah-payah
mendapatkan gelar Magister (Master), atau bahkan gelar Doktor (Phd), pada salah
satu bidang disiplin ilmu tertentu, maka Anda akan lebih membatasi diri lingkup
pada lapangan pekerjaan spesifik disertai beban “gengsi”, membuat mata dan
kesempatan Anda mencari dan mendapatkan lowongan pekerjaan yang sesuai menjadi
kian sempit. Menjadi tidak relevan, ketika seorang sarjana arsitektur kemudian
mengajukan lowongan pekerjaan pada bidang diluar arsitektur, terlebih bila Anda
seorang bergelar “master dibidang arsitektur”. Sebaliknya, tanpa gelar akademik
formal, Anda menjadi “fleksibel” dalam mendalami seluk-beluk maupun
keterampilan yang relevan sesuai kondisi zaman, alias menjadi “mahasiswa
Universitas Kehidupan”.
PEMBAHASAN:
Kini, pada era digitalisasi,
derasnya arus informasi menjadi pertanda kita telah masuk pada era baru bernama
“disrupsi digital informasi”. Bila dahulu kala, fungsi utama pendidikan formal
ialah memperkenalkan ilmu pengetahuan yang jarang didapat atau sukar diakses
oleh peserta dirik, berupa materi pembelajaran berbentuk buku cetak. Sebaliknya,
era kontemporer kekinian, informasi begitu deras, namun jika tidak disertai adanya
pembimbing, kita menjadi bingung akan memulai dari mana, sumber informasi manakah
yang bermanfaat dan yang tidak, bisa-bisa kita ataupun anak Anda hanya akan
mengakses info-info yang tidak bermanfaat serta tidak banyak faedahnya. Jangankan
era digitalisasi, perpustakaan konvensional saja jarang dikunjungi masyarakat untuk
membaca buku-buku ilmu pengetahuan. Jika pun ada, itu pun buku-bukunya tidak
sesuai dengan minat kita serta tidak relevan terhadap kondisi terkinian ataupun
kebutuhan dunia kerja.
Seperti gadget handphone di
tangan Anda, ia bisa Anda gunakan untuk mengakses info pengetahuan, namun bisa
juga dipakai justru untuk akses konten “jud! online”, pornograf!, tayangan-tayangan
yang kurang mendidik, berita-berita “sampah”, dan lain sebagainya. Masalah
utamanya, seberapa banyak diantara kita yang tidak tergoda untuk menyalah-gunakan
perangkat digital kita dan menggunakan sumber daya waktu yang terbatas untuk hal-hal
yang memang produktif dan bermanfaat? Itulah sebabnya, mentor dan tutor, baik
formal maupun informal, tetap dibutuhkan sebagai pembimbing yang dapat mengarahkan
dan membimbing kita agar “tidak keluar dari jalur yang semestinya”.
Diakui atau tidaknya, untuk
bisa memiliki bekal atau modal kesadaran pribadi yang produktif serta gaya
hidup yang sehat serta visioner, dalam artian tidak terjerumus dalam bentuk-bentuk
penyalah-gunaan diri dan sumber daya yang ada, kita butuh “otak yang cemerlang”,
pola berpikir dan pandang yang revolusioner disamping inovatif, termotivasi
menggali potensi diri, memiliki cita-cita, tahu “jalan hidup yang sehat”, produktif,
berjiwa pembelajar, hingga kemandirian, kesemua itu butuh “faktor KEBERUNTUNGAN”
(the LUCK FACTOR). Kecerdasan itu
sendiri, merupakan buah dari “keberuntungan”. Memiliki tutor dan mentor serta
kesempatan ataupun momen yang baik, juga merupakan adalah “keberuntungan” itu
sendiri. Bisa menemukan “jati diri” serta “role
model” ataupun “cita-cita” yang unggul, tidak terkecuali merupakan buah
dari “keberuntungan”. Karenanya, menjadi tepat ketika Anda mengajukan
pertanyaan, bagaimana cara menciptakan “the
LUCK FACTOR” ini?
Kita semua, tanpa terkecuali, bisa
menjadi arsitek yang merancang “nasib” hidup dan masa depan kita sendiri, itulah
kerangka berpikir yang kita temukan dalam khotbah Sang Buddha yang
sangat memotivasi dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
IV. Sumanā
31 (1) Sumanā [Kitab Komentar
mengidentifikasi Sumanā sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,
disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā,
bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata
kepada Sang Bhagavā:
“Di sini, Bhante, mungkin ada
dua orang siswa Sang Bhagavā yang setara dalam hal keyakinan, perilaku
bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya
tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir
kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi
deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya
dalam lima hal: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan
surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah
menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah
masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan
mengungguli yang lainnya dalam lima hal: umur kehidupan manusia, kecantikan
manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia.
Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang
lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika kedua
orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan
tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”
“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā
berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli
yang lainnya dalam lima hal.
(1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus
dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus
dipersembahkan kepadanya.
(2) Ia biasanya memakan makanan yang telah secara khusus
dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus
dipersembahkan kepadanya.
(3) Ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah
secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang
tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya.
(4) Ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan
bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang
menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara
khusus dipersembahkan kepadanya.
(5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia
menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan.
Mereka biasanya memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan
[34] apa yang tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan
keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima hal ini.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya
mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara
mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?”
“Dalam hal ini, Sumanā, Aku
nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang
lainnya].”
“Menakjubkan dan mengagumkan,
Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan
dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu
akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau
meninggalkan keduniawian.”
“Demikianlah, Sumanā!,
demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus
untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena
perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi]
menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”
Itu adalah apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna Menempuh Sang
Jalan, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:
“Seperti halnya rembulan
tanpa noda bergerak di sepanjang lintasan di angkasa cahayanya lebih cemerlang
daripada semua bintang di dunia, demikian pula seseorang yang sempurna dalam
perilaku bermoral, seorang yang memiliki keyakinan, lebih cemerlang karena
kedermawanan daripada semua orang kikir di dunia.
“Seperti halnya awan hujan
berpuncak-seratus, bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar, menurunkan hujan
ke bumi membanjiri dataran-dataran dan tanah rendah, demikian pula siswa
Yang Tercerahkan Sempurna, yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan,
melampaui orang kikir dalam lima aspek: umur kehidupan dan keagungan,
kecantikan dan kebahagiaan. Memiliki kekayaan, setelah kematian ia bergembira
di alam surga.” [35]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.