(DROP DOWN MENU)

Kemenangan dalam Buddhisme Bertolak-Belakang dengan Kemenangan dalam Islam

Semoga Orang Sanggup menjadi “PENDOSA PENJILAT PENUH DOSA”, Apa Hebatnya?

Namun, Tidak Semua Orang Mampu Berjiwa Ksatria yang Berani Bertanggung-Jawab Atas Dosa-Dosanya maupun menjadi Seorang Suci yang Higienis dari Dosa

HANYA SEORANG PENDOSA, YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA

Question: Umat muslim, sehabis berpuasa selama sebulan, berupa “konsumsi makanan justru lebih meningkat daripada bulan-bulan diluar ramadhan” disamping umbar minta dihormati, pesta-pora penghapusan dosa. Puasa cukup sebulan, dosa-dosa selama setahun dihapuskan. Kabar gembira bagi pendosa, sama artinya kabar buruk bagi kalangan para korban yang telah pernah dilukai, disakiti, maupun dirugikan oleh para pendosawan tersebut. Lalu, mereka menyebutnya sebagai “bulan kemenangan penuh berkah”. Menjadi pecandu iming-iming “penghapusan dosa” (too good to be true) yang menjual jiwanya menjadi pendosa yang hanya pandai menjilat, bukankah sama artinya kekalahan besar, mengingat semua orang sanggup menjadi seorang pendosa dan penjilat, sementara itu tidak semua orang sanggup menjalani gaya hidup higienis dari dosa?

Brief Answer: Betul bahwa hanya seorang pendosa, yang butuh “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” atau istilah-istilah sejenis lainnya. Memang mengherankan mengamati praktik ritual dan ibadah kaum tersebut, ini dan itu disebut “dosa” serta “maksiat”. Akan tetapi, ironisnya, “penghapusan dosa” (abolition of sins) yang notabene ideologi korup, justru dikampanyekan dan dipromosikan, bahkan lewat speaker pengeras suara tempat ibadah mereka, untuk setiap harinya, setiap tahunnya, bahkan setelah sang pendosa meninggal dunia sanak-keluarganya akan melantunkan doa-doa permohonan “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosawan.

Alih-alih merasa tabu dan ditabukan, justru merasa bangga dan dikampanyekan. Pada satu sisi, begitu kompromistik terhadap dosa dan maksiat (buat dosa, siapa takut, ada penghapusan dosa), namun disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda etnik maupun keyakinan. Tubuh di-tabu-kan, dengan menutupinya dengan busana dari ujung rambut hingga ujung kaki, namun mereka lupa bahwa : AURAT TERBESAR IALAH BERBUAT DOSA, TERLEBIH MEMOHON PENGHAPUSAN DOSA. Makanannya serba “halal”, namun dari segi ucapan, penuh tipu-muslihat, akal-bulus, caci-maki penuh niat jahat, kekasaran penuh kekotoran batin, fitnah, pecah-belah, negatif, hingga “toxic”. Bahkan, ideologi kotor tercela semacam “penghapusan dosa”, dikonsumsi oleh mereka setiap harinya mereka beribadah.

PEMBAHASAN:

Disebut sebagai kaum atau bangsa “agamais”, namun pertanyaannya ialah, “agama apa dulu?” Bila itu adalah “Agama DOSA”—disebut demikian, semata karena mempromosikan gaya hidup mencandu “penghapusan dosa” dimana hanya seorang pendosa yang butuh “penghapusan dosa”—dimana semakin “agamais” bangsa bersangkutan, maka semakin tidak takut berbuat dosa sebagai dampaknya. Ketika sang pendosawan berbicara atau berceramah perihal hidup luhur, suci, dan mulia, itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun para butawan (pendosawan) lainnya. Orang jahat (pendosawan), ibarat orang buta, mereka tidak mampu membedakan antara baik dan buruk, yang bersih dan yang kotor, yang mulia dan yang tercela, demikian Sang Buddha bersabda. Bahkan, neraka pun mereka pandang sebagai alam surgawi, buta, dimana para dunguwan (pendosawan) berbondong-bondong diajak menuju alam rendah dan hina demikian, secara membuta khas orang buta.

Adapun makna “kemenangan” dalam Buddhisme, dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

75 (5) Prajurit (1)

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit, ketika melihat awan debu, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

[Kitab Komentar : Awan debu berupa kumpulan debu yang muncul dari tanah, yang telah terinjak-injak oleh kaki gajah, kuda, dan sebagainya.]

(2) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, [90] dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah awan debu dalam hal ini? Bhikkhu itu mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.’ Setelah mendengar hal ini, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah awan debu dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

[Kitab Komentar : Ini adalah metode yang ditetapkan untuk meninggalkan status monastik. Seseorang menyatakan kepada seorang lainnya (biasanya seorang bhikkhu) tentang ketidak-mampuannya untuk menjalankan latihan, mengganti jubahnya menjadi pakaian biasa, menerima lima sila, dan kembali ke kehidupan awam.]

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah panji-panji dalam hal ini? Bhikkhu itu tidak mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa,’ melainkan ia sendiri melihat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. Setelah melihatnya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan [91] tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah panji-panji dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah hiruk-pikuk dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya. Ketika perempuan itu tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah hiruk-pikuk dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Apakah serangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, [92] atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Ketika ia melakukan hal itu, bhikkhu itu melakukan hubungan seksual dengannya tanpa meninggalkan latihan dan tanpa mengungkapkan kelemahannya. Ini adalah serangan dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Apakah kemenangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Tetapi ia melepaskan dirinya, membebaskan dirinya, dan pergi ke mana pun yang ia kehendaki.

“Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pemakaman, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas dari niat buruk, berbelas kasihan pada semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, ia berdiam dengan bebas dari ketumpulan dan kantuk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih; ia memurnikan pikirannya dari ketumpulan dan kantuk. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, [93] tidak bingung sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’ Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Ini adalah kemenangan dalam pertempuran.

“Para bhikkhu, Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan, dan yang setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”