Hanya dalam Buddhisme, Kita dapat Berlatih dan Berjuang menjadi Manusia yang SEMPURNA

Umat Agama Samawi mencari Justifikasi Kekotoran Batin yang Mereka Pelihara Lewat Jargon Klise : TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA

Kata Siapa Tidak Ada Manusia yang Sempurna? Cobalah Anda Cari Setitik Noda Cacat pada Ajaran maupun Perilaku Kehidupan Sang Buddha

Adalah agama yang pesimistik, yang mengajarkan bahwa manusia tidak perlu berlatih dan berjuang dalam disiplin diri dan kontrol-diri yang ketat, semata karena umat manusia telah “dikunci” lewat dogma “tiada manusia yang sempurna”, sekalipun agama samawi menyebutkan bahwa manusia dilahirkan seputih kertas putih tanpa noda. Itu sekaligus menjelaskan, bahwa tiada ada tokoh yang suci dalam agama samawi, tidak terkecuali rasul / nabi yang mereka junjung. Lalu, pertanyaan terbesarnya ialah, mengapa manusia kemudian tumbuh dewasa menjadi penuh noda karakter dan cela perilaku? Paradigma dogmatis agama-agama samawi berkebalikan dari Buddhisme, yang mengemukakan bahwa kelahiran adalah akibat manifestasi kekotoran batin yang tersisa dari kehidupan lampau (past life defilements), dimana hanya lewat praktik disiplin diri, barulah kekotoran batin dapat dikikis secara gradual hingga habis tanpa sisa menuju kesempurnaan—kekebasan sempurna dari kekotoran batin, sehingga memutus belenggu rantai karma (break the chain of kamma), karenanya tiada lagi kelahiran kembali.

Manusia berpotensi terbebas dari kekotoran batin lewat latihan disiplin diri (self-control) yang ketat, itu sama artinya mempromosikan kesucian. Sebaliknya, agama-agama samawi lewat dogma “tidak ada manusia yang sempurna”, maka disaat bersamaan agama-agama samawi mengkampanyekan gaya hidup melestarikan kekotoran batin untuk dipelihara dan dijadikan justifikasi diri. Salah satunya dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

65 (5) Diskusi

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki lima kualitas, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk berdiskusi dengannya. Apakah lima ini?

(1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan perilaku bermoral.

(2) Ia sendiri sempurna dalam konsentrasi, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan konsentrasi.

(3) Ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebijaksanaan.

(4) Ia sendiri sempurna dalam kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebebasan.

(5) Ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Jika seorang bhikkhu memiliki kelima kualitas ini, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk berdiskusi dengannya.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.