Bila Memang Ada yang Disebut “AKU”, Maka Bukanlah Karakter “AKU” untuk Menyakiti dan Mencelakai Diri-“NYA” Sendiri
Pada awal tahun 2024, pemerintah menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan. Ketika masyarakat berperilaku irasional yang cenderung menyakiti dan merusak dirinya sendiri akibat gempuran produk-produk tidak sehat maupun iklan dan budaya yang kurang sehat, maka negara harus hadir. Pada tahun 2023, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan survei terhadap kebiasaan konsumen Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, dimana pihak Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menerangkan bahwa survei dilatar-belakangi oleh fenomena konsumsi minuman dalam kemasan yang kian mengkhawatirkan.
Saat ini minuman dalam kemasan seolah
sudah menjadi gaya hdup masyarakat urban di Indonesia, tanpa pandang usia
ataupun gender. Pilihannya pun beragam dengan tampilan dan rasa yang menarik,
bahkan dijual di setiap minimarket maupun toko-toko pemukiman. Iklan pariwara
turut menyuburkan fenomena konsumsi minuman dalam kemasan. Melihat fenomena
yang kian mengkhawatirkan demikian, YLKI kemudian melakukan survei di 10 kota
di Indonesia, meliputi: Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya,
Surabaya, Balikpapan, Makassar dan Kupang.
Survei dilakukan dengan cara
wawancara, pemilihan responden secara acak berjenjang, dari mulai tingkat
kelurahan, RT/RW, kemudian memilih rumah tangga, dan memilih individu. Pihak yang
disurvei ialah mereka yang pernah mengonsumsi minuman manis dalam kemasan dalam
sebulan terakhir. Total responden yang terjaring adalah 800 responden, dan
masing masing RT dijaring 10 responden. Dari hasil survei, terdapat fakta-fakta
yang menarik. Telah ternyata, anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi
minuman berpemanis dalam kemasan. Terbukti 1 dari 4 (25,9 persen) anak usia
kurang dari 17 tahun mengkonsumsi minuman dalam kemasan setiap hari, bahkan 1
dari 3 (31,6 persen) anak mengkonsumsi minuman dalam kemasan 2-6 kali dalam
seminggu. Tendensi konsumsi demikian sudah dalam taraf memprihatinkan dan
berdampak pada kesehatan untuk konsumsi jangka panjang.
Hal kedua, mudahnya akses
pembelian minuman dalam kemasan menjadi salah satu faktor pemicu mengapa anak
dan remaja mengkonsumsi minuman dalam kemasan yang kian mudah diakses dan bisa
dibeli dalam jarak tempuh beberapa menit. Responden membeli minuman dalam
kemasan via warung (38 persen), minimarket (28 persen), supermarket (17
persen), dan akses lainnya (termasuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit,
lalu fasilitas umum lainnya seperti sekolah) sebesar 18 persen. Kita sudah
dikelilingi oleh produk-produk semacam itu, kemanapun dan dimanapun kita
berada, baik di ruang publik maupun di fasilitas massal seperti stasiun, dsb.
Ketiga, selain akses pembelian
yang sangat mudah, aspek motivasi menjadi penentu lainnya bagi anak dan remaja
dalam mengkonsumsi minuman dalam kemasan. Hasil survei memperlihatkan, rasa
penasaran menjadi faktor yang paling tinggi sebesar 32,4 persen, kemudian
disusul faktor citarasa yang unik yakni sebesar 27,1 persen, dan faktor ketiga
adalah aspek harga yang kian terjangkau yakni sebesar 14,4 persen. “Sedangkan aspek aspek lainnya meliputi,
influencer (6,4 persen), pengaruh anggota rumah tangga (5,8 persen), iklan di
media massa (3,8 persen), aspek teman (3,6 persen), media sosial (3,4 persen),
dan ada juga pengaruh tetangga, sebesar 3,3 persen,” ungkap Tulus dikutip
dari website resmi YLKI.
Hal keempat adalah fakta yang
paling unik sekaligus paling ironis, yakni atas maraknya anak dan remaja
mengkonsumsi minuman dalam kemasan demikian, ternyata mereka memahami
risikonya, karena 78 persen responden memahami konsumsi minuman dalam
kemasan akan membawa dampak terhadap peningkatan obesitas (masalah berat badan
berupa kegemukan). Tidak hanya sampai disitu, sebanyak 81 persen dinatara
mereka memahami bahwa mengkonsumsi minuman dalam kemasan mempunyai dampak
jangka panjang terhadap kesehatan secara keseluruhan.
Melihat risiko dan bahaya produk-produk
konsumsi instan demikian bagi kesehatan konsumen, YLKI merekomendasikan kepada
pemerintah untuk segera menindaklanjuti penerapan cukai terhadap minuman dalam
kemasan di tahun 2024, dan kini terealisasi. Hal ini dilakukan sebagai langkah
untuk mengontrol pola konsumsi dan mencegah prevalensi diabetes pada anak dan
remaja. Menurut Laporan Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang
implementasi cukai terhadap minuman dalam kemasan yang baru dirilis bulan ini,
setidaknya per Juli 2022, sudah ada 108 negara di dunia yang memberlakukan kebijakan
penengaan tarif cukai terhadap minuman dalam kemasan.
Tulus juga mengklaim bahwa
dukungan publik terhadap wacana pengenaan cukai minuman dalam kemasan cukup
signifikan mengerem laju prevalensi generasi muda mengakses produk-produk demikian.
Adapun dari sisi perilaku, 1 dari 5 konsumen yang disurvei mengatakan bahwa
dirinya akan mengurangi konsumsi minuman dalam kemasan, bahkan meninggalkan
konsumsi minuman dalam kemasan, bila faktor harga tidak lagi terjangkau bagi
mereka. Dengan kata lain, pengenaan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi
minuman dalam kemasan dinilai cukup efektif. Kebijakan pengenaan cukai pada minuman
dalam kemasan sudah tepat untuk melindungi para konsumen di Indonesia. Agar
berjalan efektif, penerapan cukai minuman dalam kemasan perlu tanpa diberlakukan
pengecualian, dan diberlakukan secara tegas serta konsisten untuk segala bentuk
/ wujud minuman dalam kemasan.
“Lalu bagaimana respon responden terhadap wacana pemerintah yang akan
mengenakan cukai minuman dalam kemasan? Ternyata jawabannya positif, terbukti
58 persen responden mendukung terhadap wacana pengenaan cukai pada minuman
dalam kemasan. Sekitar 18% responden menjawab mereka akan mengurangi konsumsi minuman
dalam kemasan jika terjadi kenaikan harga sebesar 25%,” Tulus menguraikan.
Masih menurut Tulus, pemerintah
seharusnya tidak ambigu untuk mengenakan cukai minuman dalam kemasan, sebagai
bentuk kebijakan untuk melindungi masyarakat dari tingginya prevalensi penyakit
tidak menular, khususnya “diabetes melitus”. Pemerintah pun seharusnya tidak
bergeming dengan upaya intervensi oleh pihak industri, tersebab pengenaan cukai
pada minuman dalam kemasan tidak akan menggerus produksi minuman dalam kemasan. Berdasarkan hasil studi di negara lain yang
sudah menerapkan cukai terhadap minuman dalam kemasan seperti Meksiko dan Peru,
cukai minuman dalam kemasan tidak menimbulkan peningkatan angka pengangguran ataupun
pemutusan tenaga kerja.
Dan tak hanya kepada
pemerintah, YLKI juga mendesak pada industri minuman dalam kemasan agar
melakukan pemasaran yang bertanggung-jawab dalam melakukan pemasaran,
distribusi, iklan, promosi dan sponsorship, khususnya pada kelompok rentan
yakni anak-anak dan remaja. “Tidak hanya
itu, Pemerintah harus membuat peraturan dan kebijakan yang mengatur pembatasan minuman
dalam kemasan kepada anak-anak dan remaja yang dapat membantu mengurangi dampak
pemasaran agresif, termasuk informasi label yang tidak menyesatkan,” imbuh
Tulus.
Secara terpisah, Lead
Researcher Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia
(CHEPS UI) Prof. Budi Hidayat menyampaikan bahwa cukai dari minuman berpemanis
dalam kemasan dan produk-produk tembakau
berpotensi untuk mendanai kebutuhan kesehatan di Indonesia. “(Cukai) minuman berpemanis dalam kemasan
dan rokok bisa menjadi sumber pendanaan potensial yang bisa digunakan untuk (sumber
dana pembiayaan perawatan) kesehatan,” ia menuturkan dalam diskusi
"Refleksi Dua Tahun Transformasi Kesehatan" di Jakarta, sebagaimana dilansir
oleh Antara. Selain penerapan cukai, Budi juga menyebutkan bahwa beban
penanganan diabetes pada jaminan kesehatan nasional (JKN) dapat dihemat hingga
14 persen.
Kita baru berbicara tentang
produk minuman dalam kemasan, belum membahas perilaku irasional kita terkait produk-produk
konsumsi lainnya. Bila seseorang bisa dan gemar menyakiti maupun mencelakai
dirinya sendiri, maka bagaimana perilaku mereka terhadap orang lain? Bila mereka
gagal dan tidak mampu mengendalikan pikiran dan perilakunya sendiri terhadap diri
mereka sendiri, maka apakah yang dapat kita harapkan dari mereka maupun perilaku
mereka terhadap orang lain?
Sebelum kita hendak menolong
orang lain, kita harus mampu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu. Sebelum
kita menjaga kesehatan orang lain, kita perlu menjaga kesehatan kita sendiri terlebih
dahulu. Sebelum kita menasehati orang lain, kita perlu menasehati diri kita
sendiri terlebih dahulu. Sebelum kita hendak mengendalikan orang lain, kita
perlu mengendalikan diri kita sendiri terlebih dahulu. Sebelum kita hendak
mendisiplinkan orang lain, kita perlu mendisiplinkan diri kita sendiri terlebih
dahulu. Jika kita tahu dan sadar bahwa gaya hidup tidak sehat hanya akan
menyakiti diri kita, mengapa masih kita lakukan dan lestarikan?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.