Akar Penyebab Kriminalisasi Bukanlah KHILAF, namun Miskin Latihan SELF-CONTROL
Apa jadinya, Anda baru mulai belajar berenang, ketika Anda terhanyut di sebuah sungai dan hampir tenggelam? Sedia payung, sebelum hujan, bukan setelah Anda kehujanan dan basah-kuyub. Jangan pernah remehkan terlebih menyepelekan kekotoran batin yang bersarang dalam diri kita, atau kita akan dipastikan kalah telak dan babar-belur akibatnya (don’t look down on our defilements), begitu orang bijak berpesan. Bersikaplah rasional, bila Anda tidak terlatih dalam disiplin diri yang ketat dalam praktik mawas diri (self-control), maka menantang dan meremehkan kekotoran batin Anda sama artinya Anda sedang mencelakai diri Anda sendiri, ibarat “kelas bulu” menantang “kelas berat”. Sebaliknya, ketika Anda telah terlatih, bolehlah Anda seperti seorang Bruce Lee, yang menantang belasan karateka untuk bertarung dengan Anda disaat yang bersamaan.
Kerap penulis jumpai, dalam berbagai
putusan perkara pidana maupun dari perbincangan di keseharian, mereka yang
melakukan kenakalan hingga kejahatan, mengatas-namakan atau menjadikan
justifikasi dengan berlindung dibalik nama “khilaf”. Seolah, bersikap “khilaf”
merupakan manusiawi dan hal yang lumrah saja sifatnya. Sayangnya, mereka tidak menyadari,
bahwa “khilaf” merupakan “akibat”, bukan “sebab”. Perumpamaan berikut, dapat
cukup menjelaskan cara membuat distingsi antara “sebab” dan “akibat”. Ibu dari anak-anak
yang mengidap “autisme”, dikenal sebagai kalangan ibu yang “dingin”. Namun,
sikap dingin kalangan ibu dari anak-anak “autis”, adalah “akibat”, bukan “sebab”.
Anda tahu, apa penyebabnya?
Sama halnya, “khilaf” adalah “akibat”,
akibat dibiasakannya kekotoran diri bersarang dan menguasai / mengendalikan diri
kita tanpa pernah dikelola ataupun diatasi. Hal demikian menyerupai rumput
ilalang, bila tidak rajin kita pangkas, jadilah semak-belukar bertumbuh
setinggi dua atau tiga meter yang menutupi pandangan dan menyulitkan perjalanan
kita. Orang-orang yang tidak takut berbuat dosa ataupun kejahatan—semisal
melukai, merugikan, ataupun menyakiti pihak lain—adalah mereka yang selama ini
terbiasa mencandu ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa” (abolition of
sins). Karenanya, “tidak takut dosa” merupakan “akibat”, bukan “sebab”.
“Khilaf”, merupakan ciri seseorang yang bahkan
sembrono terhadap dirinya sendiri, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam
“Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
II. Kekesalan
161 (1) Pelenyapan Kekesalan
(1)
“Para bhikkhu, ada lima cara
ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya
melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini?
[Kitab Komentar : Yattha bhikkhuno uppanno āghāto sabbaso paṭivinetabbo. “Ketika kekesalan
telah muncul pada seorang bhikkhu sehubungan dengan suatu objek (yattha ārammaṇe),
maka hal itu harus sepenuhnya dihilangkan di sana dalam lima cara ini.” Dengan
demikian kitab komentar menganggap yattha berarti orang yang kepadanya
kekesalan itu muncul, bukan tempat secara fisik di mana kekesalan itu muncul.]
(1) Ia harus mengembangkan
cinta-kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.
(2) Ia harus mengembangkan
belas-kasihan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.
(3) Ia harus mengembangkan
keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. [186]
(4) Ia harus mengabaikan orang
yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.
(5) Ia harus menerapkan
gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal, sebagai
berikut: ‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya; ia
memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma
sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan, baik
atau buruk.’
Dengan cara inilah ia harus
melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara untuk
melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya
melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”
Sebaliknya, kini bayangkan orang-orang
yang selama ini telah pernah melukai, menyakiti, maupun merugikan diri Anda. Namun,
berhubung para pendosawan tersebut notabene adalah seorang “agamais” yang kerap
“rajin beribadah memohon penghapusan dosa”, maka mereka kemudian dimasukkan ke
alam surgawi, sementara Anda hanya dapat “gigit jari’ dan “merugi”, sebelum
kemudian meninggal dunia menjadi “arwah penasaran”. Bayangkan, suami / istri Anda
berselingkuh dengan pihak lain, lalu pihak lain dan suami / istri Anda tersebut
dimasukkan ke surga karena rajin beribadah memohon “penghapusan dosa”. Di surga,
Anda kembali berjumpa dengan sang kedua pelaku—maka, alam surgawi pun
menyerupai “dunia manusia jilid kedua”.
Kebahagiaan bukanlah sumber
kejahatan—sebaliknya, ketidak-bahagiaan merupakan sumber kejahatan. Ketika Anda
tidak bahagia karena merasa “merugi”, jadilah Anda dan para pendosawan tersebut
berlomba-lomba dan berbondong-bondong melakukan dosa, menjelma pendosawan yang
berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan segunung dosa, mengoleksi segudang
dosa, dosa-dosa mana “too big to fall”,
sekalipun jelas bahwa ideologi korup demikian hanyalah iming-iming “too good to be true”, dimana hanya seorang
pendosa yang butuh penghapusan dosa. Sadarkah Anda, dahulu kala, sebelum agama-agama
samawi diperkenalkan ke dunia ini, tiada kalangan pendosa yang yakin akan masuk
surga setelah ajal menjemput mereka. Kini, para pendosawan yakin seyakin-yakinnya
terjamin serta berdelusi telah memiliki tiket masuk surga, “tong sampah”
kalangan pendosawan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.