Agama Samawi Melestarikan Dukun-Dukun Jahat Berkembang-Biak dan Berkeliaran Mencari Mangsa
Question: Mengapa bisa sampai ada orangtua yang menumbalkan anak kandung sendiri, memangnya seperti apa dukun-dukun jahat itu meyakinkan orangtua tersebut sehingga menjadi segila itu, mengorbankan anak kandung sendiri demi kepentingan atau ego pribadi sang orangtua?
Brief Answer: Jangankan dukun, agama-agama samawi bahkan
meng-halal-kan jalan pintas bagi orangtua yang demi bisa menggauli puluhan bidadari
berdada montok di surga, maka anak kandung sendiri pun tega hendak disembelih
alias ditumpahkan darahnya. Alhasil, “standar moral” umat manusia rusak sejak
agama-agama samawi diperkenalkan ke dunia ini, dimana kalangan dukun justru
berpesta-pora mendapatkan justifikasi dagangannya berupa “ilmu hitam” yang kian
“laku keras” dimana para pelaku pesugihan masih pula dapat berdelusi akan masuk
surga karena ada legitimasinya dalam “Kitab-Kitab DOSA” dari “Agama-Agama DOSA”.
PEMBAHASAN:
Sang dukun, ketika mendapati
calon klien-nya adalah seorang kristiani, maka sang dukun akan mengutip isi Alkitab,
kisah pengorbanan Ishak atas perintah Allah kepada Abraham (Ibrahim) tercatat
dengan eksplisit dalam Kitab Kejadian, (Alkitab) 22:1-3.
(1) Setelah semuanya itu Allah
mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”
(2) Firman-Nya: “Ambillah anakmu
yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke
tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada
salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
(3) Keesokan harinya pagi-pagi
bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang
bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban
bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah
kepadanya. [NOTE
: Menurut ilmu hukum, sudah terjadi delik “percobaan pembunuhan”, karena
melakukan persiapan disamping juga merupakan delik “pembunuhan berencana”.]
Atas dasar ayat inilah umat
Kristen meyakini bahwa anak yang akan dikurbankan oleh Abraham adalah Ishak dan
bukan Ismail sebagaimana kepercayaan Umat Islam di seluruh dunia, juga
di-“halal”-kan untuk dilakukan oleh para Nasrani kepada anak-anak kandung
mereka sendiri, alih-alih di-tabu-kan. Dalam kitab Kejadian 22:2 di atas, Allah
memerintahkan kepada Abraham mengambil anak tunggalnya, Ishak, untuk
dipersembahkan. Demi apa? Demi memuaskan EGO diri Abraham sendiri guna
mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya.
Pertanyaan nurani dan “akal
sehat”-nya bukanlah, apakah Ishak ataukah Ismail yang hendak coba dikorbankan
oleh Abraham, namun apakah praktik SETAN (kesetanan) demikian berbeda dengan
praktik perdukukan klenik “black magic” seperti pesugihan yang
mengorbankan anak kandung kesayangan para pelaku praktik pesugihan? Semua dukun
“black magic”, ketika ditanya dari mana sumber kekuatan mistis
pendukukannya, dijawab oleh semua dukun manapun sebagai, “Dari Allah.”—Anda
lihat, semua dukun jahat sekalipun, mengaku-ngaku kekuatannya bersumber dari
Tuhan. Itulah ciri khas pola tingkah-laku setan, si “Maha Penyesat” yang haus
darah, suka menyaru sebagai Tuhan.
Kini kita membandingkan versi
dalam AL-QURAN, yang (justru) juga mempromosikan dan mengkampanyekan praktik
EGOSENTRIS dengan merampas hak hidup anak sendiri maupun orang lain demi
memakan iming-iming “masuk surga”, iman membuta mengangkangi akal sehat otak
(otak mana untuk berpikir sendiri merupakan pemberian dan anugerah terbesar
Tuhan, justru digadaikan), tidak mengkritisi dengan nurani apakah itu “bisikan
SETAN” ataukah “bisikan Tuhan”, dan tidak juga memilih untuk menyembelih
leher sendiri alih-alih menyembelih leher orang yang “terkasih” ataupun orang
lain—semata demi EGO pribadi untuk disebut “beriman”, untuk disebut sebagai
“nabi”, untuk disebut sebagai “calon penghuni surga”, “soleh”, “patuh”,
mendapat hadiah puluhan bidadari berdada “montok”, dsb.
Peristiwa pengurbanan ini
diceritakan juga dalam Al-Quran dalam versi yang sangat singkat, dan tanpa
menyebut secara jelas nama anak yang akan dikurbankan oleh Ibrahim. Mari kita
simak ayat-ayat Al-Quran yang bercerita tentang kisah perintah Allah kepada
Ibrahim versi Al-Quran sebagai berikut dalam Surah Ash Shaffat ayat 100 - 111.
(100) “Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang
yang saleh”.
(101) Maka Kami beri dia kabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar. [NOTE : Namun menjadi kabar buruk bagi sang
anak yang memiliki ayah kandung yang EGOISTIK dan NARSISTIK!]
(102) Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang sabar”. [NOTE : Sang anak “durhaka” ini telah mencelakai ayah kandungnya
sendiri dengan membiarkan tangan sang ayah banjir darah karena menumpahkan
darah anak kandungnya sendiri. Sang anak pun tidak menghargai hidup pemberian
Tuhan. Penjahat yang paling beruntung ialah penjahat yang selalu gagal
melancarkan niat jahatnya, sementara itu penjahat yang paling malang ialah
penjahat yang selalu lancar ketika hendak mewujudkan niat jahatnya.]
(103) Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
(104) Dan Kami panggillah dia:
“Hai Ibrahim,
(105) susungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang berbuat baik. [NOTE : Sang setan menang, dua orang dungu
membenarkan bisikan sang setan.]
(106) Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata. [NOTE : Pertanyaannya, Tuhan Maha Tahu,
mustahil masih perlu menguji umat manusia. Hanya setan, yang merasa perlu
menguji kedunguan umat manusia.]
(107) Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar.
(108) Kami abadikan Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang yang dating kemudian.
(109) (yaitu) “Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim”. [NOTE : Anda lihat, yang punya niat buruk dan jahat untuk membunuh
orang lain, justru diberikan “reward” alih-alih diberi “punishment”.
Jika yang berlaku ialah hukum pidana, jelas bahwa sang ayah terkena delik pasal
“percobaan pembunuhan berencana”, alias kriminal, penjahat.]
(111) Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.
Mendengar paparan sang dukun
dengan mengutip isi Alkitab maupun Al-quran di atas, makin yakin dan
ke-setan-an-lah para kalangan orangtua yang hendak menumbalkan anak kandungnya
sendiri, dan merasa bahwa praktik pesugihan adalah ritual ibadah “agamais” itu
sendiri yang “halal” hukumnya untuk dipraktikkan, dijunjung, dan ditiru. Bila
sang “nabi” sendiri kelakuannya ialah melakukan praktik pesugihan, maka mengapa
umatnya tidak meniru teladan sang “nabi”? Bila Allah telah meng-“halal”-kan
pesugihan, maka mengapa umat-“Nya” justru meng-“haram”-kan pesugihan? Itulah,
yang disebut sebagai “rahmatan bagi segenap orangtua kesetanan”. Sejak
diperkenalkannya agama-agama samawi, rusak serusak-rusaknya “standar moralitas”
umat manusia.
Itulah ketika, iman mengalahkan dan mengharamkan
otak. Hanya dalam Buddhisme, yang mengusung dan menjunjung serta memberdayakan
fungsi otak dan intelektual kita untuk berpikir, sebagaimana kita dapat merujuk
langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan
kutipan sebagai berikut:
238 (8) Seorang yang Layak
Dicela (3)
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.
(2) Tanpa menyelidiki dan
tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.
(3) Ia kikir dan serakah
sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.
(4) Ia kikir dan serakah
sehubungan dengan keluarga-keluarga.
(5) Ia kikir sehubungan dengan
perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah
ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah
dibawa ke sana. Apakah lima ini?
(1) Setelah menyelidiki dan
setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.
(2) Setelah menyelidiki dan
setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [266]
(3) Ia tidak kikir dan tidak
serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal.
(4) Ia tidak kikir dan tidak
serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga.
(5) Ia tidak kikir sehubungan
dengan perolehan.
Dengan memiliki kelima kualitas
ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke
sana.”