STANDAR GANDA Umat Kristiani
Orang Kristen “Besar Mulut” dan “Banyak Bicara”,
namun NIHIL Tanggung-Jawab ketika Mereka telah Merugikan, Melukai, ataupun
Menyakiti Orang Lain
Umat Kristen yang Berhutang Tanpa Bayar (Dosa), namun
Kreditor Disuruh Menagih ke Yesus yang Kini Melarikan Diri—Tidak Jelas Ada
Dimana Batang Hidungnya karena Disuruh Menebus Hutang-Hutang para Kristen
Ketika seorang pria melamar seorang gadis, ekspresi cinta dan rasa suka disimbolikkan lewat sekuntum ataupun seikat bunga. Mengungkapkan apresiasi dan kebanggaan, diberikanlah medali atau piala. Cincin perkawinan saling diberikan antar mempelai / pasangan sebagai tanda ikatan pernikahan. Menghormati jasa-jasa para pahlawan, kita memberi hormat kepada bendera negara. Untuk memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada sang Guru Agung yang menjadi guru para manusia dan para dewa, Buddha Gotama, kita membangun Buddha rupang. Untuk mengekspresikan rasa kasih sayang, kita memberikan dan diberikan coklat yang manis dan indah. Untuk membantu kesembuhan fisik mereka yang kita kasihi, kita memberikan obat tablet ataupun herbal, bukan sekadar ucapan “cepat sembuh”. Seorang majikan, sebagai rasa apresiasinya, tidak sekadar “lip service” berupa ucapan “terimakasih” kepada pegawai maupun pekerja yang telah bekerja padanya—apa susahnya sekadar “lip service”?—namun memberikan mereka upah maupun kompensasi berupa uang secara patut dan layak.
Apa jadinya, ketika seorang
pria, yang ketika hendak melamar seorang gadis, namun atas dasar rasa “malas”,
merasa cukup dengan berkata, “I love you”,
tanpa mau repot-repot mencari dan mencari uang untuk membeli sekuntum bunga
bagi sang gadis pujaan? Segala sesuatunya, terkadang, butuh dan penting untuk
diekspresikan. Rasa suka dan kesediaan untuk berkomitmen saja, tidaklah cukup.
Perlu keberanian diri untuk mengungkapkannya secara verbal, juga butuh
pengorbanan—yakni mau repot-repot untuk membeli bunga, menabung untuk biaya
pernikahan, bekerja “banting-tulang” mencari nafkah bagi keluarga, dan lain
sebagianya.
Budaya Tionghua dalam
berekspresi, sebenarnya cukup menarik, akan tetapi sayangnya banyak etnis
Tionghua yang di-“cuci otak” oleh dogma-dogma “ala pemalas” oleh agama
kristiani. Sebagai contoh, penulis pernah mengenal umat Kristiani yang beretnik
Tionghua, menyatakan : “Ah, buat apa
persembahkan buah-buahan ke altar almarhum leluhur keluarga kita? REPOT!”
JIka Anda tidak mau merepotkan diri dan direpotkan, maka untuk apa juga leluhur
kita mau merepotkan diri dan direpotkan bagi kepentingan kita selaku generasi
penerusnya? Hanya ingin sekadar “lip
service” ala ibadah ritual kaum kristiani? Itu menjadi gaya atau model
tipikal para pemalas, namanya—alias “Agama PEMALAS”, agama bagi para pemalas
dimana para pemalas menjadi umat pemeluknya.
Selama ini para umat kristiani,
hanya bermodalkan “lip service”,
merasa tidak mau direpotkan, itu pun hanya satu kali dalam seminggu—selama
paling lama dua jam—ke gereja, menghibur diri lewat koor paduan suara,
membodohi diri dan menipu diri lewat iming-iming “penebusan dosa”, lalu pulang
dan “business as always”. Bagi mereka
yang punya watak hanya berminat untuk “lip
service”, agama kristiani sangatlah cocok bagi mereka. Ingin hidup nikmat
penuh kelimpahan rezeki dan nasib baik? Cukup “lip service” berupa puja-puji Tuhan. ingin hidup lari dari
tanggung-jawab meski telah pernah dan sering atau masih sedang menyakiti,
melukai, maupun merugikan pihak lain (berbuat dosa)? Cukup “lip service” untuk “cuci dosa”.
Selebihnya, “business as usual”
berupa memproduksi dosa, menimbun diri dengan segunung dosa, mengoleksi
segudang dosa, bersimbah dosa, dan berkubang dalam dosa-dosa.
Mereka, para umat kristiani, terlampau pemalas untuk
menanam benih-benih perbuatan baik (Karma Baik), dan disaat bersamaan terlampau
pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk (dosa atau
Karma Buruk) yang selama ini mereka tanam sendiri. Di dunia ini, dengan
pertimbangan sosio-empirik sebagaimana telah dibahas di atas, tiada yang lebih
curang dan lebih pemalas daripada umat pemeluk agama kristiani. Cukup
bermodalkan “lip service” dua jam,
sekali dalam seminggu di gereja, para umat kristiani berdelusi dapat masuk
surga, hidup makmur berkelimpahan, serta tidak perlu membayar hutang-hutang
dosanya maupun hutang-hutang kredit—biarkan Yesus saja yang menebus (membayar)
hutang-hutang dosa itu maupun hutang-hutang “kredit macet” sang kristen, pikir
orang-orang kristiani tersebut.
Pertanyaannya, sekalipun
seorang debitor “kredit macet” bunuh diri akibat malu maupun tertekan akibat tagihan
oleh “debt collector” yang ganas dan
galak, bisakah hutang-hutangnya ditebus dengan cara bunuh diri? Yesus tidak
mati disalib, namun menyerahkan diri untuk mati di atas salib, artinya “Yesus
mati karena BUNUH DIRI”. Yesus lahir dari rahim seorang wanita-manusia,
artinya Yesus juga membawa “dosa warisan” dari Adam—maka atas dasar delusi
apakah, Yesus hendak mati bunuh diri untuk menebus dosa-dosa umat manusia,
mengingat ia sendiri adalah seorang manusia yang memikul “dosa warisan”? Lantas
pula, “harta-harta warisan” dari Adam, dikorup oleh siapa? Yesus telah mati
bunuh diri dua ribu lampau, namun mengapa kini manusia masih membawa dan
tersandera oleh “dosa warisan”? Itu saja sudah bukti kekonyolan dogma-dogma
Kristiani, ibarat meminta maaf dahulu, baru kemudian berbuat buruk, jahat,
dan dosa.
Umat-umat kristiani paling
memandang rendah dan jijik budaya Tionghua, sekalipun nenek-moyang dan etnisnya
ialah Tionghua, seperti meremehkan dan merendahkan praktik persembahan
buah-buahan dan air di altar almarhum, begitu pula ketika sanak-keluarga
meninggal maka para Tionghua membakar “uang kertas”—sebenarnya semua orang pun
tahu dan sadar, “uang kertas” tersebut tidak akan benar-benar menjadi uang
nyata di alam baka bagi almarhum, namun paling tidak almarhum akan melihat
ekspresi bakti dan rasa duka sanak-keluargannya yang merasa sedih kehilangan akibat
ditinggalkan oleh sosok sang almarhum, juga merindukannya. Artinya, membakar
“uang kertas” dan “uang kertas” itu sendiri merupakan simbol untuk
mengekspresikan rasa duka dan rindu dari sanak-keluarga yang ditinggalkan oleh
kepergian almarhum.
Ajaran dogma Kristen-Protestan
bahkan lebih ekstrem, menyatakan bendera negara adalah “berhala” sehingga tidak
boleh diberi hormat. Tidak perlu minum obat ataupun memberikan obat, namun
cukup berdoa. Umat kristiani juga sekaligus sebagai umat yang “berstandar
ganda”. Bagaimana tidak, mereka menyatakan anti terhadap secara budaya Tionghua
demikian, namun disaat bersamaan menghamba dan diperbudak oleh apa yang namanya
“uang” (money). “Uang”, merupakan
simbol itu sendiri, yakni kapasitor berisi jirih-payah seseorang, dimana
pembeli bersedia merepotkan diri untuk mencari uang, karenanya pihak penjual
bersedia melepaskan barangnya untuk dibeli oleh pihak pembeli yang bersedia
membayar sejumlah uang pembelian. Namun, sang penjual tidak akan bersedia
menjual dan melepaskan barang jualannya, bilamana sang kristen tidak ingin
direpotkan membayar dengan “uang”, akan tetapi hanya ingin sekadar—seperti
biasa—“lip service” dengan sebatas mengucapkan
“terimakasih”.
“Standar ganda” kedua dari umat kristiani
ialah, ketika mereka bekerja dan/atau menjual barang, mereka menuntut diberikan
penghargaan ataupun apresiasi dan kompensasi sebentuk “ekspresi” berupa “uang”,
bukan sekadar ucapan “terimakasih”. Aneh bin ajaib, terhadap Tuhan, umat kristiani
merasa cukup memberikan kompensasi berupa “lip
service”, lantas mereka mengharap dapat hidup nikmat penuh nasib baik dan
disaat bersamaan dosa-dosanya terhapuskan, juga masuk surga setelah ajal mereka
tiba. Mereka, para umat kristiani, menolak dan keberatan sekadar diberi “lip service”, namun disaat bersamaan
mereka sekadar cukup “lip service”
kepada almarhum leluhurnya maupun kepada Tuhan—ini konyol sekali, dan hanya
orang-orang konyol yang memeluk “agama konyol” semacam demikian, pemalas
sekaligus konyol.
Untuk apa juga Tuhan mau
direpotkan oleh para manusia-manusia pemalas yang tidak mau merepotkan diri dan
direpotkan ini? Bila kita saja tidak mau, merepotkan dan direpotkan oleh
manusia-manusia konyol yang hanya maunya sekadar “lip service” demikian, (maka) bagaimana dengan Tuhan terhadap para
kaum konyol tersebut? Sebagai perbandingan, tepat kiranya kita merujuk langsung
apa yang menjadi khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikutt:
48 (8) Gunung
“Para bhikkhu, berdasarkan pada
pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga
cara. Apakah tiga ini? Pepohonan itu menumbuhkan dahan-dahan, dedaunan, dan
kerimbunan; (2) pepohonan itu menumbuhkan kulit pohon dan tunas-tunas; dan (3)
pepohonan itu menumbuhkan kayu lunak dan inti kayu. Berdasarkan pada pegunungan
Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara ini.
“Demikian pula, ketika
kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang
bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? (1) Mereka
menumbuhkan keyakinan; (2) mereka menumbuhkan perilaku bermoral; dan (3) mereka
menumbuhkan kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka
orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara ini.”
Seperti halnya pepohonan yang
tumbuh dengan bergantung pada pegunungan berbatu dalam hutan belantara yang
luas akan menjadi “raja hutan kayu,” demikian pula, ketika kepala keluarga di
sini memiliki keyakinan dan moralitas, istri, anak-anak, dan sanak-saudaranya semuanya
tumbuh dengan bergantung padanya; demikian pula teman-teman, lingkaran
keluarganya, dan mereka yang bergantung padanya. [153]
Mereka yang memiliki kearifan, melihat
perilaku baik orang bermoral itu, kedermawanan dan perbuatan-perbuatan baiknya,
akan meniru teladannya. Setelah hidup di sini sesuai
Dhamma, jalan yang menuju alam tujuan yang baik, mereka yang menginginkan
kenikmatan indria akan bergembira, bersenang-senang di alam deva.
~0~
49 (9) Semangat
“Para bhikkhu, dalam tiga kasus
semangat harus dikerahkan. Apakah tiga ini? (1) Semangat harus dikerahkan untuk
tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum
muncul. (2) Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang
bermanfaat yang belum muncul. (3) Semangat harus dikerahkan untuk menahankan
perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan,
tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dalam ketiga kasus ini
semangat harus dikerahkan.
“Ketika seorang bhikkhu
mengerahkan semangat untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak
bermanfaat yang belum muncul, untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat
yang belum muncul, dan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang
menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan,
melemahkan vitalitas seseorang, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tekun,
awas, dan penuh perhatian untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”
~0~
50 (10) Pencuri Ulung
“Para bhikkhu, dengan memiliki
tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah,
merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan
raya. Apakah tiga ini? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan
yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang
pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan
bergelombang. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada
permukaan yang tidak rata.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung
bergantung pada hutan rotan, [154] belantara pepohonan, semak belukar, atau
hutan lebat. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.
(3) “Dan bagaimanakah
seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang
pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia
berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para
menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya
melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan
perkara itu. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada
orang-orang berkuasa.
“Adalah dengan memiliki
ketiga faktor ini, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah,
merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.
“Demikian pula, para bhikkhu,
dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya
dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan
banyak keburukan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung
pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang
bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan
pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan
yang tidak rata.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada belantara? Di sini, seorang bhikkhu jahat
menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim. Dengan cara inilah
seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.
(3) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu
jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika
siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri
kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa
pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.
Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa.
[155]
“Adalah dengan memiliki
ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi
celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan
banyak keburukan.”
~0~
I. Brahmana
51 (1) Dua Brahmana (1)
Dua brahmana yang sepuh, tua,
terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia
seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa
dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di
satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Kami adalah para brahmana,
Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami
belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat
naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan
memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan
kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”
“Memang benar, para brahmana,
kalian sudah sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai
pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan
apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri
kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terhanyutkan oleh usia tua,
penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terhanyutkan oleh usia
tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan,
pulau, perlindungan, dan penyokong.”
Kehidupan terhanyutkan, umur
kehidupan adalah singkat, tidak ada naungan bagi seorang yang telah berusia
tua. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini, seseorang harus
melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini], pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia
lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya. [156]
~0~
52 (2) Dua Brahmana (2)
Dua brahmana yang sepuh, tua,
terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir,
berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:
“Kami adalah para brahmana,
Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami
belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat
naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan
memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan
kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”
“Memang benar, para brahmana,
kalian sudah sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai
pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan
apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri
kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan
kematian. Tetapi walaupun dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan
kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri atas jasmani,
ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, pulau, perlindungan,
dan penyokong.”
Ketika rumah seseorang terbakar perlengkapan yang dibawa
keluar adalah yang berguna bagi kalian, bukan yang terbakar di dalam.
Oleh karena itu karena dunia ini terbakar oleh usia tua
dan kematian, seseorang harus mengeluarkan dengan cara memberi: apa yang
diberikan akan dibawa keluar dengan selamat.
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini], pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia
lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya.
~0~
54 (4) Seorang Pengembara
Seorang brahmana tertentu
mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:
“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu
Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara
langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung,
segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk
dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”
(1) “Brahmana, seseorang
yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh
nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan
keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika
nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan
orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin
dan kesedihan.
[158] Seseorang yang tergerak
oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu,
melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan
oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana
adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri,
kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu
terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.
(2) “Seseorang yang penuh
kebencian, dikendalikan oleh kebencian … (3) “Seseorang yang terdelusi,
dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki
penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan
ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan,
ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau
penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.
Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai
oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.
Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh
delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya
kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika
delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri,
kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.
Dengan cara ini juga, bahwa
Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang
dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para
bijaksana.”
“Bagus sekali, Guru Gotama!
Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak
cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang
tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan
pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat
bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan
kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat
awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”