Manakah yang Anda Peluk, Yakini, dan Jalankan : Agama Versi Realita Vs. Agama Versi Fantasi?
4 Jenis Tingkat Karakteristik Kedunguan Manusia
Question: Sebenarnya yang dimaksud dengan “misi misionaris”, apa dan seperti apakah?
Brief Answer: Banyak anggota masyarakat kita yang secara
salah-kaprah telah mengira bahwasannya yang disebut sebagai “misi misionaris”
ialah apa yang dikatakan oleh sang nabi ataupun pemuka agama mereka. Bila antara
teladan berupa cara hidup dan ucapan, telah ternyata tidak sejalan atau bahkan
saling bertolak-belakang, maka itulah yang disebut sebagai “munafik” alias “hipokrit”.
Secara lebih konkret, yang disebut sebagai “misi
misionaris” bukanlah “lip service”
ataupun gimmick ala “lip service”, menjual jargon “kecap No.
1”, maupun marketing “serba bagus dan baik” sebagai kemasan luar polesannya
oleh para pemuka agama, bukan juga apa yang dicitrakan lewat drama sinetron
religi yang ditayangkan via stasiun televisi komersiel, namun oleh cara hidup
para umatnya selama ini di keseharian ketika bersinggungan ataupun berdampingan
hidup dengan sesama umat mereka maupun terhadap umat yang berbeda keyakinan di
lapangan secara kenyataannya.
PEMBAHASAN:
Perhatikanlah fenomena sosial
yang selalu penulis jumpai yang juga dapat para pembaca temukan dalam
keseharian ketika menyimak pecakapan dua orang umat agama kristiani / katolik,
dengan kutipan perbincangan sebagai berikut yang mereka lontarkan dengan penuh
rasa bangga tanpa rasa malu sedikitpun (serta tanpa mau tahu bahwa ada eksis
orang lain di sekitar mereka yang turut menyimak dari beragam latar-belakang
agama) : “Umat Buddhist baik-baik sih
orangnya, tapi karena tidak meyakini Yesus maka mereka masuk neraka.” Jadi,
itukah yang dimaksud dengan “Agama SUCI”? JIka seperti itu, yang disebut
sebagai “Agama SUCI”, agama yang mengajarkan dogma-dogma yang menihilkan peran
penting kebaikan dan sikap baik, namun mengkampanyekan dan mempromosikan gaya
hidup ala “pendosa penjilat penuh dosa”, karenanya yang disebut dengan “Agama
DOSA” seperti apakah?
Ketika sang nabi, tidak lebih
bersih daripada umat yang hendak dibimbing olenya, bahkan dijadikan sebagai
junjungan yang dikultuskan sebagai “standar moral” tertinggi bagi para umatnya,
maka itu ibarat “orang buta hendak menuntut orang-orang buta lainnya”, mau
dibawa ke mana para pengikutnya? Adalah wajar bilamana orang buta menganggap “neraka”
sebagai “surga”, dan sebaliknya “surga” sebagai “neraka”, sebagaimana diakui
sendiri oleh sang nabi bersumber dari rujukan otentik berikut ini:
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari Muslim).
- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.’
- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).
- “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta
mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang
tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak
melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih
al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri
dan juga berzina’.”
Selama ini umat muslim
mengklaim agama islam yang mereka peluk sebagai agama paling superior, paling
suci, paling bersih, paling cinta damai, paling mulia, paling unggul, paling
luhur, dan paling benar. Pertanyaan utama yang patut kita ajukan ialah, jika ajaran-ajaran
dogmatis berikut di bawah ini disebut sebagai “cinta damai” dan lurus atau
suci, maka yang disebut sebagai ajaran yang “cinta pertumpahan darah”, yang “haus
darah”, dan yang sesat serta jahat, yang seperti apakah? Berikut inilah, akar
penyebab mengapa masyarakat “agamais” di Indonesia demikian gemar “menyelesaikan
setiap masalah dengan kekerasan fisik”, akibat dibiasakan serta terbiasa:
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila
mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH
dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]
- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka,
serta melegakan hati orang-orang yang beriman.
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka
Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi
kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas dizolimi dengan
pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar.
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak
aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.
[Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang,
alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang
sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi
orang-orang untuk dibunuh?]
Pembabaran berikut di bawah ini
dapat membuka mata banyak anggota masyarakat dari delusi maupun distrosi yang
banyak dilakukan oleh para marketer “Kitab DOSA” yang melabel kemasan bungkus luar
agama mereka sebagai “Kitab SUCI”, terutama potensi bahaya dibalik iming-iming “too good to be true” ideologi “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” yang notabene “hanya seorang
pendosa yang butuh penghapusan / pengampunan dosa (atau apapun itu istilahnya)”.
- “Agama SUCI”, dimana
para umat pemeluknya ialah para orang suci yang disebut sebagai “suciwan”. Para
manusia yang berlatih dalam jalan sepi dan keras bernama kesucian, berlatih
diri penuh kewaspadaan dalam mengawasi serta mengendalikan dirinya sendiri (self-control training) dalam
kehidupannya sehari-hari. Karenanya, orang suci manakah yang butuh penghapusan
dosa ataupun iming-iming ideologi korup lainnya yang tidak bertanggung jawab?
Bagaimana mungkin, Tuhan lebih PRO terhadap pendosa-ketimbang memberi keadilan
bagi kalangan korban dari para pendosa tersebut? Sementara itu tiada orang baik
yang merasa terancam oleh eksistensi orang-orang suci, dimana kesucian menjadi
“kitab suci”-nya.
- “Agama KSATRIA”,
dimana para umat pemeluknya ialah mereka yang berjiwa ksatria, sehingga layak
menyandang gelar terhormat sebagai seorang “ksatria”. Disebut sebagai ksatria,
dicirikan oleh sikap ksatria yang mana akan tampil dengan kesadaran penuh untuk
bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya sekalipun telah pernah ataupun
serta masih dapat berbuat keliru yang mengakibatkan orang lain menderita luka,
sakit, maupun kerugian, dimana juga sang ksatria tidak perlu dituntut untuk
bertanggung-jawab, bahkan kalangan korban yang tidak jarang mengetahui telah
menjadi korban akan diberi pertanggung-jawaban secara proaktif oleh sang
ksatria, dimana sikap penuh tanggung-jawab sebagai “kitab suci”-nya.
Bertanggung-jawab itu berat serta menakutkan, bukan untuk kalangan
pengecut-pemalas sebagaimana khas corak wajah para pendosa.
- “Agama DOSA”, dimana
para umat pemeluknya ialah mereka yang bersimbah dan tertimbun dosa, sehingga
dijuluki sebagai “pendosa”. disebut sebagai “Agama DOSA”—sekalipun kover
bukunya diberi judul “Kitab SUCI”—semata karena alih-alih mempromosikan gaya
hidup bersih dari dosa justru mengkampanyekan pengampunan / penghapusan /
penebusan dosa bagi para umat pemeluk dan penyembahnya, semudah dan segampang serta
semalas praktik ritual sembah-sujud, yang mana notabene semua orang juga
sanggup dan mampu menjadi “pendosa penjilat penuh dosa” demikian. Bagi para
pengecut bernama para pendosa tersebut, bertanggung-jawab tampak begitu
menakutkan dan menciutkan hati disamping “merugi”, sementara itu lari dari
tanggung-jawab (hit and run) alias
sikap-sikap tidak bertanggung-jawab ialah “untung” dan “menguntungkan”. Dari
situlah, mentalitas korup dibentuk serta dipelihara, bertumbuh menjelma
“manusia sebagai serigala bagi sesamanya”, degradasi moralitas umat manusia,
dimana “hapus dosa” menjadi “kitab suci”-nya.
Penulis mengenal seseorang,
yang “dungu” (penuh kekotoran batin), yang bersangkutan cenderung memiliki
selera yang “buruk”. Sekalipun dalam dunia realita nyata, yang bersangkutan maupun
keluarganya banyak disakiti oleh umat suatu agama tertentu maupun oleh pelaku
yang setiap harinya rajin beribadah, masih juga ia memungkiri kenyataan dan
berdelusi dengan meyakini “mentah-mentah” segala distorsi fakta yang diciptakan
oleh “hyper-reality” (hiper-realitas)
bernama sinetron bernuansa religi yang selalu dikemas indah, baik, suci, luhur,
agung, jujur, dan lain sebagainya. Bahkan sekalipun telah pernah penulis
utarakan fakta-fakta terkait ajaran otentik agama bersangkutan, sang “dungu”
masih juga menyatakan agama tersebut adalah bagus dan suci adanya semata-mata merujuk
pada alur cerita sinetron drama religi yang dikonsumsi olehnya sehari-hari—bagai
telah dicuci otak, dimana orang-orang “dungu” menjadi korbannya. Di “dungu” seperti
kata Sang Buddha, bagaikan “orang buta”, karenanya tidak mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, mana yang suci dan mana yang sesat, serta mana
yang nyata dan mana yang “agama versi fantasi”.
Setelah mengulas paparan gamblang yang lugas sebagaimana di atas, namun
masih juga ada diantara para pembaca yang bersikukuh memegang erat delusi serta
termakan “agama versi fantasi”, atau bahkan masih pula memakan iming-iming “too good to be true” penuh kecurangan
bernama “abolition of sins” (kabar
gembira bagi pendosa selalu merupakan kabar buruk bagi korban-korban para
pendosa tersebut, seolah-olah Tuhan lebih pro terhadap pendosa ketimbang
memberi keadilan bagi kalangan korban), maka sebagai penutup tepat kiranya
penulis kutipkan khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, perihal
empat jenis tipikal individu, dengan kutipan sebagai berikut:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
kuda yang baik yang berdarah murni terdapat di dunia. Apakah empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
satu jenis kuda yang baik yang berdarah murni tergerak dan memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, dengan
berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah
yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis kuda yang baik
yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis pertama dari kuda yang baik
yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
(2) “Kemudian, satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, melainkan ia
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika bulunya ditepuk dengan tongkat
kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku
padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah
satu jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke
dua dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
(3) “Kemudian, satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak
ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan
memperoleh rasa keterdesakan ketika kulitnya ditepuk dengan tongkat kendali,
dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini?
Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke tiga dari kuda
yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
(4) “Kemudian, satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak
ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, juga tidak ketika kulitnya
ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa
keterdesakan ketika tulangnya ditepuk dengan tongkat kendali, dengan
berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah
yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis kuda yang baik
yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke empat dari kuda yang baik
yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
“Ini adalah ke empat jenis kuda
yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.
“Demikian pula, para bhikkhu,
ada empat jenis orang yang baik yang berdarah murni terdapat di dunia. Apakah
empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
satu jenis orang yang baik yang berdarah murni mendengar: ‘Di desa atau
pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal
dunia.’ Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan.
Karena tergerak, ia berusaha dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasikan
kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan
kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang
berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan
tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah
murni. Ini adalah jenis pertama dari orang yang baik yang berdarah murni yang
terdapat di dunia.
(2) “Kemudian, satu jenis orang
yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu
seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’
Melainkan, ia melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh
sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa
keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha dengan seksama. Dengan teguh, ia
merealisasikan kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya
dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang
berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah bulunya ditepuk oleh
tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah
murni. Ini adalah jenis ke dua dari orang yang baik yang berdarah murni yang
terdapat di dunia.
(3) “Kemudian, satu jenis orang
yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu
seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia,’ juga
ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan
meninggal dunia. Melainkan, sanak saudara atau anggota keluarganya jatuh
sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan.
Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia
merealisasikan kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya
dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang
berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah kulitnya ditepuk oleh
tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah
murni. Ini adalah jenis ke tiga dari orang yang baik yang berdarah murni yang
terdapat di dunia.
(4) “Kemudian, satu jenis orang
yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu
seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia,’ juga
ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan
meninggal dunia, juga sanak saudara atau anggota keluarganya tidak jatuh sakit
dan meninggal dunia. Melainkan ia sendiri yang didera oleh perasaan jasmani
yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan,
melemahkan vitalitasnya. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa
keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan
teguh, ia merealisasikan kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah
menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang
yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang
berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah
tulangnya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang
baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke empat dari orang yang baik yang
berdarah murni yang terdapat di dunia.
“Ini adalah keempat jenis orang
yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.”
Namun mereka yang “dungu”,
tidak akan tergerakkan juga tidak akan merasakan adanya keterdesakan sekalipun
tulangnya ditepuk oleh tongkat kendali, bahkan sekalipun ia telah berada di
ujung maut. Seperti yang juga disebutkan oleh Sang Buddha, hanya ada
sedikit manusia di dunia dunia ini yang matanya “tidak buta”, selebihnya
ditutupi oleh kekotoran batin mulai dari kekotoran yang tipis hingga yang tebal—setebal
tembok beton yang bahkan tidak tembus oleh cahaya ilahi semacam apapun. Ini bukan
soal “mempertebal”, justru sebaliknya, mengikis kekotoran batin yang selama ini
bersarang serta mengeruhkan pandangan serta pikiran kita. Si “dungu” tidak
mampu memahami, apakah yang disebut sebagai pikiran yang jernih terlebih diajak
untuk berpikir secara jernih.