AGAMA IMING-IMING, Agama yang Mengumbar dan Berjualan Delusi bagi para Pendosa Penuh Khayalan Korup Bernama Penghapusan Dosa bagi Para Pendosa Penuh Dosa
AGAMA SOK TAHU, Khusus bagi para Spekulan yang Merasa
Dirinya Paling Tahu Isi Pikiran Tuhan
Question: Negeri ini, Indonesia, tidak pernah kekurangan para “agamais”. Namun mengapa masih banyak juga bencana alam terjadi sepanjang tahun serta setiap tahunnya, silih-berganti seolah tidak kenal henti-hentinya menimpa dengan korban jiwa?
Brief Answer: Bencana alam adalah hal yang alamiah saja sesuai
“nature” dari siklus alam, sekalipun
tanpa keterlibatan tangan “Tuhan”, mengingat dunia ini telah berjalan secara “otopilot”
oleh berbagai hukum, seperti hukum fisika, hukum gravitasi, hukum kimia, tidak
terkecuali Hukum Karma. Tiada yang lebih memfitnah, dibanding terminologi dalam
Bahasa Inggris untuk merujuk peristiwa bencana alam, yakni “the act of God”—sekalipun faktanya, ada
terlibat atau tidaknya Tuhan, tetap saja bencana alam akan terjadi sebagai
bagian dari fenomena alam secara alamiahnya.
PEMBAHASAN:
“Agama samawi” bermakna, bahwa
segala sesuatu diciptakan, diberikan, serta diatur oleh Tuhan, dimana tiada
segala sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa seizin, rencana, kehendak,
maupun kuasa Tuhan. Artinya, menurut ideologi agama samawi, segala macam
kejadian yang terjadi, entah bencana kemanusiaan maupun bencana alam, adalah
atas dasar kehendak maupun kuasa dan seizin Tuhan—tidak terkecuali berapa butir
bebek-bebek yang dipelihara oleh tetangga seelah rumah akan ditelurkan pada
hari ini, berapa helai daun akan berguguran dari tidak terhitung banyaknya
pepohonan di dunia ini, seolah-olah Tuhan “kurang kerjaan” dan dilarang untuk
tertidur, alias tersandera untuk selamanya oleh keberadaan ciptaannya sendiri.
Ketika Tuhan tertidur, maka
artinya bencana bagi semesta maupun bagi umat manusia—yakni Bumi bisa berhenti
berputar pada porosnya—itulah ideologi paling mendasar dari agama samawi, yang
membedakannya dari paham semacam agnotisme dimana Tuhan boleh tidur setelah
menciptakan alam semesta beserta dengan berbagai hukum-hukumnya yang mengatur
serta menjalankan semesta, sehingga tercipta ekosistem-sosial bernama “merit system” alias budaya egaliter, dimana
masing-masing individu bertanggung-jawab atas hidup dan kehidupannya sendiri,
menanam benih-benih kebaikan maka akan memetik kebahagiaan, dan menanam benih-benih
kejahatan maka akan menuai buah Karma buruk.
Betul bahwa ketika umat manusia
belum mengenal agama samawi, entah itu pada era zaman batu purbakala, era
zaman-zaman prasejarah, maupun era-era sebelum itu, planet bernama Bumi ini
bergejolak akibat lempeng tektonik yang saling bertumbukan membentuk gempa
bumi, gunung meletus, maupun tsunami yang dahsyat. Namun, di era masa kini,
ketika mayoritas penduduk dunia memeluk “agama samawi”, masih juga umat-umat
manusia pemeluknya itu diderita oleh berbagai penyakit akibat kuman penyakit,
penyakit tubuh degeneratif, penyakit akibat jatuh sakit, penyakit akibat ke-celaka-an
ataupun di-celaka-kan, penyakit akibat kelainan bawaan lahir, penyakit akibat
disfungsi kognitif, kelainan akibat masalah genetik, keluhan psikologis, hingga
bencana alam tidak terkecuali bencana kemanusiaan antar manusia yang saling
bergesekan satu sama lainnya.
Alhasil, wajah kehidupan umat
manusia tidak berbeda sama sekali dengan wajah kehidupan masyarakat manusia
purba, nenek-moyang kita, para era zaman purbakala ribuan maupun puluhan ribu
tahun yang lampau, derita, keluhan, serta tantangan hidup yang sama saja
sebetulnya. Alhasil, yang tersisa dari “agama-agama samawi” ialah semata
dogma-dogma penuh iming-iming maupun janji-janji surgawi yang “too good to be true” berupa ideologi
korup bernama “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana
juga “janji tinggal janji”.
Meski mengklaim bahwa agama yang
mereka peluk dan sembah ialah agama yang bersumber dari dogma-dogma berwujud
wahyu Tuhan, namun ironisnya mereka (para pendosa penuh dosa tersebut) tidak mengetahui
atau menyadari bahwa untuk memuliakan Tuhan bukanlah dengan cara mengucapkan
puja-puji ataupun sembah-sujud terlebih bernyanyi paduan suara ala “lip services”, namun dengan cara menjadi
manusia yang mulia. Sama seperti ketika kita hendak memberi hormat kepada
orangtua yang telah melahirkan kita, maka komitmennya ditunjukkan dengan mau menyingsingkan
lengan baju untuk bersusah-payah membuat banyak prestasi, tidak berbuat
kejahatan yang dapat merusak nama baik keluarga, serta mengharumkan nama
keluarga lewat perbuatan-perbuatan bajik sepanjang hidup. Sekelas presiden
saja, tidak butuh “kabinet penjilat”, akan tetapi “kabinet kerja”.
Satu hal paling mencolok yang
menjadi distingsi atau pembeda dari masyarakat tempo dulu pada zaman pra
lahirnya agama samawi dengan masyarakat era masa kekinian yang mayoritasnya
memeluk agama samawi ialah, bila para masyarakat non-samawi setelah berbuat
kejahatan, tiada satupun diantara para penjahat tersebut yang yakin akan masuk
alam surgawi setelah malaikat pencabut nyawa menghampirinya. Tetap saja, mereka
disebut sebagai para manusia di zaman “jahiliah”, sekalipun tiada satupun
penjahat pada masa tersebut yang tergila-gila dan dibutakan serta mabuk oleh iming-iming
ideologi korup semacam “penghapusan dosa” atau ataupun itu istilahnya.
Berbeda dengan masyarakat tempo
dulu, umat beragama samawi kita terhitung sejak era masa kelahiran agama samawi,
dari pada mulanya takut atas konsekuensi dibalik perbuatan buruknya, menjelma
berbondong-bondong serta berlomba-lomba berbuat dosa (kejahatan dengan
menyakiti, melukai, maupun merugikan umat manusia lainnya) namun masih juga mengharap,
merasa terjamin, serta meyakini seyakin-yakinnya bahwa para pendosa / penjahat
tersebut akan masuk alam surgawi setelah menimbun diri dengan begitu banyak
dosa-dosa maupun kejahatan-kejahatan selama hidupnya (too big to fall)—artinya, telah terjadi sebentuk degradasi “standar
moralitas” umat manusia sejak agama samawi diperkenalkan ke dunia ini.
Bahkan dapat dikatakan, sejak
lahirnya “agama samawi” dengan maskotnya berupa iming-iming “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, telah terjadi degradasi besar-besaran
terhadap tingkat moralitas umat manusia, sementara itu bencana alam maupun
bencana kemanusiaan tidak dapat kita katakan sebagai telah berkurang secara drastis
ataupun sedikit sejak agama samawi diperkenalkan dipeluk oleh banyak umat
manusia, atau bisa jadi bencana alam dan bencana kemanusiaan justru meningkat
bila dibandingkan dengan era sebelum “agama samawi” dikenal oleh umat manusia. Yang
jelas, “agama samawi” gagal total memberantas maksiat yang paling primitif
sekalipun, dimana bahwa demikian kompromistik terhapa dosa akan tetapi disaat
bersamaan demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda.
Untuk itu, menjadi penting bagi
kita untuk mengurai “benang kusut” ini, serta menelaahnya satu per satu, sebelum
kemudian memecah distrosi dan menangkap basah delusi yang menjadi akar
penyebabnya. Terdapat tiga kategorisasi agama, dimana jenis pertama dan kedua
golongan agama berikut di bawah ini membawa berkah bagi umat manusia, sementara
itu kontras dengan sebelumnya, jenis ketiga dari golongan agama berikut menjadi
malapetaka serta ancaman nyata bagi umat manusia, dengan rincian sebagai
berikut: [yang mana dan berdiri dimanakah Anda?]
1.) Agama SUCI.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana
tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh
ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka jebakan Tuhan berupa “umpan dosa”
tidak pernah disentuh sehingga para suciwan tidak jatuh terperangkap ke
dalamnya, yang pada gilirannya para suciwan tidak bersedia menggadaikan jiwanya
untuk menjadi “budak sembah-sujud” Tuhan, karenanya Tuhan tidak menyukai
kalangan suciwan tersebut dan melemparkan mereka ke alam neraka.
Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan,
semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik
kontrol diri dan pengendalian diri, dimana mawas diri dan perhatian terhadap
perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian utamanya, sehingga
tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh
sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya dengan usaha diri
mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna,
dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana
memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya
yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiit, melukai, dan merugikan
pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya.
Ideologi bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab
kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar di mata Tuhan,
yang selama ini telah banyak menarik dan menjaring peminat / umat pemeluk /
penyembah (para pendosa plus pengecut) lewat iming-iming “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sementara itu kalangan ksatria
justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an
alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Karenanya, seorang
ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias
jentelmen, meski Tuhan tidak menyukai mereka sehingga juga dicampakkan ke dalam
“neraka jahanam”;
3.) Agama DOSA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa,
yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi pecandu
yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—masuk ke dalam lingkaran komunitas
“pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk
selamanya, “point of no return”.
Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika
dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka
sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman,
maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh
dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh
kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak
dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi.
Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di
Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang
tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity”
dan “overload” yang konon sepanjang
tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita
dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta
aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor
yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum.
Pada pendosa, alias pemeluk “Agama
DOSA”, kerap menghakimi umat agama-agama lainnya, sementara itu mereka tidak
sadar betapa kotor diri, pikiran, maupun perbuatan-perbuatannya sendiri,
sebagaimana dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
“Para bhikkhu, seorang yang
memiliki empat kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang jahat. Apakah
empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
seorang yang jahat mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain bahkan ketika
tidak ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika ditanya. Tetapi
ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, dengan diarahkan oleh
pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain tanpa sela
atau pengurangan, melainkan secara lengkap dan terperinci. Maka dapat
dimengerti: ‘Orang ini adalah orang jahat.’
(2) “Kemudian, seorang yang
jahat tidak mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang lain bahkan ketika ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apalagi ketika tidak ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, walaupun diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kebaikan orang lain dengan sela dan pengurangan,
tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang jahat.’
(3) “Kemudian, seorang yang
jahat tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri bahkan ketika ditanya
tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika tidak ditanya. Tetapi ketika
ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, walaupun diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahannya dengan sela dan pengurangan,
tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang jahat.’
(4) “Kemudian, seorang yang
jahat mengungkapkan kebaikan-kebaikannya sendiri bahkan ketika tidak ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apa lagi ketika ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kebaikan-kebaikannya tanpa sela atau pengurangan,
melainkan secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang jahat.’
“Seorang yang memiliki keempat
kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang yang jahat.
“Para bhikkhu, seorang yang
memiliki empat kualitas [lainnya] ini dapat dimengerti sebagai seorang baik.
Apakah empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
seorang yang baik tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain bahkan
ketika ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika tidak ditanya.
Tetapi ketika ia ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, walaupun
diarahkan oleh pertanyaan itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahan orang
lain dengan sela dan pengurangan, tidak secara lengkap atau secara terperinci.
Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang baik.’
(2) “Kemudian, seorang yang
baik mengungkapkan kebaikan-kebaikan orang lain bahkan ketika tidak ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apalagi ketika ditanya. Tetapi ketika ia ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan itu, ia
akan membicarakan kebaikan orang lain tanpa sela atau pengurangan, melainkan
secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini adalah orang
baik.’
(3) “Kemudian, seorang yang
baik mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri bahkan ketika tidak ditanya
tentang kesalahan-kesalahan itu, apa lagi ketika ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kesalahan-kesalahan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kesalahan-kesalahannya tanpa sela atau pengurangan,
melainkan secara lengkap dan terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang baik.’
(4) “Kemudian, seorang yang
baik tidak mengungkapkan kebaikan-kebaikannya sendiri bahkan ketika ditanya
tentang kebaikan-kebaikan itu, apa lagi ketika tidak ditanya. Tetapi ketika ia
ditanya tentang kebaikan-kebaikan itu, maka, dengan diarahkan oleh pertanyaan
itu, ia akan membicarakan kebaikan-kebaikannya dengan sela dan pengurangan,
tidak secara lengkap atau secara terperinci. Maka dapat dimengerti: ‘Orang ini
adalah orang baik.’
“Seorang yang memiliki keempat
kualitas ini dapat dimengerti sebagai seorang yang baik.
“Para bhikkhu, Ketika seorang
pengantin pertama kali dibawa pulang ke rumah, apakah pada malam hari atau
siang hari, pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu dan rasa takut
yang mendalam terhadap ibu mertuanya, ayah mertuanya, suaminya, dan bahkan
budak-budaknya, para pekerja, dan para pelayannya. Tetapi setelah beberapa
lama, sebagai akibat dari hidup bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata
kepada ibu mertuanya, ayah mertuanya, dan suaminya: ‘Pergilah! Engkau tahu
apa?’
“Demikian pula, ketika seorang
bhikkhu di sini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga
menuju kehidupan tanpa rumah, apakah pada malam hari atau siang hari,
pertama-tama ia akan menegakkan rasa malu dan rasa takut yang mendalam terhadap
para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, umat awam perempuan, dan
bahkan terhadap para pekerja dan para sāmaṇera di vihara. Tetapi setelah beberapa lama, sebagai akibat dari hidup
bersama dan keakraban dengan mereka, ia berkata bahkan kepada gurunya dan
penahbisnya: ‘Pergilah! Engkau tahu apa?’
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berdiam dengan pikiran
seperti pengantin yang baru datang itu.’ Dengan cara demikianlah kalian
harus berlatih.”