(DROP DOWN MENU)

Agama yang PALING INKONSISTEN di Jagat Raya : Ini Itu Disebut Dosa / Haram, namun Ideologi Korup bernama Penghapusan Dosa (justru) Di-halal-kan

Sekalipun, hanya seorang Pendosa yang Butuh Penghapusan Dosa

Setiap Harinya Menikmati Dosa / Maksiat, dan Setiap Harinya pula Mencandu Iming-Iming Penghapusan Dosa

Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu intoleran. Terhadap dosa dan maksiat, diharamkan. Namun terhadap ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins), justru dihalalkan. Sekalipun, nyata-nyata dan jelas-jelas bahwa hanya kalangan pendosawan yang butuh serta mencandu ideologi kotor dan busuk-tercela bernama “penghapusan dosa” atau apapun itu istilahnya.

Aurat tubuh, ditutupi mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Masakan berbahan dasar daging babi, disebut haram. Namun “aurat terbesar”, yakni berbuat dosa (menjahati, melukai, ataupun merugikan orang lain secara tidak bertanggung-jawab) justru dimohonkan dan dinikmati setiap harinya saat para “agamais-pendosa” tersebut beribadah. Alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa, para agamais tersebut justru tanpa rasa malu ataupun tabu mempromosikan “Agama DOSA” (aurat terbesar) tersebut lewat pengeras suara. Apakah ada, dogma ataupun doktrin keagamaan yang lebih inkonsisten dan lebih munafik serta lebih konyol daripada ajaran agama-agama samawi, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa”?

Munafik teriak munafik, zolim teriak dizolimi. Setiap harinya, tanpa malu, mengumandangkan “penghapusan dosa”. Setiap hari raya, para “pendosa-agamais” tersebut pesta pora “penghapusan dosa” (kabar gembira bagi kalangan pendosa, sama artinya kabar buruk bagi para korban). Saat si “agamais-pendosa” meninggal dunia, sanak keluarga sang pendosawan berdoa memohon “penghapusan dosa” bagi sang almarhum pendosawan. Seolah, korban-korban dari para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut tidak punya hak untuk menuntut keadilan. Mereka, para “agamais-pendosa” tersebut menyebutnya sebagai “halal lifestyle”, yakni rajin beribadah memohon “penghapusan dosa” sebagai komplomentar dari “rajin mencetak dosa”—melekat pada “dosa” dan disaat bersamaan mencandu pada “penghapusan dosa), dosa-dosa mana telah menjelma “too big to fall”.

Sebaliknya, Buddhisme, secara konsisten, tidak pernah mempromosikan “kekotoran batin”, justru dengan gigih berupaya mengikisnya secara penuh komitmen dan tanpa kenal kompromi, disaat bersamaan hanya mengkampanyekan gaya hidup bebas dari kedangkalan cara berpikir maupun cara hidup, salah satunya dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

25 (5) Pengingatan

“Para bhikkhu, ada enam subjek pengingatan ini. Apakah enam ini?

[Kitab Komentar menuliskan : “Pengingatan-pengingatan itu sendiri adalah ‘sebab-sebab ingatan’ dalam hal bahwa pengingatan-pengingatan itu berfungsi sebagai penyebab (hetubhāvato) bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”]

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

[Bhikkhu Bodhi yang menerjemahkan dari Bahasa Pali, tidak menginterpretasikannya sebagai mengatakan bahwa seseorang mengingat Sang Buddha sebagai suatu objek, melainkan bahwa ia menjadikannya sebagai landasan, atau titik awal, untuk menjauh dari keserakahan.

[Kitab Komentar mengemas ārammaa karitvā sebagai : “Setelah menjadikannya sebagai kondisi, setelah menjadikannya sebagai landasan” (paccaya karitvā pādaka katvā), serta sebagai konsentrasi akses (upacārajjhāna) yang diperoleh melalui pengingatan pada Sang Buddha. Kitab Komentar menjelaskan “dimurnikan” (visujjhanti) berarti “mereka mencapai nibbāna akhir, kemurnian tertinggi.”]

(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Sagha sebagai berikut: ‘Sagha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Sagha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika [313] seorang siswa mulia mengingat Sagha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatisa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva [314] pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini. Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata itu, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, juga, beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam subjek pengingatan itu.”

~0~

26 (6) Kaccāna

Yang Mulia Mahākaccāna berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab.

Yang Mulia Mahākaccāna berkata sebagai berikut: “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan bukaan di tengah-tengah kurungan bagi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna, yaitu, enam subjek pengingatan. Apakah enam ini?

[Penerjemah lain menerjemahkan dari Bahasa Pali sebagai : “Di tengah-tengah kurungan (sambādhe): di tengah-tengah kurungan kelima objek kenikmatan indria. Telah menemukan bukaan (okāsādhigamo): bukaan adalah keenam subjek pengingatan, yang telah Beliau temukan.”]

(1) “Di sini, teman-teman, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, [315] atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ teman-teman, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Siswa mulia ini berdiam dengan pikiran yang sepenuhnya bagaikan angkasa: luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Sagha sebagai berikut: ‘Sagha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sagha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … [316] … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

[Manobhāvanīyassa bhikkhuno dassanāya upasakamitu. Kitab Komentar secara konsisten menjelaskan manobhāvanīyā bermakna “mereka yang meningkatkan penghormatan,” atau “mereka yang layak menerima penghormatan,” daripada “mereka yang telah mengembangkan pikiran.”

[Kitab Komentar mengatakan para bhikkhu itu adalah manobhāvanīyā “yang, ketika dilihat, membuat pikiran tumbuh dalam apa yang bermanfaat” (yesu hi diṭṭhesu kusalavasena citta vaḍḍhati).]

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku … bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran … bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva … [317] … Keyakinan demikian juga ada padaku … perilaku bermoral demikian … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata itu, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ teman-teman, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Siswa mulia ini berdiam dengan pikiran yang sepenuhnya bagaikan angkasa: luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, juga, beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan bukaan di tengah-tengah kurungan bagi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna, yaitu, keenam subjek pengingatan ini.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.