Jangan Nilai Seseorang dari Jubahnya, Don’t Judge the Person by the Cover

Tidak Semua Bhikkhu merupakan Ladang Menanam Jasa yang Baik

Question: Apakah semua orang yang memakai jubah bhikkhu, merupakan ladang menanam jasa baik?

Brief Answer: Ada ladang yang subur, dan ada ladang yang tidak subur. Menebar benih pada ladang yang tidak subur, hampir menyerupai kesia-siaan, ibarat menabur garam ke lautan. Moralitas seseorang yang hendak kita berikan sesuatu, menjadi penentu kualitas Karma Baik yang akan kita petik dimasa yang akan datang buah manisnya. Karenanya, memberi secara cerdas, dalam artian selektif dan bijaksana. Devadatta, memakai jubah bhikkhu sekaligus siswa yang justru menyakiti Sang Buddha selaku gurunya, tidaklah layak mendapat pemberian yang baik, karena bukan merupakan ladang yang subur untuk menanam Karma Baik. banyak di luar sana kita jumpai mereka yang mengaku sebagai bhikkhu, bersikap seolah-olah merupakan seorang bhikkhu, memakai jubah bhikkhu, namun senyatanya hanyalah “iblis berjubah merah” alias “bhikkhu pengikut Devadatta”—bukan “bhikkhu siswa sejati Sang Buddha”. Sehingga, kita patut bertanya-tanya, orang berjubah bhikkhu yang kita jumpai tersebut merupakan “murid Devadatta” ataukah “murid Sang Buddha”?

Sang Buddha membagi umat manusia menjadi tiga kelompok atau kategori menurut tingkat / kualitas moralitasnya, yakni : “manusia hewan”, “manusia manusia”, dan “manusia dewa”. Terhadap “manusia hewan”, bukanlah ladang menanam jasa yang subur, sekalipun orang tersebut memakai jubah seorang bhikkhu, akan tetapi ladang yang tandus dan gersang. Tipe pribadi “manusia manusia”, masih memiliki moralitas yang memadai, karenanya sekalipun merupakan seorang umat awam yang bukan bhikkhu, tetap saja merupakan ladang yang cukup subur untuk kita menanam jasa-jasa baik. Jenis pribadi ketiga cukup langka untuk dapat kita jumpai, ialah “manusia dewa”, yakni mereka yang selama ini terlatih serta terampil dalam disiplin diri “self-control” serta moralitas yang tidak tercela, baik umat awam maupun seorang bhikkhu, merupakan ladang menanam jasa yang subur.

Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, menyakiti seorang “manusia hewan”, Karma Buruknya sangatlah minim. Karenanya, bila Anda merupakan penjahat yang cukup cerdas, selektif-lah dalam memilih korban-korban Anda, yakni hanya menjadikan para “manusia hewan” sebagai “mangsa empuk” Anda. Namun, ketika Anda menyakiti, melukai, ataupun merugikan mereka yang tergolong “manusia manusia” ataupun yang tingkat moralitasnya dikategorikan sebagai “manusia dewa”, itu sama artinya Anda sedang “menggali lubang kubur sendiri” menuju ke alam neraka. Itulah sebabnya, dalam Buddhisme, menjadi orang suci ataupun orang yang mulia, membawa kemakmuran dan perlindungan bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.

PEMBAHASAN:

Orang dungu, menanam di ladang tandus yang tidak kondusif. Orang cerdas, menanam di ladang yang subur. Karena itulah, Sang Buddha mengajarkan para muridnya agar menjadi pribadi yang cerdas. Rujukannya dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

I. Layak Menerima Pemberian

1 (1) Layak Menerima Pemberian (1)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” Para bhikkhu itu menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?

(1) Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

[N’eva sumano hoti na dummano, upekkhako viharati sato

sampajāno. Kitab Komentar menerangkan : “Tidak bergembira juga tidak bersedih: [dipenuhi] dengan kegembiraan yang disertai dengan nafsu sehubungan dengan objek yang disenangi. Juga [ia tidak] bersedih: [dipenuhi] dengan kesedihan yang disertai dengan penolakan sehubungan dengan objek yang tidak disenangi. Melainkan [ia] berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih: ia bukan seimbang karena ia telah jatuh ke dalam ‘keseimbangan ketidaktahuan’ (aññā’upekkhā) melalui sikap tidak peduli dalam hal objek yang netral; melainkan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mempertahankan netralitas sehubungan dengan objek. Dalam sutta ini, yang dibahas adalah keberdiaman konstan seorang Arahant.”]

(2) Setelah mendengar suatu suara dengan telinga, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(3) Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(4) Setelah mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(5) Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.

(6) Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu puas mendengar pernyataan Sang Bhagavā. [280]

~0~

2 (2) Layak Menerima Pemberian (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.

(2) “Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

(3) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran terlampaui sebagai pikiran terlampaui dan pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan.

(4) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(5) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan buruk dan berpenampilan baik, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(6) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

~0~

3 (3) Indria

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [282] Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.