Yang Ekstrem bagi Kita Belum Tentu Ekstem di Mata Orang Lain
Question: Ada orang-orang yang mengatakan bahwa Buddhisme sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, bahkan oleh sebagian umat Buddhist sendiri, adalah terlampau idealis sehingga tidak dapat dijalankan oleh umat manusia maupun para siswa-siswi-Nya. Benarkah demikian ataukah itu hanya alasan untuk pembenaran diri atas perbuatan-perbuatan buruknya yang gagal mengendalikan diri akibat tidak membiasakan diri berlatih agar terlatih pengendalian diri dalam keseharian?
Brief Answer: Sang Buddha tidak mengajarkan lewat wacana
maupun retorika, namun lewat teladan nyata hidup Beliau sendiri, alias
mengajarkan apa yang telah Sang Buddha jalani sendiri. Ada sebagian besar umat
manusia lainnya yang pandai berceramah, namun tidak menjalani isi ceramahnya
sendiri. Mengalir seperti air, itu mudah, karena alamiahnya atau “nature” dari air memang mengalir ke arah
bawah, bukan ke arah atas yang membutuhkan perjuangan serta usaha. Terkadang, masyarakat
atau bahkan sebagian besar umat Buddhist sendiri belum pernah membaca langsung
ajaran berupa khotbah Sang Buddha dalam Tipitaka—selama ini mereka belajar dan
mencoba memahami ajaran Sang Buddha lewat penyampaian lisan para pemuka agama
ataupun buku-buku yang ditulis para tokoh Buddhist, yang tidak jarang menggunakan
cara penyajian materi ajaran secara kurang tepat dan kurang proporsional atau
bahkan menyimpang penuh distorsi.
Banyak juga diantara umat awam yang berpikir
bahwa hidup selibat dalam disiplin latihan monastik sangatlah mustahil, namun
ternyata hingga era modern ini masih dapat kita jumpai para bhikkhu dalam tradisi
hutan—tradisi mana melestarikan aliran Theravada yang sama persis dengan zaman kehidupan
Sang Buddha ribuan tahun lampau, dalam artian menyepi dan berlatih di bawah lebatnya
hutan dan alam liar, menyatu dengan alam, hidup benar-benar dalam kesederhanaan
kondisi hutan. Salah satu keutamaan Sang Buddha ialah mencapai pencerahan serta
kesempurnaan berkat usaha sendiri, bukan atas pemberian makhluk
adikodrati.
Bagi umat awam, terdapat panduan hidup dari Sang
Buddha dalam dhamma terutama sutta pitaka. Bagi mereka yang memilih untuk
menjalani latihan disiplin monastik, terdapat vinaya pitaka. Pancasila
Buddhist berisi serangkaian tekad menempuh latihan diri, bukan larangan ataupun
perintah dogmatis yang penuh ancaman bila tidak diindahkan. Bagi mereka yang
tidak mau membiasakan diri untuk berlatih sehingga terlatih, Buddhisme adalah
jauh dari jangkauan mereka, ibarat jauh panggang dari api, tidak terjangkau
oleh jangkauan kemampuan mereka dan tidak terjamah. Seorang anak, ketika masih
baru belajar, berbuat keliru adalah hal yang wajar, namun seorang dewasa yang berbuat
kesalahan adalah kurang manusiawi kecuali hanya tubuh yang membesar dan rambut
yang memutih namun kosong dan kopong isi kepala dan hatinya (kurang bijaksana
seolah kurang pengalaman hidupnya selama puluhan tahun tumbuh besar).
Ini ibarat kita sebagai orang biasa yang jarang
berlath marathon, jarak tempuh satu kilometer adalah mustahil bagi kita dan
memandangnya sebagai kompetisi yang ekstrem, namun tidak bagi para atlet yang
memang telah terbiasa belatih marathon, adalah niscaya adanya. Namun yang
jarang disadari oleh kita ialah, pada mulanya pun sang atlet marathon tidak
mampu berlari dalam jarak sekian kilometer jauhnya, namun seiring berjalannya
waktu dan tingginya jam terbang latihan, secara bertahap kemampuan daya tahan (endurance) fisiknya pun meningkat. Dalam
Buddhisme, latihan mental dan jiwa akan ditempa tahap demi tahap, yang
dibutuhkan ialah keseriusan, komitmen, kesabaran, kegigihan, serta keberanian
untuk menempuh jalan yang tidak mudah mengingat “truth always bitter”.
Meski demikian, satu hal yang paling menarik dari
Buddhisme ialah, diakuinya bahwa hidup ini adalah tidak memuaskan dan dirudung
oleh potensi derita (dukkha) serta diperlihatkan
jalan menuju akhir dari dukkha
tersebut, asal-muasal penyebab dukkha,
disamping mengingat ada akhir dari dukkha
ini. Karenanya, Buddhisme adalah ajaran yang sangat realistik sekaligus
optimis, oleh sebab kita mampu menolong diri kita sendiri dengan turut menempuh
jalan yang telah ditemukan, dijalani, serta ditunjukkan oleh Sang Buddha.
Karenanya pula, berkat pemahaman demikian, kita
tidak lagi meresa perlu merampas kebahagiaan hidup orang lain karena semua
orang merasakan serta mengalami “dukkha”,
sehingga kita tidak perlu bersikap seolah-olah hanya kita seorang diri yang
mengalaminya dalam hidup ini, ataupun merasa “ada yang salah dengan hidup saya”,
justru adalah wajar saja bila kita mengalami usia tua, sakit, dan meninggal
ataupun berkumpul dengan orang yang tidak disukai maupun berpisah dengan yang
kita kasihi.
PEMBAHASAN:
Seseorang yang mengaku-ngaku sebagai
umat Buddhist atau bahkan pemuka agama Buddha yang menyatakan ajaran Sang
Buddha adalah terlampau idealis sehingga mustahil untuk diikuti, secara “de facto” bukanlah siswa-siswi Sang
Buddha, namun umat Devadatta yang kerap membantah ajaran gurunya sendiri,
sebagaimana telah dinyatakan secara tegas dalam khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
19 (9)
“Para bhikkhu, tinggalkanlah
apa yang tidak bermanfaat! Adalah mungkin untuk meninggalkan apa yang
tidak bermanfaat. Jika tidak mungkin untuk meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat, maka Aku tidak akan mengatakan: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah apa
yang tidak bermanfaat!’ Tetapi karena adalah mungkin untuk meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat, maka Aku mengatakan: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah apa
yang tidak bermanfaat!’ Jika dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
dapat mengarah pada bahaya dan penderitaan, maka aku tidak akan menyuruh kalian
untuk meninggalkannya. Tetapi karena dengan meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat dapat mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka Aku
mengatakan: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat!’
“Para bhikkhu, kembangkanlah
apa yang bermanfaat! Adalah mungkin untuk mengembangkan apa yang
bermanfaat. Jika tidak mungkin untuk mengembangkan apa yang bermanfaat, maka
Aku tidak akan mengatakan: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah apa yang bermanfaat!’
Tetapi karena adalah mungkin untuk mengembangkan apa yang bermanfaat, maka Aku
mengatakan: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah apa yang bermanfaat!’ Jika dengan
mengembangkan apa yang bermanfaat ini dapat mengarah pada bahaya dan
penderitaan, maka Aku tidak akan menyuruh kalian untuk mengembangkannya. Tetapi
karena dengan mengembangkan apa yang bermanfaat dapat mengarah pada
kesejahteraan dan kebahagiaan, maka Aku mengatakan: ‘Para bhikkhu,
kembangkanlah apa yang bermanfaat!’”
20 (10) 237
“Para bhikkhu, ada dua hal yang
mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah dua ini? Kata-kata
dan frasa-frasa yang ditata dengan buruk dan makna yang diinterpretasikan
dengan buruk. Ketika kata-kata dan frasa-frasa ditata dengan buruk, maka
makna diinterpretasikan dengan buruk. Kedua hal ini mengarah pada
kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.
“Para bhikkhu, ada dua hal yang
mengarah pada ketidak-munduran dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah dua
ini? Kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan baik dan makna yang
diinterpretasikan dengan baik. Ketika kata-kata dan frasa-frasa ditata dengan
baik, maka makna diinterpretasikan dengan baik. Kedua hal ini mengarah pada
ketidak-munduran dan ketidaklenyapan Dhamma sejati.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.