(DROP DOWN MENU)

Tips Sukses dalam Meditasi oleh SANG BUDDHA

Meditasi (Meditate), adalah KATA KERJA, bukan KATA SIFAT

Bermeditasi secara CERDAS, alih-alih Bermeditasi secara KERAS

Ber-meditasi, adalah “verba” (verb) alias kata kerja. Karena itulah, meditasi bukanlah kegiatan yang mudah, perlu dilatih agar “practice makes perfect”. Kesabaran, kegigihan, dan daya tahan serta komitmen, menjadi syarat mutlak disamping metoda yang tepat dan objek meditasi yang cocok dengan karakteristik dasariah kita. Bagi mereka yang meremehkan meditasi, dapat dipastikan akan babak-belur ketika mencoba bermeditasi. Sementara bagi yang sudah pernah atau sedang berlatih meditasi, dan menemukan dirinya tidak ada kemajuan sekalipun telah bertahun-tahun bermeditasi dan selama puluhan tahun keluar-masuk pusat ret-ret meditasi, dapat dipastikan belum pernah mendengar atau mengetahui kiat-kiat sukses bermeditasi berikut yang disampaikan langsung oleh Sang Buddha, guru bagi para dewa dan para manusia.

Ingat, jangan sampai terjebak dalam teori-teori yang rumit dan menjelimet. Alih-alih bermeditasi, Anda akan lebih sibuk berpikir dalam teori dan memikirkan teori-teori tersebut. Teori yang rumit dan jelimet, dapat menjadi hambatan bagi Anda dalam bermeditasi alias beban itu sendiri, terutama bagi pemula dan belum memiliki pencapaian apapun. Meditasi itu sederhana, sesederhana objek meditasinya. Yang seringkali sukar, adalah pemahaman kita ketika bermeditasi yang telah diruwetkan dan dikeruhkan oleh teori-teori yang rumit tentang meditasi yang mana hanya dipertukkan bagi mereka yang sudah memiliki tingkat pencapaian tertentu. Ketahui dimana level Anda, bagi pemula maka cukup teori dasar yang mendasar semata, selanjutnya ialah langsung dan fokus berlatih dan mengasahnya dengan penuh kesabaran.

Bermeditasi, bukanlah aktivitas berpikir, mengingat, ataupun berencana, namun mengamati, menyelidiki, serta mengobservasi. Namun, bagi yang belum memiliki pencapaian atau tingkat tertentu dalam meditasi, maka cukup pada aktivitas mengamati. Mengamati apakah? Mengamati apa yang sudah kita tetapkan menjadi objek meditasi kita. Sehingga, karena adanya objek yang diamati serta adanya kegiatan mengamati, menjadi tidak benar pikiran “kosong”. Pikiran yang “kosong”, membuat seseorang menjadi tertidur alias “meditabo” (meditasi postur tubuhnya, namun sejatinya sedang “bobo”). Lantas, apa parameternya, bila meditasi kita sudah “on the track”?

Yakni, ketika kita menyadari apa yang kita amati, secara berkesinambungan, tanpa terputus. Itu saja parameternya, kita menyadari pengamatan kita serta apa yang kita amati, sepanjang waktu, ataukah sebaliknya justru “bleng” (kosong) sepanjang waktu sebagai pertanda “tidak ada pencapaian apapun”. Menyadari, artinya “present” (hadir atau ada). Sebaliknya, tidak menyadari artinya “absent” alias tidak hadir dan tidak berada. Pikiran yang “present”, bukan pikiran yang “absent”. “Present” artinya “hadir / eksis pada current moment” alias pada momen kekinian, bukan merencanakan juga bukan tenggelam dalam memori masa lampau.

Salah satu kiat sukses bermeditasi, dapat dijumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan berisi inspirasi dan bahan renungan yang dapat kita gunakan saat bermeditasi:

102 (11) Pandai Emas

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran. (1) Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, (2) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan (3) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.

[Kitab Komentar : Ketiga nimitta adalah samādhinimitta, paggahanimitta, dan upekkhānimitta.]

“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi dan hanya memperhatikan gambaran konsentrasi, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan. Jika ia hanya memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika [257] ia hanya memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Tetapi ketika seorang bhikkhu yang menekuni pikiran yang lebih tinggi dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda.

“Misalkan, para bhikkhu, seorang pandai emas atau muridnya akan mempersiapkan tungku, memanaskan wadah, mengambil emas dengan penjepit, dan meletakkannya ke dalam wadah. Kemudian dari waktu ke waktu ia akan meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja. Jika si pandai emas atau muridnya hanya meniup emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu hanya akan terbakar. Jika ia hanya memercikkan air pada emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu akan menjadi dingin. Jika ia hanya melihatnya saja, maka adalah mungkin bahwa emas itu tidak mencapai kekentalan yang tepat. Tetapi jika si pandai emas atau muridnya itu dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja, maka emas itu akan menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia dapat mencapai tujuannya.

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran. Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.

“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi hanya memperhatikan gambaran konsentrasi, [258] maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan. Jika ia hanya memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika ia hanya memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Tetapi ketika dari waktu ke waktu ia memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, tidak rapuh melainkan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin’ … [seluruhnya seperti pada 3:101, hingga] … Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

Dari waktu ke waktu” mengerahkan upaya disamping kegiatan mengamati dan menyadari, itulah kata kuncinya. Mulailah untuk mencoba bermeditasi, secara cerdas, ketika Anda mendapati bahwa bermeditasi secara keras telah ternyata tidak kunjung membuahkan hasil atau bahkan “berjalan di tempat”. Salah satu kiat paling lazim dalam aktivitas bermeditasi, ialah memiliki bahan renungan semacam tips dan kiat dari Sang Buddha seperti kutipan khotbah diatas, sehingga tidak “mandek” dengan objek meditasi yang kita jadikan fokus. Namun ingat, fokus meditasinya bukanlah bahan renungan, namun tetap pada objek meditasi (kecuali objek meditasinya ialah Dhamma itu sendiri). Bahan renungan, ibarat pemantik agar dapat menghidupkan api unggun. Ketika api unggun mati akibat tertiup angin atau sebab lainnya, kita dapat kembali menggunakan bahan renungan agar kembali bangkit nyala api unggun tersebut.

Satu hal terakhir yang perlu Anda periksa dan tanyakan kepada diri Anda, Anda adalah orang baik ataukah orang yang bobrok moralitasnya? Bilamana moralitas Anda buruk, maka lupakanlah meditasi karena Anda hanya akan membuang-buang waktu Anda maupun guru meditasi Anda, meditasi adalah hal yang terisimewa dikhususkan bagi mereka yang bermoral baik, sebagai syarat mutlak yang paling utama. Bilamana Anda tetap ingin memiliki tingkat pencapaian dalam meditasi, maka terlebih dahulu Anda perlu mengoreksi perilaku, pikiran, dan ucapan Anda, dimana dengan moralitas yang telah dikoreksi, barulah Anda dapat berharap adanya kemajuan dan buah manis dibalik meditasi.

Kedua, ketahui apa yang Anda tuju. Bagi pemula yang berharap duduk meditasi seketika mencapai pencerahan, itu namanya “harapan kosong dan semu”, Anda pasti akan kecewa, dijamin gagal. Boleh-boleh saja mendalami Vipassana Bhavana, namun cukup sebatas prinsip-prinsip dan latihan-latihan yang basic atau mendasar saja. Teknik mencatat ala Mahasi Sayadaw, ada manfaat besarnya, namun hanya sampai pada titik tertentu, dan kita harus beralih kepada Samantha Bhavana. Yang lebih rasional, ialah merealisasi “jhana”, yakni melihat dan rerealisasi nimitta. Ibarat ketika kita mengetik alamat “url” dalam browser kita di komputer maupun di handphone, maka kita akan terkonek (connect) dengan situs tersebut. Begitupula ketika kita menyetel frekuensi gelombang radio tertentu, maka kita akan “tune in” dengan stasiun radio tersebut. Karena itulah, penting bagi kita mengetahui dan mengarahkan usaha kita dalam bermeditasi, untuk merealiasi apa. Bayangkan atau visualisasikan ketika Anda duduk bermeditasi, Anda mengetik pada alamat “url” dengan kata “jhana”. Selanjutnya, kondisikan diri Anda agar ter-connect dengan “jhana”. Koneksinya apakah? Tidak lain tidak bukan objek meditasi Anda, semisal “kesadaran (keluar dan masuknya) nafas”, secara berkesinambungan dan tidak terputus.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.