Mencuri dan Berzina Saja Masuk Surga (Kabar Gembira bagi Pendosa), maka Apalagi Sekadar Mencandu Judol, Jud! Online?
Tidak Ada yang Lebih Berbahaya dan Meracuni Cara
Berpikir daripada Kencanduan dan Mencandu Ideologi Korup Bernama Iming-Iming
PENGHAPUSAN DOSA
Question: Katanya Bangsa Indonesia merupakan bangsa “agamais”, bangsa paling superior yang merasa berhak menjadi “polisi moral” dan menghakimi bangsa lain, memiliki SQ paling tinggi di dunia, rajin beribadah, ini dan itu serba di-haram-halal-kan, namun mengapa kini bisa terjadi fenomena sosial dimana hampir sepuluh juta penduduk Indonesia menjadi pemain aktif “judol” (jud! online)? Menjadi terlihat vulgar, betapa “munafikun”-nya bangsa “agamais” bernama Indonesia ini. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?
Brief Answer: Orang yang IQ tinggi, tidak akan bersedia
terjebak oleh iming-iming dibalik “judol”, mengingat orang-orang dengan IQ
memadai menyadari betul bahwa sistem yang dibuat oleh para “bandar judol” telah
merancang agar “bandar tidak merugi”, karena memang tidak ada bandar yang mau
merugi. Karena ada yang diuntungkan dari “judol”, yakni bandar, maka ada yang
dirugikan, tidak lain tidak bukan ialah para pemain “judol”. Dengan demikian,
pemain “judol” selalu dan dapat dipastikan akan dimiskinkan dan menjadi miskin,
sementara pihak bandar selalu diuntungkan dan menjadi semakin kaya raya.
Justru karena Bangsa Indonesia merupakan bangsa
“agamais”, karenanya “judol” tumbuh subur di Indonesia. Ini dan itu disebut
dosa maupun maksiat, namun dinegasikan sendiri lewat dogma “penghapusan dosa”.
Hanya seorang pendosa, yang butuh “penghapusan dosa”. Karenanya, terhadap dosa
dan maksiat, para “agamais” tersebut begitu kompromistik. Namun disaat
bersamaan, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, mereka begitu intoleran. Babi,
disebut “haram”. Namun, “penghapusan dosa” justru disebut “halal” serta
dijadikan “halal lifestyle”. Fenomena
demikian serupa ketika para “agamais” tersebut merupakan atau masih menjadi
kaum minoritas di suatu negara, mereka menuntut serta menikmati toleransi.
Namun, ketika mereka telah menjelma mayoritas, mereka hendak menghapus dan
menghancurkan toleransi yang dahulu mereka nikmati.
Salah satu kiat untuk “self-healing” bagi para pecandu “judol”, yakni perlu mulai melatih
paradigma baru, bahwa apa yang telah terjadi, telah menjadi masa lampau, tidak
dapat diubah ataupun dikembalikan ke masa lampau, sebanyak apapun sang pemain
telah merugi dalam “judol”. Karenanya, mengingat “tidak merugi” tidak-lah lagi
dapat dipilih, untuk itu yang dapat kita pilih ialah “tidak merugi lebih banyak
lagi”. Akan tetapi, kita memiliki opsi lain, dan itulah yang tidak banyak
disadari oleh masyarakat kita. Dengan memilih opsi “tidak merugi lebih banyak
lagi”, karenanya kita dapat menyelamatkan diri kita di masa depan dari kerugian
yang lebih banyak lagi. Bukankah itu sebuah opsi yang bijak serta layak untuk
kita pilih, seraya bangkit dari keterpurukan diri yang berlarut-larut?
Cara kedua, masukkan ia atau diri Anda ke dalam
komunitas yang benar-benar baik moralnya. Ilustrasi berikut dapat cukup
menjelaskan. Seorang yang tidak punya tata-krama maupun etika, ketika masuk ke
dalam komunitas yang penuh tata-krama maupun etika, maka sang “arogan” akan tampak
“aneh sendiri”, sehingga sang “arogan” akan terdorong untuk mengubah
perilakunya dan menyesuaikan diri dalam rangka adaptasi terhadap kondisi
lingkungan komunitasnya. Sebaliknya, seseorang yang penuh etika dan tata-krama,
masuk ke lingkungan pergaulan yang menyerupai “sarang penyamun”, maka ia justru
tampak “aneh sendiri”, dan hanya perihal waktu, cepat atau lambat sang “aneh
sendiri” pun akan menjelma seperti “para serigala” dalam “sarang serigala”
komunitasnya—dalam rangka, agar tidak tampak seperti “kelinci” di mata para “serigala”
tersebut.
PEMBAHASAN:
Dari dogma-dogma berikut di
bawah ini, menjadi terlihat jelas betapa kaum “agamais” di Indonesia tidak
takut pada apapun, kecuali terhadap “babi”. Singkat kata, hanya terhadap
“babi”, yang ditakutkan oleh bangsa “agamais” bernama Indonesia. Terhadap dosa
dan maksiat semacam mencuri dan berzina saja, ada “kabar gembira dimasukkan ke
surga” lewat iming-iming “too good to be
true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins), maka apa yang perlu
para “agamais” tersebut takutkan dibalik mencandu “judol”?
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.”
Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN
DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Ada beberapa alasan, mengapa Sang
Buddha menganjurkan agar para siswa-Nya tidak mabuk ataupun mencandu baik
itu minum-minuman yang memabukkan, “judol”, barang madat, dan sebagainya, atas
dasar alasan : 1.) melemahkan kesadaran; 2.) tumpulnya konsentrasi; dan 3.)
kehilangan sifat-sifat baik dalam diri. Pernahkah Anda melihat seorang pegawai
yang bekerja namun dengan tingkat kesadaran maupun konsentrasi yang lemah? Bisa
dipastikan karyawan demikian tidak akan dipertahankan untuk jangka waktu lama
oleh pemberi kerja. Jika ia adalah seorang dokter, maka nyawa pasien menjadi
pertaruhannya. Jika ia adalah seorang pengemudi, maka nyawa banyak pengguna
jalan lainnya menjadi taruhannya.
Terdapat kebahagiaan dibalik
konsentrasi yang terjaga, terlatih, serta tidak tumpul, sebagaimana dapat kita
jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
27 (7) Konsentrasi
“Para bhikkhu, dengan awas
dan penuh perhatian, kembangkanlah konsentrasi yang tanpa batas. Ketika,
dengan awas dan penuh perhatian, kalian mengembangkan konsentrasi yang tanpa
batas, maka lima jenis pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi.
Apakah lima ini?
[Kitab Komentar : “Hampa dari
kualitas-kualitas pembuat batas, melampaui keduniawian” (pamāṇakaradhammarahitaṃ lokuttaraṃ). Biasanya, Nikāya-nikāya
mengidentifikasi konsentrasi tanpa batas sebagai empat alam brahma (brahmavihāra), tetapi beberapa teks juga
mengenali konsentrasi tanpa batas yang melampaui keduniawian, yang diperoleh
melalui hancurnya tiga kualitas “penghasil-batas”: keserakahan, kebencian, dan
delusi.]
(1) Pengetahuan ini muncul yang
menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini menyenangkan pada saat ini dan
memiliki akibat menyenangkan di masa depan.’
(2) Pengetahuan ini muncul yang
menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini adalah mulia dan spiritual.’
(3) Pengetahuan ini muncul yang
menjadi milik kalian pribadi ‘Konsentrasi ini tidak dipraktikkan oleh
orang-orang rendah.’
(4) Pengetahuan ini muncul yang
menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini adalah damai dan luhur,
diperoleh melalui ketenangan penuh, dan mencapai penyatuan; tidak dikekang dan
ditahan melalui penekanan [kekotoran] secara paksa.’
(5) Pengetahuan ini muncul yang
menjadi milik kalian pribadi: ‘Aku memasuki konsentrasi ini dengan penuh
perhatian dan keluar dari sana dengan penuh perhatian.’
Para bhikkhu, dengan awas dan
penuh perhatian, kembangkanlah konsentrasi yang tanpa batas. Ketika kalian
dengan awas dan penuh perhatian mengembangkan konsentrasi yang tanpa batas, maka
kelima jenis pengetahuan ini muncul yang menjadi milik kalian pribadi.”
[25]
~0~
28 (8) Berfaktor Lima
“Para bhikkhu, Aku akan
mengajarkan kepada kalian tentang pengembangan konsentrasi benar berfaktor lima
yang mulia.
[Kitab Komentar : samādhi ini merupakan praktik persiapan
untuk mencapai jalan dan buah, bukan jalan dan buah itu sendiri.]
Dengarkanlah dan perhatikanlah.
Aku akan berbicara.”
“Baik, Bhante,” para bhikkhu
itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Dan apakah, para bhikkhu, pengembangan
konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia?
(1) “Di sini, dengan terasing
dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak
bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama,
dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang
disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Ia membuat sukacita dan kenikmatan yang
muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya
sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan
kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas
pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam
dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi
bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar,
namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, bhikkhu itu membuat
sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam,
mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang
tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.
Ini adalah pengembangan pertama pada konsentrasi benar berfaktor lima yang
mulia.
(2) “Kemudian, dengan meredanya
pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke
dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran,
dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran
dan pemeriksaan. Ia membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari
konsentrasi itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak
ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kebahagiaan
yang muncul dari konsentrasi itu. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal
dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara,
[26] atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan,
kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi,
merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian
danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, bhikkhu itu membuat
sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam,
mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang
tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu.
Ini adalah pengembangan ke dua pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.
(3) “Kemudian, dengan
memudarnya sukacita, seorang bhikkhu berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan
memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam
dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang,
penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ia membuat
kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam, mengisi dan
meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi
oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai
biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air
tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi
teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian
dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula,
bhikkhu itu membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam,
mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang
tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Ini adalah
pengembangan ke tiga pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.
(4) “Kemudian, dengan
meninggalkan kenikmatan [27] dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya
atas kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna
ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan
pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh
ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian tubuhnya
yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Bagaikan seorang
yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada
bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula,
seorang bhikkhu duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan
cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh
pikiran yang murni dan cerah itu. Ini adalah pengembangan ke empat pada
konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.
(5) “Kemudian, seorang bhikkhu
telah dengan baik menggenggam objek peninjauan kembali, memperhatikannya
dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui
kebijaksanaan. Bagaikan seseorang yang melihat orang lainnya – seperti
halnya seorang yang berdiri melihat orang yang sedang duduk, atau seorang yang duduk
melihat orang yang sedang berbaring – demikian pula, seorang bhikkhu telah
dengan baik menggenggam objek pemeriksaan, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya
dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Ini adalah
pengembangan ke lima pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.
[Paccavekkhaṇanimittaṃ. Kitab Komentar mengidentifikasikan
ini sebagai pengetahuan peninjauan (paccavekkhaṇañāṇameva), jelas merujuk pada pengetahuan yang meninjau kembali
pencapaian-pencapaian jalan dan buah. Akan tetapi, karena penggunaan kata paccavekkhaṇa ini
tampaknya khas pada komentar, lebih mungkin bahwa paccavekkhaṇanimitta di sini bermakna objek yang sedang diperiksa melalui pandangan terang.]
“Ketika, para bhikkhu,
konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih
dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan
kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah
mana ia mengarahkan pikirannya.
“Misalkan sebuah kendi yang
penuh air diletakkan di atas sebuah bidang, kendi itu penuh air hingga ke
bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya. Jika seorang kuat mendorongnya
ke arah manapun, apakah air itu akan tumpah?”
“Benar, [28] Bhante.”
“Demikian pula, para bhikkhu,
ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan
dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu
merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung
ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.
“Misalkan di sebuah tanah datar
terdapat sebuah kolam bersisi empat, dibentengi oleh suatu tanggul, penuh air
hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya. Jika seorang kuat
membuka tanggulnya di salah satu sisi, apakah air itu akan mengalir keluar?”
“Benar, Bhante.”
“Demikian pula, para bhikkhu,
ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan
dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu
merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung
ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.
“Misalkan di atas tanah datar
di sebuah persimpangan terdapat sebuah kereta yang terpasang pada kuda-kuda
berdarah murni, lengkap dengan tongkat kendali, sehingga seorang pelatih yang terampil,
sang kusir, dapat mengendarainya, dan dengan memegang tali kekang di tangan
kiri dan tongkat kendali di tangan kanan, dapat berkendara pergi dan kembali ke
mana pun dan kapan pun ia menginginkan. Demikian pula, para bhikkhu, ketika
konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih
dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu
merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan
langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.
“Jika ia menghendaki: ‘Semoga
aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi
banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi
menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang
kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air;
ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk
bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia
menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia
mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu
merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki: ‘Semoga
aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia,
mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia
mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki: ‘Semoga
aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah
melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu
sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan
kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran
dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran
tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau
sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak
luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran terlampaui sebagai pikiran
terlampaui dan pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak terlampaui;
pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak
terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan
sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak
terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya,
jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki: ‘Semoga
aku mengingat banyak kehidupan lampau yaitu, satu kelahiran,
dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh
kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran,
lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu
kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak
kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku
bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini,
pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini;
meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku
bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu,
pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu;
meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat
banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki: ‘Semoga
aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan
mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan ia
memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka
sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut
pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah,
dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam
sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk
ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran,
yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan
kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’
Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat
makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan
buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana
makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki: ‘Semoga
aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk
diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda,
kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di
dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”