Banyak atau Sedikitnya Umat Pengikut, Sang Buddha tetap Hidup Bersahaja dan Tetaplah Keren
Betapa hebatnya Sang Buddha, melepas kehidupan duniawi yang makmur dan mewah dari seorang pangeran bernama Siddhatta Gotama, yang bisa saja menerima warisan berupa tahta dan singgasana kekuasaan, akan tetapi setelah melihat fenomena sosial berupa “menjadi tua, sakit, dan meninggal dunia”, lantas memberanikan diri memilih untuk mengenakan jubah dan hidup sebagai seorang petapa pengembara yang hanya memiliki harta berupa jubah dari kain bekas serta bowl untuk ber-pindapata, bahkan berjalan tanpa alas kaki dan tidur di alas yang sederhana, dimana Sang Buddha hanya makan satu kali dalam sehari—bahkan saat masih sebagai petapa muda, hampir tewas akibat praktik latihan tapa ekstrem sehingga wujud petapa Gotama nyaris menyerupai kerangka tulang-belulang (kurus-kering) dalam rangka menyiksa diri dengan harapan mencapai kebebasan dan pencerahan. Narapidana yang menghuni di penjara, bila sampai tersiksa seperti itu, mungkin akan lebih memilih untuk dihukum mati seketika daripada tersiksa hingga hampir berwujud tulang-belulang.
Yang terlebih membuat kita
kagum kepada Sang Buddha, ketika telah mencapai pencerahan sempurna di bawah naungan
Pohon Bodhi, lalu selama hampir separuh abad lamanya Sang Buddha mengajarkan Dhamma
sampai akhir riwayatnya, sekalipun para umat siswa-Nya berlatar belakang
beragam, mulai dari rakyat jelata, para raja, bangsawan, hartawan, hingga para
makhluk dewata, tetap saja Sang Buddha hanya makan satu kali sehari, hanya
mengenakan jubah dari kain bekas, tidur beralaskan alas sederhana, berjalan
tanpa alas kaki, hanya tidur empat jam dalam sehari, makan satu kali sehari,
dan hanya memiliki harta berupa jubah yang dikenakan di badan serta bowl untuk
berpindapata, tanpa terkecuali hidup secara selibat.
Ada atau tidak adanya umat,
Sang Buddha tetap hidup secara bersahaja demikian. Banyak atau sedikitnya umat,
Sang Buddha tetap dengan pola hidup yang serupa, tidak lebih dan tidak kurang. Banyak
atau sedikitnya kalangan raja maupun bangsawan yang menjadi umat, Sang Buddha
tetaplah Sang Buddha apa adanya. Menjadi kontras dengan sosok nabi dalam agama
samawi yang bahkan digambarkan memiliki belasan istri, menikmati barang-barang hasil
rampasan dari kaum yang berbeda keyakinan, bahkan menggauli seorang gadis-bocah
(pedof!lia), menyandang pedang yang menumpahkan darah, hingga tergila-gila pada
penghapusan dosa—sekalipun kita tahu, bahwa hanya seorang pendosa yang butuh
penghapusan dosa. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup lurus, suci, bersih,
mulia, luhur, serta tanpa cela-noda? Itu ibarat orang buta hendak menuntun orang-orang
buta lainnya, mengingat ia sendiri gagal untuk menasehati serta mengawasi
perilakunya sendiri.
Sang Buddha juga
bertolak-belakang dengan citra sosok-sosok Tuhan sebagaimana versi dalam agama-agama
samawi, dimana sosok-sosok Tuhan tersebut mudah untuk didikte, dikendalikan,
serta ditebak, seperti dibuat marah, dibuat cemburu, dibuat murka, dibuat
merasa tidak suka, dibuat merasa putus asa, dibuat merasa geram, dibuat
membenci, dibuat kehausan (darah), dibuat birahi (lewat puja-puji “oral” dimana
para umatnya menjilati bokong sang Tuhan), ataupun diayunkan emosinya menjelma
senang, suka, gembira, tergiur, klimaks, dengan disembah-sujud serta
dipuja-puji seperti layaknya personifikasi seorang “raja yang lalim”—raja mana
akan senang dan memberi hadiah ketika disembah dan dipuji, dan disaat bersamaan
akan murka dan memberi hukuman bilamana tidak disembah dan tidak diberikan
puja-puji setinggi langit.
Sang Buddha tidak butuh umat,
umat yang butuh Sang Buddha. Pada mulanya, saat telah mencapai pencerahan
sempurna, Sang Buddha enggan mengajarkan Dhamma kepada umat awam, karena Beliau
melihat banyaknya umat manusia yang pandangannya gelap, tertutupi oleh
kekotoran batin yang tebal. Namun makhluk Brahma dari alam Brahma kemudian
turun ke dunia manusia, memohon kepada Sang Buddha agar bersedia memutar roda
Dhamma, barulah Sang Buddha “turun gunung” untuk membabarkan Dhamma selama 45
tahun sisa umur hidup-Nya. Berkebalikan dari citra atau image sosok Tuhan agama-agama
samawi, yang seolah tidak akan eksis dan musnah bilamana tidak ada umat manusia
yang menggadaikan jiwanya demi beriman kepada sang Tuhan hingga setebal tembok
beton yang bahkan tidak tembus oleh cahaya apapun, sebagaimana tampak dalam
kutipan dari sumber otentik berikut:
- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya.
“Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak
diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah
maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan
Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2,
Buku 26, Nomor 680]
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’,
menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan
kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Kini, mari kita sandingkan
dengan latar-belakang kehidupan Sang Buddha, dengan langsung merujuk khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
39 (9) Kelembutan
“Para bhikkhu, Aku dipelihara
dengan lembut, dipelihara dengan sangat lembut, dipelihara dengan luar biasa
lembut. Di kediaman ayahKu kolam-kolam teratai dibangun hanya demi
kesenanganKu: di salah satu kolamnya teratai biru bermekaran, di kolam lainnya
teratai merah, dan di kolam ke tiga teratai putih. Aku tidak menggunakan
cendana jika bukan yang berasal dari Kāsi dan penutup kepala, jubah luar, jubah
bawah, dan jubah atas yang Kupakai terbuat dari kain yang berasal dari Kāsi.
Siang dan malam sebuah kanopi putih selalu memayungiKu agar dingin dan panas,
debu, rumput, dan embun tidak mengenaiKu.
[Kitab Komentar : Kāsi adalah
salah satu dari enam belas negara besar di India, dengan ibu kota Bārāṇasī.]
“Aku memiliki tiga istana: satu
untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Aku
melewatkan empat bulan musim hujan di istana musim hujan, dengan dihibur oleh
para musisi, tidak ada di antaranya yang laki-laki, dan Aku tidak meninggalkan
istana. Sementara budak-budak, pekerja-pekerja, dan pelayan-pelayan di
rumah-rumah orang lain diberikan nasi basi dengan bubur asam sebagai makanan
mereka, namun di kediaman ayahKu mereka diberi beras gunung pilihan, daging
pilihan, dan nasi.
[Kitab Komentar : Ini adalah ketiga
musim di India utara: musim dingin berlangsung sekitar November hingga Maret,
musim panas dari Maret hingga Juli, dan musim hujan dari Juli hingga November.
Istana musim dingin bertingkat sembilan, yang rendah untuk mempertahankan
panas; istana musim panas bertingkat lima, yang tinggi agar udara menjadi
sejuk; dan istana musim hujan bertingkat tujuh, yang tidak tinggi juga tidak
rendah untuk memberikan temperatur sedang.
[Kitab Komentar juga
menyebutkan bahwa bukan hanya para musisi, melainkan semua posisi dalam istana
ditempati oleh para perempuan (itthiyo).
Demikianlah selama empat bulan kaum laki-laki tidak menemuinya.]
(1) “Di tengah-tengah kehidupan
yang megah dan lembut demikian, Aku berpikir: ‘Seorang kaum duniawi yang tidak
terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penuaan, tidak terbebas dari
penuaan, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang tua,
dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada
penuaan dan tidak terbebas dari penuaan. Karena itu, jika Aku merasa muak,
malu, [146] dan jijik ketika melihat orang lain yang tua, maka itu tidaklah
selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanKu akan
kemudaan sepenuhnya ditinggalkan.
(2) “[Kemudian, Aku berpikir:]
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada
penyakit, tidak terbebas dari penyakit, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia
melihat orang lain yang sakit, dengan mengabaikan keadaannya sendiri.
Sekarang, Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak terbebas dari penyakit.
Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain
yang sakit, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan
demikian, maka kemabukanKu akan kesehatan sepenuhnya ditinggalkan.
(3) “[Kemudian, Aku berpikir:]
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada
kematian, tidak terbebas dari kematian, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia
melihat orang lain yang mati, dengan mengabaikan keadaannya sendiri.
Sekarang, Aku juga tunduk pada kematian dan tidak terbebas dari kematian.
Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain
yang mati, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan
demikian, maka kemabukanKu akan kehidupan sepenuhnya ditinggalkan.
“Ada, para bhikkhu, tiga jenis
kemabukan ini. Apakah tiga ini? Kemabukan pada kemudaan, kemabukan pada
kesehatan, dan kemabukan pada kehidupan.
(1) Seorang kaum duniawi yang
tidak terpelajar, karena mabuk pada kemudaan, melakukan perbuatan buruk
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka.
(2) Seorang kaum duniawi yang
tidak terpelajar, karena mabuk pada kesehatan, melakukan perbuatan buruk
melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka.
(3) Seorang kaum duniawi yang
tidak terpelajar, karena mabuk pada kehidupan, melakukan perbuatan buruk
melalui jasmani, [147] ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di
alam rendah, di neraka.
“Karena mabuk pada kemudaan,
seorang bhikkhu meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah; atau
karena mabuk pada kesehatan, ia meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan
rendah; atau karena mabuk pada kehidupan, ia meninggalkan latihan dan kembali
pada kehidupan rendah.
“Kaum duniawi tunduk pada
penyakit, penuaan, dan kematian, menjadi jijik [karena orang lain] yang muncul
sesuai dengan sifat alaminya.
“Jika Aku menjadi jijik pada
makhluk-makhluk dengan sifat demikian, itu tidaklah selayaknya bagiKu karena
Aku juga memiliki sifat alami yang sama.
“Ketika Aku sedang berdiam
demikian, setelah mengetahui keadaan tanpa perolehan, Aku mengatasi segala
kemabukan – kemabukan pada kesehatan, pada kemudaan, dan pada kehidupan –
setelah melihat keamanan dalam pelepasan keduniawian.
“Kemudian kemauan muncul padaKu
ketika Aku dengan jelas melihat nibbāna. Sekarang Aku tidak mampu lagi
menuruti kenikmatan-kenikmatan indria. Dengan bersandar pada kehidupan
spiritual, Aku tidak akan pernah berbalik.”
[Kitab Komentar mengatakan
bahwa syair ini merujuk pada kegigihan Sang Buddha sendiri sewaktu Beliau
sedang duduk di bawah pohon bodhi.]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.