Makna HIDAYAH Menurut AGAMA DOSA : DOWNGRADE dari Orang yang Takut Buat Dosa menjadi Tidak Takut Buat Dosa (Ada Penghapusan Dosa) dan Tetap Yakin Masuk Surga
Question: Sering kita mendengar umat agama tertentu menyebut-nyebut soal hidayah. Sebenarnya apa itu hidayah?
Brief Answer: Bagi umat “Agama DOSA”, makna “hidayah” ialah “penghapusan
dosa sebagai halal lifestyle”,
bertolak-belakang dengan “pencerahan” dalam “Agama SUCI” yang dimaknai sebagai “gaya
hidup higienis dari dosa”. Berbuat kejahatan, seperti menyakiti, melukai,
maupun merugikan orang lain, merupakan “AURAT TERBESAR”. Namun, menurut “Agama
DOSA”, berbuat dosa bukanlah “aurat”, mengingat “penghapusan dosa” (abolition of sins) justru menjadi “halal lifestyle”. Babi dan tubuh di-“haram”-kan,
namun ideologi korup semacam “penghapusan dosa” justru di-“halal”-kan—sekalipun
jelas-jelas bahwa hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”.
Itulah sebabnya, makna “hidayah” menurut “Agama
DOSA” tidak lain tidak bukan ialah “downgrade”
dari seseorang yang sebelumnya tidak yakin akan masuk surga setelah banyak berbuat
jahat, menjadi yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah ajal
menjelang sekalipun telah banyak berbuat kejahatan sepanjang hidupnya—dengan
cara mengadaikan jiwanya dengan menjadi budak pecandu ideologi “penghapusan
dosa”. Singkat kata, makna “hidayah” menurut “Agama DOSA” ialah “dari semula
takut berbuat dosa” menjelma “BUAT DOSA,
SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA!”.
PEMBAHASAN:
Untuk memahami paradigma mengenai
“hidayah”, penting kita mencermati beragam sudut pandang yang ada dalam melihat
dan mengenalinya. Setidaknya, terdapat tiga buah sudut pandang dalam memahami
sebuah “hidayah”, dengan cara terlebih dahulu patut kita telaah dan pahami
uraian tiga kategorisasi besar agama-agama yang dikenal di dunia, yakni:
1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi
korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun
iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda (perbandingan) antara
si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Tuhan, dengan cara
menjadi manusia yang mulia. Hanya seorang pendosa, yang butuh iming-iming
ideologi korup bernama “penghapusan dosa”;
Para
suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup
dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan mawas diri (self-control), dimana mawas diri dan
perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian
utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan,
terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya
dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela,
bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk
bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah
pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan pihak-pihak
lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi
bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai
ancaman maupun musuh terbesar di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan
tersebut tampak sebagai “manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap
iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara
kalangan ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan
berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab.
Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih
tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa
ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang
yang “jantan”, alias jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab
maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat
pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana para dosawan menjadi
umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi
pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition
of sins)—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan
ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.
Bagaikan
raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu
memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud
sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung
dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam
surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa
yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai
satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan kata lain, secara tidak langsung,
para dosawan menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya “raja yang lalim”.
Itulah
penjelasannya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari
para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena
klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya
hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal
“agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta aktual
bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang
diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi, karenanya,
menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa kembali
beraksi tanpa “self-control”
(menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk
lainnya. Ketika kalangan pendosawan ini berceramah perihal hidup mulia, itu
ibarat orang buta hendak menuntun kalangan butawan lainnya, alam neraka pun
disebut sebagai “surga”.
Seorang pendosa, hendak
berceramah perihal hidup suci, luhur, mulia, bersih, dan baik? itu menyerupai “orang
buta yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya”. Adapun yang dimaksud
dengan “hidayah” dalam Buddhisme, dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID III”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
II. Kekesalan
161 (1) Pelenyapan Kekesalan
(1)
“Para bhikkhu, ada lima cara
ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya
melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini?
[Kitab Komentar : Yattha bhikkhuno uppanno āghāto sabbaso paṭivinetabbo. “Ketika
kekesalan telah muncul pada seorang bhikkhu sehubungan dengan suatu objek (yattha ārammaṇe),
maka hal itu harus sepenuhnya dihilangkan di sana dalam lima cara ini.” Dengan
demikian kitab komentar menganggap yattha berarti orang yang kepadanya
kekesalan itu muncul, bukan tempat secara fisik di mana kekesalan itu muncul.]
(1) Ia harus mengembangkan
cinta-kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.
(2) Ia harus mengembangkan
belas-kasihan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.
(3) Ia harus mengembangkan
keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. [186]
(4) Ia harus mengabaikan orang
yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah
ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu.
(5) Ia harus menerapkan
gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal,
sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya;
ia memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma
sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan,
baik atau buruk.’
Dengan cara inilah ia harus
melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara untuk
melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya
melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”