PENGORBANAN DENGAN KEKEJAMAN Vs. PENGORBANAN DIRI SENDIRI BEBAS DARI KEKEJAMAN
Question: Mengapa bisa sampai terjadi, pejabat korupsi mengorupsi hak-hak rakyat jelata, ibarat merampok nasi dari piring milik orang-orang yang bahkan lebih miskin daripada sang pejabat-pejabat korup tersebut?
Brief Answer: Tampaknya akibat terbiasa dan dibiasakan “menyembelih”
serta “menumpahkan darah”, sehingga menjelma “haus darah”, kini umat manusia
terutama di Indonesia, mulai merambah dengan turut mengurbankan sesama umat
manusia, sesama anak bangsa, sesama makhluk hidup lainnya. Bukan hanya pejabat
negara yang kerap mengorbankan rakyat jelata, sesama rakyat jelata pun
senyatanya selama ini saling memakan dan saling mengorbankan satu sama lainnya,
semata demi ego pribadi dengan alasan mencari nafkah namun merampas hak hidup manusia-manusia
lainnya.
PEMBAHASAN:
Ditambah dengan “bumbu penyedap”
berupa ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, tidak lagi terbendung, jadilah pihak korban dari para pendosa tersebut
merajalela, dengan korban-korban yang terus berjatuhan, dimana para pendosa
berkeliaran di jalan-jalan mencari mangsa untuk ditumbalkan. Itulah ketika,
sesama manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)—ketika para pendosa menimbun diri dengan dosa-dosa,
berbondong-bondong dan berlomba-lomba memproduksi dosa, berkubang dalam dosa,
dan berlinang dosa, dengan menumbangkan dan merampas / memakan hak-hak maupun
hidup manusia lainnya, masih pula mengharap masuk surga setelah kematian tiba.
Sebagaimana namanya, “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka butuh “korban” maupun “korban-korban”
untuk “dikorbankan” (dosa). Karenanya pula, untuk dapat menjadi pemeluk,
pengikut, pecandu, maupun penikmat ideologi “too good to be true” (kabar gembira bagi pendosa, dan disaat
bersamaan menjadi kabar buruk bagi para korbannya), dibutuhkan “korban” maupun “korban-korban”—semisal
merugikan, menyakiti, maupun melukai individu-individu lainnya, yang notabene
sesama umat manusia, tanpa rasa malu ataupun rasa takut atas konsekuensinya.
Korupsi, artinya menjadikan
rakyat sebagai korban yang bukan hanya dikorbankan secara kejam, namun juga
secara terselubung—berbeda dengan penyembelihan ataupun penganiayaan yang
sifatnya tidak terselubung namun eksplisit karena ada darah yang berceceran dan
bertumpahan. Begitupula praktik kehidupan sehari-hari masyarakat jelata kita,
semisal menjual makanan yang berbahaya bagi kesehatan konsumennya baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang, hal demikian pun termasuk mengorbankan masyarakat
luas secara kejam, namun lagi-lagi terselubung sifatnya—dimana bukan hanya uang
konsumennya yang dikorbankan, namun juga kesehatan dan keselamatan konsumennya.
Sesukar itukah, melangsungkan hidup dan berprofesi dalam rangka mencari
nafkah tanpa mengorbankan alias tanpa merugikan ataupun mencelakai warga masyarakat
lainnya? Dalam kesempatan ini penulis hendak mengajak kita semua untuk tidak
meniru terlebih “mengikuti arus” kebodohan batin yang kerap dipertontonkan
secar vulgar oleh masyarakat “agamais namun tidak takut dosa” kita di
Indonesia, akan tetapi merujuk pada sikap hidup “sehat” sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dimana
Sang Buddha telah pernah menyinggung perihal praktik “pengorbanan
manusia”, dengan kutipan sebagai berikut:
Brahmaa Ujjaya mendatangi Sang
Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri
ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Apakah Guru Gotama memuji
pengorbanan?”
“Aku tidak memuji segala
pengorbanan, Brahmana, Aku juga tidak menolak pujian pada segala pengorbanan.
(1) Aku tidak memuji pengorbanan kejam di mana ternak, kambing-kambing,
domba-domba, ayam-ayam, dan babi-babi dibunuh, di mana berbagai makhluk
digiring untuk disembelih. (2) Karena alasan apakah? Karena para Arahant
dan mereka yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan tidak
melakukan pengorbanan kejam.
(3) “Tetapi Aku memuji pengorbanan
tanpa kekejaman di mana ternak-ternak, kambing-kambing, domba-domba,
ayam-ayam, dan babi-babi tidak dibunuh, di mana berbagai makhluk tidak
disembelih, yaitu, pemberian biasa, pengorbanan yang dipersembahkan melalui
kebiasaan keluarga. (4) Karena alasan apakah? Karena para Arahant dan mereka
yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan melakukan pengorbanan
tanpa kekejaman.”
Pengorbanan kuda, pengorbanan
manusia, sammāpāsa, vājapeyya, [43] niraggaḷa: pengorbanan besar ini, penuh dengan kekejaman, tidak berbuah
besar.
Para bijaksana agung berperilaku benar tidak melakukan
pengorbanan di mana kambing-kambing, domba-domba, ternak, dan berbagai makhluk
dibunuh.
Tetapi ketika mereka secara
rutin mempersembahkan melalui kebiasaan keluarga pengorbanan yang bebas dari
kekejaman, tidak ada kambing, domba, dan ternak atau berbagai makhluk
yang dibunuh. Itu adalah pengorbanan yang dilakukan para bijaksana agung
berperilaku benar. Orang bijaksana harus mempersembahkan ini; pengorbanan
ini sangat berbuah. Bagi seseorang yang melakukan pengorbanan demikian
sesungguhnya adalah lebih baik, tidak pernah lebih buruk. Pengorbanan demikian
sungguh luas dan para dewata juga bergembira.