Mara Berjubah Merah, Waspadalah, Don’t Judge the Person by the “Jubah”
Lihat BIBIT, BEBET, dan BOBOT=nya
Question: Apakah semua pemberian yang bagus kepada orang lain, pasti akan berbuah manis?
Brief Answer: Menabur benih di ladang tandus, adalah kesia-siaan,
sama seperti menyemai bibit padi di atas padang gurun, benihnya akan mati
sebelum sempat muncul tunas. Hanya dengan menanam benih diladang yang subur,
barulah hasilnya akan optimal dan maksimal. Oleh karena itulah, memberikan
sesuatu kepada mereka yang bermoral buruk, sama artinya membuang-buang waktu,
tenaga, dan dana Anda. Mereka bahkan lebih layak untuk dicampakkan ke dalam “tong
sampah”. Itulah sebabnya, tugas utama seorang bhikkhu selain berlatih dalam
disiplin diri dalam monastik dan melayani umat, juga menjadikan dirinya sebagai
ladang menanam jasa yang subur dengan cara mengikis kekotoran batin yang bersarang
dalam dirinya sendiri—yakni tidak lain tidak bukan menjadi orang suci yang
tipis atau bahkan tidak ada lagi kekotoran batin yang tersisa.
PEMBAHASAN:
Janganlah menilai seseorang
dari tampilan ataupun busananya. Koruptor, selalu berpakaian bagus, setelan jas
yang rapih, harum, bersih, dan mengilap juga mahal. Namun perihal moralitas, terbelakang
dan miskin alias bobrok. Begitupula ketika menjumpai atau mengenal seseorang
yang memakai jubah merah / kuning kecoklatan, bisa jadi itu bukan bhikkhu,
namun pengikut Devadatta dimana Devadatta juga tampil dan berjubah seperti
seorang bhikkhu. Berderma bagi pengikut Devadatta, sama artinya menanam ladang
di “mara berjubah merah / kuning kecoklatan”.
Manusia jahat, yang lebih jahat
perilakunya daripada seekor anjing jinak yang tidak menyakiti siapapun, maka
memberikan makanan kepada sang anjing masih lebih berbuah karma baik yang kita
tanam daripada berdonasi kepada manusia jahat tersebut. Begitupula, berdonasi
kepada seorang “mara berjubah merah / kuning kecoklatan”, sama sia-sianya
dengan menabur garam di samudera. Karenanya, jadilah orang baik dan suka
berderma yang cerdas. Selektif itu sama pentingnya dengan niat untuk berbuat
kebajikan itu sendiri.
Rujukan langsungnya dapat kita
jumpai dalam khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dengan kutipan:
99 (8) Kain Kulit Kayu
“Para bhikkhu, ketika masih
baru, kain yang terbuat dari kulit kayu adalah buruk, tidak nyaman, dan
bernilai rendah. Ketika telah dipakai, kain yang terbuat dari kulit kayu masih
buruk, tidak nyaman, dan bernilai rendah. Ketika sudah lama, kain yang terbuat
dari kulit kayu masih tetap buruk, tidak nyaman, dan bernilai rendah. Mereka
menggunakan kain lama yang terbuat dari kulit kayu untuk membersihkan
kendi-kendi atau mereka membuangnya di tumpukan sampah.
(1) (i)“Demikianlah pula, para
bhikkhu, jika seorang bhikkhu junior tidak bermoral, berkarakter buruk, ini,
Aku katakan, adalah keburukannya. [247] Seperti halnya kain yang terbuat dari
kulit kayu yang buruk, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.
[Kitab Komentar : Ada dua triad
dalam sutta ini. Yaitu bhikkhu tidak bermoral dan bermoral yang dibedakan dalam
junior, menengah, dan senior, dan pembedaan ini membentuk sebuah triad.
Selanjutnya, dalam tiap-tiap jenis, diberikan tiga pernyataan – tentang bhikkhu
itu sendiri, dampaknya bagi mereka yang bergaul dengannya, dan jasa yang diperoleh
dari pemberian yang diberikan kepadanya – yang juga membentuk sebuah triad.
Saya menunjukkan triad utama dengan penomoran Arab dan bagian minor dengan
penomoran Romawi kecil.]
(ii) “Bagi mereka yang bergaul
dengannya, mengunjunginya, melayaninya, dan mengikuti teladannya, maka hal ini
akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama. Ini, Aku
katakan, adalah ketidak-nyamanannya. Seperti halnya kain yang terbuat dari
kulit kayu yang tidak nyaman, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah
serupa.
(iii) “Ketika ia menerima
jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang
sakit, [penerimaan] ini adalah tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar bagi
mereka [yang mempersembahkan benda-benda itu]. Ini, Aku katakan, adalah
nilainya yang rendah. Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang
bernilai rendah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.
(2) “Jika seorang bhikkhu
menengah …
(3) “Jika seorang bhikkhu
senior tidak bermoral, berkarakter buruk, ini, Aku katakan, adalah keburukannya
… [semuanya seperti di atas] … Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu
yang bernilai rendah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.
“Jika seorang bhikkhu senior
demikian berbicara di tengah-tengah Saṅgha, para bhikkhu akan berkata kepadanya: ‘Apa yang memberimu, seorang
dungu yang tidak kompeten, hak untuk berbicara? Apakah engkau berpikir bahwa
engkau juga berhak untuk berbicara?’ Kemudian ia menjadi marah dan tidak senang
dan mengucapkan kata-kata yang karenanya Saṅgha akan mengusirnya, seolah-olah [membuang] kain yang terbuat dari kulit
kayu ke tumpukan sampah.
“Ketika masih baru, para
bhikkhu, kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi.
Ketika telah dipakai, [248] kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman,
dan bernilai tinggi. Ketika sudah lama, kain yang berasal dari Kāsi adalah
indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Mereka menggunakan kain lama yang berasal
dari Kāsi untuk membungkus permata atau mereka menyimpannya di dalam peti
harum.
(1) (i) “Demikian pula, jika
seorang bhikkhu junior bermoral, berkarakter baik, ini, Aku katakan,
adalah keindahannya. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi adalah indah,
demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.
(ii) “Bagi mereka yang bergaul
dengannya, mengunjunginya, melayaninya, dan mengikuti teladannya, maka hal ini
akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama. Ini,
Aku katakan, adalah kenyamanannya. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi
yang nyaman, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.
(iii) “Ketika ia menerima
jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang
sakit, [penerimaan] ini adalah berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka
[yang mempersembahkan benda-benda itu]. Ini, Aku katakan, adalah nilainya
yang tinggi. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi yang bernilai tinggi,
demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.
(2) “Jika seorang bhikkhu
menengah …
(3) “Jika seorang bhikkhu
senior bermoral, berkarakter baik, ini, Aku katakan, adalah keindahannya …
[semuanya seperti di atas] … Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi adalah
bernilai tinggi, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa. “Jika
seorang bhikkhu senior demikian berbicara di tengah-tengah Saṅgha, [249] para bhikkhu akan berkata: ‘Mohon para
mulia tenang. Seorang bhikkhu senior sedang membicarakan Dhamma dan disiplin.’
Kata-katanya itu harus dilestarikan, seperti halnya mereka menyimpan kain yang
berasal dari Kāsi di dalam sebuah peti harum.
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan seperti kain yang berasal
dari Kāsi, bukan seperti kain yang terbuat dari kulit kayu.’ Demikianlah
kalian harus berlatih.”
~0~
139 (9) Tidak Dapat dengan
Sabar Menahankan
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima faktor, seekor gajah jantan besar milik raja adalah tidak layak menjadi
milik seorang raja, bukan perlengkapan seorang raja, dan tidak dianggap sebagai
satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan
bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat
dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa
kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.
(1) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk?
Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran,
saat melihat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, atau pasukan
pejalan kaki, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak
dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik
raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.
(2) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara? Di
sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran,
saat mendengar suara gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, atau pasukan
pejalan kaki, atau suara genderang, tambur, kulit kerang, dan gendang, ia
merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki
pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak
dapat dengan sabar menahankan suara-suara.
(3) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan?
[158] Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu
pertempuran, saat mencium bau air kencing dan kotoran tinja gajah-gajah jantan
kerajaan dari keturunan yang baik dan terbiasa berperang, ia merosot,
terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran.
Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan
sabar menahankan bau-bauan.
(4) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa
kecapan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu
pertempuran, jika satu porsi rumput dan air, atau dua, tiga, empat, atau lima
porsi dirampas darinya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya,
dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar
milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.
(5) ) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek
sentuhan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu
pertempuran, jika ia tertusuk oleh satu berondongan anak panah, atau oleh dua,
tiga, empat, atau lima berondongan, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan
dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah
jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek
sentuhan.
“Dengan memiliki kelima faktor
ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah tidak layak menjadi milik
seorang raja, bukan perlengkapan seorang raja, dan tidak dianggap sebagai satu
faktor kerajaan.
“Demikian pula, para bhikkhu, dengan
memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah tidak layak menerima pemberian,
tidak layak menerima keramahan, tidak layak menerima persembahan, tidak layak
menerima penghormatan, bukan lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia.
Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak
dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan
bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak
dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika
seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, ia menjadi terpikat pada
suatu bentuk yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya.
Dengan cara ini seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan
bentuk-bentuk.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara? [159] Di sini, ketika
seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, ia menjadi terpikat pada
suatu suara yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan
cara ini seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara.
(3) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seorang
bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, ia menjadi terpikat pada suatu bau
yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini
seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan.
(4) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika
seorang bhikkhu mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, ia menjadi terpikat
pada suatu rasa kecapan yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan
pikirannya. Dengan cara ini seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan
rasa-rasa kecapan.
(5) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini,
ketika seorang bhikkhu merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, ia menjadi
terpikat pada suatu objek sentuhan yang menggoda dan tidak dapat
mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seorang bhikkhu tidak dapat
dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.
“Dengan memiliki kelima
kualitas ini, seorang bhikkhu adalah tidak layak menerima pemberian, tidak
layak menerima keramahan, tidak layak menerima persembahan, tidak layak
menerima penghormatan, bukan lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia.
“Para bhikkhu, dengan memiliki
lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik
seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor
kerajaan. Apakah lima ini? Ia dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan
sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar
menahankan rasa-rasa kecapan, dan dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.
(1) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini,
ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat
melihat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, atau pasukan pejalan
kaki, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat
memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu
dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.
(2) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan suara-suara? [160] Di sini,
ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mendengar
suara gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, atau pasukan pejalan kaki, atau
suara genderang, tambur, kulit kerang, dan gendang, ia tidak merosot, tidak
terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan
cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan
suara-suara.
(3) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika
seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mencium bau
air kencing dan kotoran tinja gajah-gajah jantan kerajaan dari keturunan yang
baik dan terbiasa berperang, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan
menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah
jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bau-bauan.
(4) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini,
ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika
satu porsi rumput dan air, atau dua, tiga, empat, atau lima porsi dirampas
darinya, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan
dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik
raja itu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.
(5) ) “Dan bagaimanakah gajah
jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di
sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran,
jika ia tertusuk oleh satu berondongan anak panah, atau oleh dua, tiga, empat,
atau lima berondongan, ia tidak merosot, tidak terperosok melainkan menahan
dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan
besar milik raja itu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.
“Dengan memiliki kelima faktor
ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang
raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.
“Demikian pula, para bhikkhu, dengan
memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak
menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan,
lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah lima ini? Ia dengan sabar
menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar
menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan dengan
sabar menahankan [161] objek-objek sentuhan.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seorang bhikkhu
melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menjadi terpikat pada bentuk yang
menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan suara-suara? Di sini, ketika seorang bhikkhu
mendengar suatu suara dengan telinga, ia tidak menjadi terpikat pada suara yang
menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan suara-suara.
(3) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seorang bhikkhu
mencium suatu bau dengan hidung, ia tidak menjadi terpikat pada bau yang
menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan bau-bauan.
(4) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seorang
bhikkhu mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, ia tidak menjadi terpikat
pada rasa kecapan yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan
cara ini seorang bhikkhu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.
(5) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seorang
bhikkhu merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, ia tidak menjadi terpikat
pada objek sentuhan yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya.
Dengan cara ini seorang bhikkhu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.
“Dengan memiliki kelima
kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima
keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa
yang tiada taranya bagi dunia.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.