(DROP DOWN MENU)

Apakah Mungkin Ada Orang Suci ataupun Umatnya yang Suci di Agama Samawi?

Dosa dan Maksiat, merupakan AURAT TERTINGGI. Dogma atau Iming-Iming Penghapusan Dosa, merupakan AURAT PALING TERTINGGI. Alih-Alih Ditabukan, namun Justru Dipromosikan, Dikampanyekan dengan Pengeras Suara, Diumbar, dan Dipertontonkan secara Vulgar oleh Umat Pemeluk AGAMA DOSA

Agama DOSA, Umatnya ialah Kalangan Pendosa dimana Para Pendosa menjadi Umat Pemeluknya

Question: Apakah ada orang suci di agama-agama samawi?

Brief Answer: Bila nabi yang mereka jadikan junjungan, telah ternyata penuh kekotoran batin, alias sesama para pendosa atau tidak ubahnya para pendosa lain yang menjadi para pengikutnya, maka itu ibarat “orang buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya”. bagaimana mungkin, orang buta alias pendosawan, hendak mengarahkan para butawan lainnya jalan menuju alam kehidupan yang lebih baik? Pendosawan hendak berceramah perihal hidup lurus, baik, benar, jujur, adil, mulia, luhur, dan suci, kepada para pendosawan lainnya?

Pendosa itu ibarat “orang buta”, mereka bahkan tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang tercela dan mana yang mulia, mana yang bersih dan mana yang kotor. Bahkan alam surgawi pun mereka sebut sebagai alam neraka, dan sebaliknya, alam neraka sebagai surgawi. Hanya seorang pendosa, yang butuh iming-iming ideologi korup semacam “penghapusan dosa”—dan hanya “Agama DOSA” yang mengkampanyekan gaya hidup penuh dosa (komplomenter dari “dogma penghapusan dosa”) alih-alih cara hidup higienis dari dosa.

Berbuat dosa, belum dipandang sebagai “aurat tertinggi”, namun berdelusi sebagai agama yang paling superior dan berhak memonopoli alam surgawi yang menyerupai “tong sampah” dimana para pendosa menjejalinya. Mereka adalah kaum pengecut sekaligus pecundang kehidupan, budak dari delusi, delusi mana merupakan manifestasi “kekotoran batin” yang bersarang dalam diri mereka dan mereka pelihara tanpa merasa ada bahaya dibaliknya. “Tuhan” yang mereka sembah, bahkan memelihara dosa dan maksiat, semata demi mengiming-imingi para budaknya dengan dogma “penghapusan dosa”. Itulah sebabnya, puluhan nabi yang telah pernah diutus oleh “mereka”, tidak pernah membuat punah satupun dosa maupun maksiat paling primiitif yang dikenal dalam sejarah umat manusia.

Jangankan ditabukan atau merasa malu, mereka bahkan merasa penuh kebanggaan mengumbar “penghapusan dosa” lewat pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka, menjadi ritual keseharian mereka, ritual tahunan mereka, maupun ritual ketika sanak-keluarga mereka meninggal dunia, tanpa pernah satu kalipun memikirkan nasib dari orang-orang yang selama ini telah pernah mereka sakiti, lukai, maupun rugikan. Mereka selama ini berbicara besar (bermulut besar) perihal Tuhan dan agama, namun begitu pengecutnya untuk bertanggung-jawab atas perilaku mereka sendiri yang telah merugikan, melukai, maupun menyakiti individu-individu lainnya, dan disaat bersamaan terlampau pemalas untuk menanam benih-benih perbuatan baik dengan hanya tanya meminta, memohon, dan mengemis-ngemis sesuatu berkah jatuh dari langit.

PEMBAHASAN:

Pertama-tama, mari kita simak apa yang menjadi “standar moralitas tertinggi” bagi kaum pemeluk agama-agama samawi, dari sumber otentik agama mereka, dimana kekotoran batin justru dipelihara dan diberi makan alias dilestarikan demi disaat bersamaan menikmati iming-iming “penghapusan dosa” (too good to be true), antara lain dengan kutipan sebagai berikut:

- Roma 3:7 Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?

- Paulus mengabarkan Yesus dengan kepalsuan : Filipi 1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita,

- Ajaran Paulus bukan dari Tuhan : II Korintus 11:17 Apa yang aku katakan, aku mengatakannya bukan sebagai seorang yang berkata menurut firman Tuhan, melainkan sebagai seorang bodoh yang berkeyakinan, bahwa ia boleh bermegah.

- Membenarkan penipuan dan kelicikan untuk kepentingan hegemoni agama Kristen : Korintus 12:16 Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya. [Corinthians 12:16 But be it so, I did not burden you: nevertheless, being crafty, I caught you with guile.]

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]. Bangga menjadi pendosawan, alih-alih merasa tabu dan malu. Umpama orang buta hendak menuntun para butawan lainnya. Pendosawan, ingin berceramah hidup suci, mulia dan luhur?

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680] Berhala teriak berhala, kafir teriak kafir.

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533] Wahyu tersebut berisi perintah, wajib hukumnya dijalankan. Bila tidak, itu namanya “murtadin”! Para Muslim menuntut serta menikmati toleransi dari para Buddhist (nenek-moyang Nusantara abad ke-5—15 Masehi) saat masuk ke Nusantara di abad ke-15 Masehi, namun kini setelah menjelma mayoritas para Muslim hendak memberangus toleransi yang dahulu mereka nikmati.

Kini, kita akan mengurai tiga buah kategori agama yang dikenal di dunia manusia, yakni dengan rincian sebagai berikut, sehingga kita tidak lagi terkecoh oleh “merek” atau “judul” suatu kemasan sebagai “suci”—meski sejatinya kotor, buruk, jahat, negatif, dan tercela: [please don’t judge the book by the cover]

1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda (perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Tuhan, dengan cara menjadi manusia yang mulia.

Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan mawas diri (self-control), dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;

2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria senantiasa “tahu diri”.

Ideologi bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai “manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);

3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.

Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan kata lain, secara tidak langsung, para dosawan menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya “raja yang lalim”.

Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi, karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa kembali beraksi tanpa “self-control” (menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk lainnya.

Junjungan menjadi penting, dimana junjungan itulah yang menjadi “standar moralitas” para siswa atau umat pengikutnya, sebagaimana dapat kita rujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

V. Segumpal Garam

92 (1) Mendesak

“Para bhikkhu, ada tiga tugas mendesak seorang petani. Apakah tiga ini? (1) Pertama, petani itu dengan cepat namun menyeluruh membajak lahan dan dengan cepat namun menyeluruh menggaruknya. (2) Berikutnya, ia dengan cepat menanam benih-benih.

(3) Dan kemudian ia dengan cepat [240] mengairi dan mengeringkan lahan. Ini adalah ketiga tugas mendesak seorang petani.

“Petani ini tidak memiliki kekuatan batin atau kekuatan spiritual [yang dengannya ia dapat memerintahkan]: ‘Semoga tanamanku mulai tumbuh hari ini! Semoga tanamanku menjadi tinggi besok! Semoga tanamanku berbuah lusa!’ Tetapi, dengan perubahan musim, akan tiba waktunya ketika tanaman itu tumbuh, tinggi, dan berbuah.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga tugas mendesak seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas mendesak seorang bhikkhu.

“Bhikkhu ini tidak memiliki kekuatan batin atau kekuatan spiritual [yang dengannya ia dapat memerintahkan]: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan hari ini, atau besok, atau lusa!’ Sebaliknya, sewaktu bhikkhu ini berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi, akan tiba waktunya ketika pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

~0~

93 (2) Keterasingan

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mengajarkan tiga jenis keterasingan ini. Apakah tiga ini? Keterasingan sehubungan dengan jubah, keterasingan sehubungan dengan makanan, dan keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal.

“Ini, para bhikkhu, adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan jubah: mereka mengenakan jubah rami, jubah dari kain campuran rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain; jubah yang terbuat dari kulit pohon, kulit antelop, cabikan kulit antelop; jubah yang terbuat dari rumput kusa, kain kulit kayu, atau kain serutan-kayu; selimut yang terbuat dari rambut kepala atau dari wol binatang, [241] penutup yang terbuat dari sayap burung hantu. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan jubah.

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan makanan: mereka memakan dedaunan, milet, beras hutan, kulit-kupasan, lumut, kulit padi, sisa-sisa beras, tepung wijen, rumput, atau kotoran sapi. Mereka bertahan hidup dari akar-akaran hutan dan buah-buahan; mereka memakan buah-buahan yang jatuh. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan makanan.

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal: hutan, bawah pohon, tanah pekuburan, tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami, gubuk jerami. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal.

“Ini adalah ketiga jenis keterasingan yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain.

“Dalam Dhamma dan disiplin ini, para bhikkhu, ada tiga jenis keterasingan ini bagi seorang bhikkhu. Apakah tiga ini?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bermoral; ia telah meninggalkan ketidak-bermoralan dan tetap terasing darinya. (2) Ia menganut pandangan benar; ia telah meninggalkan pandangan salah dan tetap terasing darinya. (3) Ia adalah seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan; ia telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya.

“Ketika seorang bhikkhu bermoral, seorang yang telah meninggalkan ketidak-bermoralan dan tetap terasing darinya; ketika ia adalah seorang yang berpandangan benar, yang telah meninggalkan pandangan salah dan tetap terasing darinya; ketika ia adalah seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai yang terunggul, mencapai inti, seorang yang murni dan kokoh dalam inti.

“Misalkan, para bhikkhu, ada seorang petani yang lahan padinya telah matang. Petani itu akan dengan cepat memotong tanamannya. Kemudian ia akan dengan cepat mengumpulkan tanaman-tanaman itu. Kemudian ia akan dengan cepat [242] membawanya [ke tempat penggilingan]. Kemudian ia akan dengan cepat menumpuknya, menggilingnya, memisahkan jeraminya, memisahkan tangkainya, dan menampinya. Kemudian ia akan dengan cepat membawanya, menumbuknya, dan memisahkan sekamnya. Dengan cara ini, butir-butiran beras si petani akan menjadi yang terbaik, mencapai inti, murni, dan kokoh dalam inti.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bermoral … seorang yang berpandangan benar … seorang yang telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya, maka ia disebut seorang yang terunggul, yang mencapai inti, murni, dan kokoh dalam inti.”

~0~

IV. Para Petapa

81 (1) Para Petapa

“Para bhikkhu, ada tiga tugas pertapaan ini yang harus dipraktikkan oleh seorang petapa. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas pertapaan yang harus dipraktikkan oleh seorang petapa.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

~0~

82 (2) Keledai 518

“Para bhikkhu, misalkan seekor keledai mengikuti persis di belakang sekelompok sapi, [dengan berpikir]: ‘aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi.’519 (1) Tetapi penampilannya tidak menyerupai sapi-sapi itu, (2) ringkikannya tidak seperti sapi-sapi itu, dan (3) jejak kakinya tidak menyerupai jejak kaki sapi-sapi itu. Namun ia mengikuti persis di belakang sekelompok sapi, [dengan berpikir]: ‘aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi.’

“Demikian pula, seorang bhikkhu mungkin mengikuti persis di belakang Sagha para bhikkhu, [dengan berpikir]: ‘aku juga seorang bhikkhu, aku juga seorang bhikkhu.’ (1) Tetapi keinginannya untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut; (2) keinginannya untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut; (3) keinginannya untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut. Namun ia mengikuti persis di belakang Sagha para bhikkhu, [dengan berpikir]: ‘aku juga seorang bhikkhu, aku juga seorang bhikkhu.’

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

~0~

83 (3) Lahan

“Para bhikkhu, ada tiga tugas persiapan bagi seorang petani. Apakah tiga ini? (1) Di sini, petani pertama-tama membajak dan menggaruk lahan secara menyeluruh. (2) Selanjutnya, ia menanam benih pada waktu yang tepat. (3) Dan kemudian ia sewaktu-waktu mengairi [230] dan mengeringkan lahan itu. Ini adalah ketiga tugas persiapan bagi seorang petani.

“Demikian pula, ada tiga tugas persiapan bagi seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas persiapan bagi seorang bhikkhu.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi … latihan dalam pikiran yang lebih tinggi … latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

~0~

84 (4) Vajji Muda

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian seorang bhikkhu Vajji tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berkata kepadanya:

“Bhante, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan dilafalkan. Aku tidak dapat berlatih di dalamnya.”

Dapatkah engkau berlatih dalam tiga latihan, Bhikkhu: latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi?

Dapat, Bhante.”

“Oleh karena itu, Bhikkhu, berlatihlah dalam tiga latihan: latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Sewaktu engkau berlatih di dalamnya, engkau akan meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi, engkau tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau mendatangi apa pun yang buruk.”

Kemudian, beberapa waktu kemudian, bhikkhu itu berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Sewaktu ia [231] berlatih di dalamnya, ia meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi, ia tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau mendatangi apa pun yang buruk.”

~0~

85 (5) Seorang Yang Masih Berlatih

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Bhante, dikatakan: ‘Seorang yang masih berlatih, seorang yang masih berlatih.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang disebut seorang yang masih berlatih?”

“Ia berlatih, Bhikkhu, oleh karena itu ia disebut seorang yang masih berlatih. Dan dalam apakah ia berlatih? Ia berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; ia berlatih dalam pikiran yang lebih tinggi; ia berlatih dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ia berlatih, Bhikkhu, oleh karena itu ia disebut seorang yang masih berlatih.”

Ketika ia yang masih berlatih melakukan latihan di sepanjang jalan yang lurus, pengetahuan hancurnya muncul terlebih dulu yang segera diikuti dengan pengetahuan akhir.

[Kitab Komentar : 520 Mp: Pengetahuan hancurnya muncul pertama kali (khayasmipathama ñāam): pertama-tama pengetahuan sang jalan muncul, disebut pengetahuan hancurnya karena merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan sang jalan, yang disebut hancurnya karena menghancurkan kekotoran. Segera diikuti dengan pengetahuan akhir (tato aññā anantarā): segera setelah pengetahuan jalan ke empat muncul, maka buah Kearahattaan muncul.]

Setelah itu, ketika belenggu-belenggu penjelmaan dihancurkan, bagi seorang yang terbebaskan melalui pengetahuan akhir, pengetahuan muncul:

Kebebasanku tak tergoyahkan.”

~0~

86 (6) Proses Latihan (1)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dilafalkan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini seluruhnya membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang terbentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini.

[Kitab Komentar :

Khuddānukhuddakāni sikkhāpadāni. Tidak lama sebelum wafat, Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu, jika mereka menghendaki, untuk menghapuskan aturan-aturan ini. Akan tetapi, dalam kisah konsili Buddhis pertama dalam Vinaya, para bhikkhu tidak memastikan aturan-aturan mana yang minor dan oleh karena itu memutuskan untuk mempertahankan semuanya.

Para guru yang memiliki kekhususan dalam Anguttara Nikāya, mengatakan, “Terlepas dari empat pārājika (pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran), semua lainnya adalah kecil dan minor” (ime pana aguttaramahānikāyavaañjanaka-ācariyā ‘cattāri pārājikāni hapetvā sesāni sabbānipi khuddānukhuddakāni’).

Versi terjemahan lain menyebutkan : “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan bahwa adalah tidak mungkin bagi seorang mulia untuk jatuh ke dalam pelanggaran demikian dan direhabilitasi” (bhikkhave na hi mayā ettha evarūpa āpatti āpajjane ca vuṭṭhāne ca ariyapuggalassa abhabbatā kathitā).]

“Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, [232] ia menjadi seorang pemasuk arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam tujuannya, dengan pencerahan sebagai tujuannya.

[Kitab Komentar : Aturan-aturan latihan itu yang fundamental bagi kehidupan spiritual : ini adalah empat aturan latihan utama yang fundamental bagi kehidupan spiritual sang jalan. Yang selaras dengan kehidupan spiritual: [aturan-aturan] yang sama ini adalah selaras dengan, sesuai untuk, kehidupan spiritual empat jalan. (ādibrahmacariyikānī ti maggabrahmacariyassa ādibhūtāni cattāri mahāsīlasikkhāpadāni; brahmacariyasāruppānī ti tāni yeva catumaggabrahmacariyassa sāruppāni anucchavikāni).]

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi, tetapi melatih kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir spontan, akan mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian; seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

~0~

87 (7) Proses Latihan (2)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dilafalkan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri [233] akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan itu membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai maksimum-tujuh-kali yang, setelah berkelana dan mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan mengakhiri penderitaan.

[Kitab Komentar : Ini adalah yang pertama, yang paling lambat, dari ketiga tingkat pemasuk-arus. Kedua lainnya disebutkan persis di bawah. Nama Pāli untuk ketiga ini, berturut-turut adalah: sattakkhattuparama, kolakola, dan ekabījī.]

“Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai dari-keluarga-ke-keluarga yang, setelah berkelana dan mengembara di antara keluarga-keluarga yang baik dua atau tiga kali, ia akan mengakhiri penderitaan. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai satu-benih yang, setelah terlahir kembali satu kali lagi dalam kehidupan manusia, ia akan mengakhiri penderitaan. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi, tetapi melatih kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia melambung ke atas, mengarah menuju alam Akaniṭṭha … seorang pencapai nibbāna melalui usaha … seorang pencapai nibbāna tanpa usaha … seorang pencapai nibbāna ketika mendarat … seorang pencapai nibbāna pada masa interval.

[Kitab Komentar : 526 Ini adalah lima tingkat yang-tidak-kembali, disajikan di sini dari tingkat yang paling lambat hingga yang paling tajam.]

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia [234] jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

~0~

88 (8) Proses Latihan (3)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dilafalkan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang pencapai nibbāna pada masa interval. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang pencapai nibbāna ketika mendarat … seorang pencapai nibbāna tanpa usaha … seorang pencapai nibbāna melalui usaha … seorang yang melambung ke atas, mengarah menuju alam Akaniṭṭha.

[Kitab Komentar : Yang dimaksud dengan “Jika ia tidak mencapai dan menembus ‘ini’”, ialah “Jika ia tidak mencapai dan menembus ‘Kearahattaan itu’” (ta arahattaapāpuanto appaivijjhanto).]

“Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia [235] ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang satu-benih yang, setelah terlahir kembali satu kali lagi dalam kehidupan manusia, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai dari-keluarga-ke-keluarga yang, setelah berkelana dan mengembara di antara keluarga-keluarga yang baik dua atau tiga kali, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai maksimum-tujuh-kali yang, setelah berkelana dan mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.