Mengapa Polisi Lebih Jahat daripada Preman? Preman Tidak Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum, namun Polisi Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan serta Diberi Gaji dari Pajak yang Dibayar Masyarakat maupun Memonopoli Penegakan / Akses Pidana
Polisinya Saja Jahat, bagaimana Penjahatnya?
Question: Polisi ada di sumpah jabatan untuk melindungi dan
mengayomi masyarakat, mengenmban amanat sebagai aparatur penegak hukum. Namun,
mengapa justru polisi itu sendiri yang kerap melanggar hukum? Lihat saja
berbagai “sarang” para polisi berkantor dan bermarkas, semisal Kantor Polisi,
tempat pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) ataupun STNK (Surat Tanda Nomor
Kendaraan), banyak terjadi pungutan liar, penyalahgunaan kekuasaan, maupun
ajang pamer kekuasaan dan arogansi kalangan kepolisian. Bila di “sarang” polisi
saja banyak kejahatan, terjadi secara masif dan terang-terangan, apa yang dapat
kita harapkan dari keberadaan polisi di negeri ini?
Sekarang ini bahkan ada tragedi
kemanusiaan, dimana Kepala Divisi Propam POLRI yang menjadi penegak etik, panutan,
serta menjadi suri teladan tertinggi kalangan profesi polisi, justru
memerintahkan anak buahnya yang juga anggota polisi, bahkan para petinggi
kepolisian, untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap warganegara lainnya.
Anehnya, yang tidak masuk diakal ialah, mengapa polisi yang punya kewajiban dan
tanggung jawab untuk menegakkan hukum, bahkan memonopolinya, justru “main hakim
sendiri” dan melanggar hukum? Bagaimana masyarakat mau diharapkan untuk patuh
terhadap hukum, bila polisinya sendiri saja melanggar hukum?
Keganjilan berikutnya yang tidak dapat diterima oleh nurani masyarakat luas ialah, bagaimana mungkin para polisi maupun perwira polisi yang menjadi bawahan sang atasan, menurut saja dan patuh ketika diperintahkan untuk membunuh alias merampas nyawa dan hidup warga lainnya, entah itu korbannya ialah warga sipil ataupun sesama anggota kepolisian? Jangan-jangan disuruh untuk lompat ke jurang dan ke neraka pun, mereka menurut dan patuh saja secara membuta. Kultur patuh dan menghamba pada iblis yang memberikan perintah jahat, bahkan melanggar tugas dan kewenangannya, menyalahgunakan kekuasaannya, “yes man” ABS—asal Bapak senang, sebenarnya apa akar penyebabnya?
Brief Answer: Karena ajaran keyakinan keagamaan itu sendiri,
yang mempromosikan dan mengkampanyekan ideologi “kekerasan fisik bahkan hingga
pembunuhan untuk menyelesaikan setiap masalah”, sehingga budaya sosial
masyarakat kita menjelma pola “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan
fisik”, jika perlu dibungkam dengan cara dibunuh. Bahkan, agama tersebut itu
sendiri diterjemahkan atau memiliki makna sebagai “Kepatuhan MUTLAK”, dimana
otak dan nurani bahkan digadaikan demi iman (menjadi “penjilat”) setebal tembok
beton yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat, yang bahkan tidak tembus
oleh cahaya ilahi (nurani) manapun.
PEMBAHASAN:
Adalah mustahil, bilamana
seseorang umat manusia akan memanusiakan kemanusiaan dirinya untuk menjadi
“humanis” seutuhnya, bila yang diajarkan dan diinternaliasi sebagai dogma ialah
ajaran atau bahkan perintah untuk menjadi “premanis”, “hewanis”, “barbariknis”,
dan “predatoris” dengan kutipan tauladan sebagai berikut :
“Saya diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”
[Hadist Tirmidzi No. 2533]
Tidak menuruti perintah,
artinya tidak patuh. Ketidakpatuhan, artinya pembangkangan. Pembangkangan, artinya
dicampakkan kedalam derita nestapa. Semestinya atau idealnya, yang menjadi
tolak-ukur ialah apakah perintah atau anjuran tersebut adalah baik atau buruk,
membawa kebaikan / faedah atau justru sebaliknya membawa mudarat dan kejahatan,
bila dijalankan dan dipatuhi. Tuhan memberikan otak untuk kita berpikir serta
nurani untuk membuat pertimbangan dan penilaian, bukan untuk “digadaikan”,
namun untuk dihargai sebagai anugerah terbesar dari Tuhan, yang semestinya
dijadikan sarana untuk memuliakan diri. Hanya dengan menjadi manusia yang
mulia—bukan menjdadi “pendosa penjilat penuh dosa”—umat manusia dapat
memuliakan Tuhan.
Karena itulah, atau berangkat
dari paradigma “toxic” (beracun) itulah, fenomena bernama kultur ABS—Asal Bapak
Senang—bermula dari tumbuh suburnya mentalitas ATS—Asal Tuhan Senang—yang
menjadikan mereka sebagai “hamba” dalam suatu relasi patronase “bawahan dan
majikan / atasan / Tuhan”. Mereka, karenanya, terbiasa untuk bersikap seolah-olah
tidak mempunyai pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri. Bila kita
diperintahkan untuk melompat ke jurang, maka “insting” kita untuk “survive” akan berteriak, dan timbul
keberanian untuk menolak perintah tidak logis demikian. Namun, mengapa prinsip
serupa tidak diberlakukan ketika mereka diberi perintah untuk berbuat sejahat
dan sekeji merampas hak hidup warga lainnya? Jawabannya ialah karena mereka
telah “buta” dan “dibutakan” hati nuraninya—lebih tepatnya telah terbiasa
membutakan mata hati nuraninya sendiri.
Ketika seseorang / kalangan
umat manusia tidak lagi malu dan tidak juga takut berbuat jahat (dosa) seperti
merugikan, menyakiti, ataupun melukai individu warga lainnya, maka sepanjang
itu pula tragedi kemanusiaan akan terus terjadi dan berulang, sejarah tragedi
kemanusiaan yang sama akan terus berulang dan kembali terulang, bahkan dengan pola
yang serupa. Ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, merupakan iming-iming yang membuat umat manusia justru
berbondong-bondong dan berlomba-lomba memproduksi dosa, mengoleksi dosa,
berkubang dalam dosa, dan menimbun diri dengan dosa.
Jadilah, berbuat dosa bukan
lagi hal yang “tabu” untuk “ditabukan”. Sekalipun kita ketahui, bahwa hanya seorang
pendosa yang butuh pengampunan dosa. Perihal apa yang masuk ke mulut, masyarakat
kita begitu “pemilih” antara yang “halal” dan yang “haram / najis”, serta
begitu rajinnya beribadah tanpa absen satu kali pun. Namun perihal ucapan dan
perilaku, mohon maaf, masyarakat kita begitu kompromistik terhadap dosa dan
maksiat, dan disaat bersamaan masih pula mengharap dan bahkan yakin terjamin
masuk surga setelah ajal tiba sekalipun mereka notabene adalah “pendosa
penjilat penuh dosa”, yang mana semboyan mereka yang paling utama ialah : “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!” Perhatikan
dogma berisi iming-iming “too good to be
true” berikut:
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka
saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
Kabar gembira bagi pendosa,
selalu merupakan kabar buruk bagi korban. Jika terhadap sesama umat seagama
saja, tega merampas nyawa dan “haus darah”, maka bagaimana sikap para “agamais”
tersebut terhadap kaum yang berbeda keyakinan keagamaan? Terhadap dosa maupun
maksiat, demikian kompromistik. Namun, mengapa terhadap kaum yang berbeda
keyakinan, dapat demikian intoleran? Tampaknya mereka memang tidak diajarkan
untuk menempatkan setiap individu sebagai sederajat, dimana praktik perbudakan
bahkan masih dilanggengkan dan dilestarikan ataupun dipelihara pada era modern
ini, dimana warga yang satu merasa lebih berharga daripada warga lainnya,
sebagaimana dicerminkan “standar moralitas” mereka dalam:
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa`
[4]: 3).
Menganiaya, menyakiti, bahkan
hingga membunuh, tidak ditabukan, jauh dari seruan ataupun suri-teladan “ahimsa” (tanpa kekerasan). Adapun yang
dipromosikan ialah “pertumpahan darah” sehingga para umatnya menjelma “haus
darah” menjadi “predator bagi sesama manusia”, sebagaimana dogma berikut yang
justru diberi label kemasan sebagai “suci”—“Kitab SUCI” alih-alih diberi judul
“Kitab DOSA”—sehingga menjadi rancu, bagaimana dengan yang disebut sebagai
“sesat” ataupun “jahat”, bila stadar perintah dan tindak-lanjut berikut menjadi
perintah “suci” dari Tuhan untuk dilaksanakan oleh para umatnya secara “patuh
dan mutlak”:
- QS 9:14. Perangilah mereka,
niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan
Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta
melegakan hati orang-orang yang beriman,
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah
orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka
di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka
memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka
bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas
dizolimi dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah
proporsional? Apakah itu bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau
justifikasi diri seolah berhak untuk merampas hidup orang lain?]
- QS 5:33. Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [NOTE : Maha
Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa perintahnya?]
- QS 8:12. Ingatlah, ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan
rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA
dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja
kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di
tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang
menyerang dan siapa yang terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun
mengapa justru mengintai dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang,
namun yang diserang yang justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]
Mereka tidak mengajarkan
perihal “hak asasi manusia”, namun mengklaim sebagai agama yang paling superior
berisi wahyu dari Tuhan, dan nabi mereka sebagai rasul utusan Tuhan. Pertanyaan
terbesar yang patut kita ajukan ialah, bagaimana mungkin perintah-perintah Tuhan
justru kalah “humanis” juga kalah “Tuhanis” dengan konsep humanitarian dalam “hak
asasi manusia”—yang salah satunya ialah hak untuk hidup dan hak untuk memeluk
serta beribadah sesuai keyakinan personal masing-masing individu?
Tampaknya, antara konsep “hak
asasi manusia” tidak mungkin berjalan secara beriringan dengan dogma-dogma intoleran
keyakinan agama masyarakat kita, karena sifatnya yang saling menegasikan satu
sama lainnya. Meski, konsep “hak asasi manusia” dalam sejarah dan falsafah
pembentukannya bersumber dari “nurani”. Sesukar itukah, beragama dengan nurani
serta beragama dengan otak? Tuhan mencintai kehidupan, karena itu menjadi
mustahil ketika Tuhan digambarkan sebagai mengkampanyekan pembunuhan dan
perusakan, apapun alasannya. Bagaimana mungkin, yang pendosa dan penuh dosa—berdosa
artinya kotor dan tercemar—dapat bersatu dengan yang murni seperti Tuhan yang “Maha
Agung”? Bagaimana mungkin, pendosa hendak berceramah perihal hidup suci dan
mulia?