Prinsip Saling Menghargai antar Umat Beragama secara Bertimbal-Balik, Tidak Toleran secara Bertepuk Sebelah Tangan
Seri Artikel Sosiologi—Anthropologi
Question: Di negara-negara dimana agama Islam adalah
mayoritas, para muslim melarang serta memberangus pluralisme ataupun
kemajemukan umat beragama. Jangankan jauh-jauh, di Indonesia sendiri, ada
banyak kota atau daerah yang melarang pendirian rumah ibadah bagi umat beragama
nonmuslim, belum lagi jika kita bicara mengenai berbagai Peraturan Daerah yang
bersifat intoleran seperti pemaksaan penutupan rumah makan saat bulan Ramadhan,
kewajiban penggunaan kerudung bagi kaum wanita, hingga pemaksaan anak sekolah
peserta didik nonmuslim untuk memakai jilbab di Sekolah Negeri.
Kita pun menjadi bertanya-tanya, ini negara hukum, ataukah negara agama? Artinya, negara-negara mayoritas muslim bersikap intoleran dan tidak terbuka bagi kemajemukan umat beragama. Lantas, mengapa justru mereka yang paling keras berteriak perihal Uighur, Rohingya, dan sebagainya, dengan maksud menuntut diberi keistimewaan berupa toleransi untuk beribadah dan mengekspresikan agamanya, bahkan diberi kebebasan untuk menjadi separatis di negara-negara nonMuslim?
Brief Answer: Itulah yang dimaksud dengan kebijakan
ber-“standar ganda”, alias sikap “mau menang sendiri” yang khas dari satu kaum
tersebut. Dari segi ilmu psikologi, sikap narsistik sangat erat dengan sifat
egoistik sehingga keduanya kerap dipandang sebagai satu-kesatuan sifat yang
tidak terpisahkan. Negara-negara nonMuslim harus dan penting untuk belajar dari
pengalaman sejarah Nusantara, dimana cikal bakal Negara Indonesia ini (Bumi
Pertiwi) pada mulanya ialah negara milik para nenek-moyang Buddhist sejak abad
ke-5 Masehi hingga abad ke-15 Masehi, sebelum kemudian Kerajaan Majapahit yang beragamakan
Buddhist memberi toleransi bagi ulama asal Arab untuk menyebarkan agama Islam
di Nusantara, namun kemudian menjajah Majapahit maupun masyarakat Buddhist di
Nusantara—praktik “durhaka”, balas “air susu” dengan “pertumpahan darah” (lihat
Kitab Jawa bernilai sejarah bernama DHARMO GHANDUL), sebelum kemudian kerajaan-kerajaan
Islam semacam Demak dan sebagainya saling membunuh dan menumpahkan darah sesama
muslim, sampai akhirnya masuklah penjajahan kolonial Belanda dan Inggris maupun
Jepang.
Ketika masih minoritas menuntut dan menikmati
toleransi, namun ketika mereka sudah kuat, mereka berbalik menjajah dan
menghancurkan toleransi yang dahulu mereka tuntut dan nikmati. Janganlah
menuntut negara lain (mayoritas nonMuslim) untuk toleran terhadap kaum Muslim,
namun negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim itu sendiri yang harus
terlebih dahulu membuktikan kepada dunia, bahwa negara-negara mayoritas Muslim
tersebut toleran, terbuka, serta tidak radikal terhadap kaum pemeluk agama yang
majemuk dan saling berbeda.
Ketika negara-negara mayoritas Muslim tersebut
telah ternyata gagal total mempraktikkan kemajemukan umat beragama, itu sama
artinya sikap egoistik yang kekanak-kanakan. Kita bukan semestinya menuntut
negara-negara mayoritas nonMuslim untuk toleran terhadap para Muslim, namun
sudah saatnya kita bersikap lebih akuntabel disamping transparan berdasarkan
asas egalitarian, bahwa negara-negara mayoritas Muslim itulah yang harus dan
sudah saatnya membenahi diri, mereformasi diri, agar lebih toleran terhadap
kemajemukan umat beragama.
Terdapat sebuah prinsip dalam dunia politik
internasional maupun relasi antar bangsa, bernama prinsip resiprositas atau
yang juga dikenal dengan sebutan sebagai prinsip resiprokal—yang bermakna,
saling bertimbal-balik secara setimbal atau secara seimbang antar negara,
semisal seperti perjanjian diplomatik yang mana hak dan kewajibannya saling
bertimbal-balik antar kedua-belah pihak negara yang saling bersepakat
mengikatkan diri, sehingga sifatnya saling menguntungkan kedua belah pihak,
bukan hanya menguntungkan satu pihak secara sepihak.
Untuk atau bagi suatu kaum agar dapat mengklaim
adanya hak untuk diperlakukan secara adil dan setara dengan kaum lainnya pada
suatu negara (equality before the law),
maka kaum itu sendiri harus terlebih dahulu bersikap adil dan setara terhadap
kaum yang dimintakan pemberian kesetaraan. Ketika kaum yang disebut pertama
tersebut telah ternyata gagal, bahkan gagal total, mempraktikkan sendiri apa
yang ia tuntut dari kaum lainnya, itu sama artinya sikap “mau menang sendiri”
alias egoisme yang arogan disamping sikap ekstrem tidak menaruh penghormatan
terhadap kaum yang berbeda.
PEMBAHASAN:
Para Muslim menyebut
agama-agama nonMuslim sebagai penyembah berhala, namun mari kita tengok
bagaimana praktik ibadah dan ritual nabi junjungan para muslim itu sendiri : Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik
dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta
mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu
yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya
tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih
al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680] Agama-agama di luar Islam, tiada
satupun yang sampai sejauh itu, mencium-ciumi batu berhala. Bukankah itu
menjijikkan disamping tidak higienis? Belum lagi jika kita menyinggung bentuk
batu tersebut yang disebut oleh kaum mereka sendiri sebagai berbentuk “lambang
kesuburan” milik organ vital kaum wanita?
Muslim pun mengklaim sebagai
agama yang paling suci, paling agung, paling luhur, paling mulia, paling
bersih, paling lurus, dan paling benar. Namun benarkan demikian? “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun
dia mencuri dan berzina?‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]—HANYA SEORANG PENDOSA, YANG
MEMBUTUHKAN PENGHAPUSAN DOSA!
Para Muslim pun mengklaim
sebagai agama cinta damai. Lantas, jika ajaran semacam berikut ini yang disebut
sebagai “cinta damai”, maka bagaimana atau model dogma semacam apa yang disebut
“teror!sme”? “Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH
DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan
kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut,
niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA
mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]—misi misionaris dengan jalan kekerasan
fisik dan pengancaman dibawah sebilah pedang tajam penuh darah, alih-alih
dengan bahasa kasih. Belum apa-apa saja, sudah melanggar hak asasi manusia
berupa hak untuk hidup serta hak untuk memeluk serta beribadah sesuai keyakinan
masing-masing. Sanggupkah atau rasionalkah kita, untuk dapat hidup damai
berdampingan dengan kaum intoleran yang senantiasa “haus pertumpahan darah”
demikian?
Agama Islam mengancam—bahkan
dalam banyak kejadian, bukan lagi sekadar mengancam akan membunuh dan merampok
hak hidup maupun hak properti warga kaum berbeda keyakinan—maka kaum Muslim itu
sendiri adalah sahih untuk diancam dengan ancaman ataupun perlakuan serupa
sebagaimana kaum Muslim itu sendiri memperlakukan kaum lainnya. Ketika kaum
Muslim di Indonesia melarang pendirian ataupun peribadatan bagi kaum pemeluk
agama lainnya, maka di negara-negara lain para Muslim akan mendapat perlakuan
serupa, tiada berhak untuk menuntut diperlakukan secara istimewa.
Sikap tahu malu dan tahu diri, itulah
yang begitu miskinnya kita jumpai dari kaum muslim. Mereka lebih sibuk untuk menuntut,
namun tidak pernah ingin dituntut perlakuan serupa dari diri mereka sendiri. Memperlakukan
pemeluk agama lain secara toleran, barulah agama bersangkutan berhak menuntut
perlakuan yang sama—inilah yang menjadi jiwa atau esensi dari prinsip
resiprositas / resiprokal, yang tampaknya agama Islam merasa alergi menerapkan
prinsip bangsa beradab demikian, karena sama artinya memaksa kaum Muslim untuk
membangkang serta memberontak terhadap perintah nabi dan “Tuhan” (versi) mereka
sendiri—menjadi Muslim yang “moderat” sama artinya menjadi muslim yang MURTAD
terhadap perintah Tuhan yang mereka sembah.
Apa yang mereka tabur, maka
itulah juga apa yang akan mereka tuai sendiri sebagai buah atau konsekuensi
logisnya. Menanam benih intoleransi, memetik intoleransi. Menanam benih
radikalisme, memetik buah beracun sikap-sikap radikal. Menanam permusuhan,
kebencian, dan “standar berganda”, maka akan menuai permusuhan, konflik,
antipati, maupun penolakan dunia. Tiada agama lain diluar Islam, yang begitu
seringnya membuat banyak negara di dunia sejak dahulu kala hingga saat dewasa
ini, terlibat konflik bersenjata maupun konflik berdarah dengan
mengatas-namakan agama, dengan jumlah korban yang telah tidak lagi terhitung
jumlahnya secara akumulasi—terjadi setiap dan sepanjang tahunnya, bukan terjadi
satu kali untuk satu abad lamanya.
Bila ajaran berisi perintah
untuk merampok dan membunuh demikian, mereka klaim sebagai “cinta damai”, maka
mengapa para Muslim tidak segera saja menjalankan isi perintah “cinta damai”
demikian, yakni membantai dan merampok kota-kota ataupun rumah-rumah penduduk
nonMuslim? Mengapa sebagian kalangan muslim itu sendiri justru bersikap sungkan, menjalankan “perintah damai” berupa
pertumpahan darah demikian? Sikap-sikap kerdil “mau menang sendiri” merupakan
musuh terbesar prinsip resiprositas, sehingga perlu “diperangi” secara serius
mengingat potensinya untuk membawa bibit-bibit malapetaka dikemudian hari,
dimana bisa saja sanak-keluarga maupun anak-cucu kita yang akan menjadi
korbannya dikemudian hari. Antara “cinta damai” dan “haus pertumpahan darah”,
tidak pernah dapat saling dipersatukan antar sifatnya yang saling menegasikan
satu sama lainnya.
Ketika masih ada diantara
anggota masyarakat kita yang kembali menyinggung-nyinggung perihal nasib kaum
Muslim minoritas di negara-negara nonMuslim, maka cara untuk menanggapinya
ialah sekadar bertanya kepada pihak yang bersangkutan, apakah mereka,
negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, akan bersikap toleran terhadap
kaum nonMuslim alias kemajemukan sebagai “hal yang langka” ataukah memang sudah
menjadi suatu kelaziman pada negara yang bersangkutan itu sendiri? Janganlah jauh-jauh,
tengok saja kondisi republik kita sendiri di Indonesia, kemajemukan atau
kerukunan antar umat beragama seperti apa yang mereka maksudkan, jika bukan
berbagai fenomena pelarangan pendirian rumah ibadah bagi umat nonMuslim yang
terjadi sejak berdekade-dekade lampau dan masih terjadi hingga dewasa ini,
sementara itu para muslim bebas menggelar peribadatan bahkan di pemukiman-pemukiman
penduduk—alias “standar berganda”, praktik “mau menang sendiri”.
Bukankah mengherankan dan
menjadi absurd, ketika masih saja ada orang-orang yang memilih untuk memeluk
agama Islam, meski sikap-sikap mereka tidak adil dan kerap menampilkan wajah “mau
menang sendiri”, seolah-olah nurani mereka telah beku atau “mati”. Ketika
mereka tidak bersedia dan tidak berkomitmen untuk menghargai eksistensi kaum
yang berbeda keyakinan untuk tumbuh dan berkembang di dalam negeri yang
bersangkutan, maka itu sama artinya asas resiprositas / resiprokal yang sakral
telah dilecehkan dan diinjak-injak tanpa penghormatan yang patut dan layak.
Secara tanggung-jawab moril,
yang paling bertanggung-jawab terhadap nasib kaum Muslim di negara-negara
nonMuslim, ialah negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim itu sendiri,
apakah mereka selama ini toleran atukah intoleran atau tidaknya terhadap kaum
yang berbeda golongan, ras, maupun dari segi agama. Perlakuan para Muslim
terhadap nonMuslim selama ini, merupakan “sebab”-nya. Sementara itu yang
menjadi “akibat”-nya ialah, para Muslim itu sendiri yang patut mendapatkan
intoleransi serupa sebagaimana toleransi yang mereka berikan kepada kaum yang
berbeda.
Martabat umat manusia diukur
dari keyakinannya terhadap kemanusiaan, bukan keyakinan membuta terhadap delusi
bahwa seolah-olah Tuhan butuh seorang manusia “pendosa penjilat penuh dosa”.
Untuk memuliakan Tuhan, tiada jalan lain selain dengan cara menjadi manusia
yang mulia. Hanya seorang pendosa plus sikap pengecut, yang membutuhkan “pengampunan
/ penghapusan dosa”.