Beribadah secara HENING, Hening itu Indah, Damai, Sakral, Penuh Makna, dan Mendalam
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Mengapa bisa ada agama, yang mana para umatnya
ketika beribadah begitu norak dan narsis, sampai-sampai mengganggu ketenangan
hidup umat beragama lain, seolah-olah umat agama lain tidak butuh beribadah
sesuai keyakinannya masing-masing secara tenang dan bebas dari segala gangguan,
tidak terkecuali gangguan yang bersumber dari “polusi suara” (kebisingan atau
suara yang keras akibat speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah) maupun
“polusi sosial” (parkir liar, menutup jalan milik umum, tebaran sampah yang
dibuang sembarangan, dsb, yang mengatasnamakan agama) praktik-praktik ritual
keagamaan demikian?
Ada sebuah femomena cukup unik yang biasa kita jumpai. Semua orang dari negara asing yang baru kali pertamanya mengunjungi dan menjejakkan kakinya di Indonesia, bukan dibuat kagum oleh ritual serba “berisik” tersebut, namun justru mengundang ekspresi jijik dan heran disamping senyum sinis ketika kita terangkan bahwa itu adalah praktik ibadah kaum agama tertentu, yang akan terjadi sepanjang harinya mulai dari siang hari, sore, bahkan hingga subuh. Ekspresi mereka seolah hendak berkata, bahwa bangsa kita di Indonesia belum dapat disebut beradab adanya.
Brief Answer: Karena tampaknya jenis atau sifat ibadah yang
diajarkan kepada para umatnya tersebut, bersifat “dangkal”, kaya akan gaya
namun miskin esensi alias kering dari spiritualisme. Budaya rituil yang serba
“pamer” (show-off) demikian, terjadi
akibat dogma-dogma yang mengandung “kelirutahu”—tahu namun keliru—perihal apa
yang sebetulnya dapat memuliakan Tuhan, akibat ajaran yang dangkal, bahkan dapat
disebut sebagai penyimpangan terhadap apa yang mereka sebut sendiri sebagai Ke-Tuhan-an.
Untuk memuliakan Tuhan, bukanlah dengan jalan menjadi
seorang “pendosa penjilat penuh dosa”, namun dengan menjadi manusia yang
mulia—yang artinya bahkan dengan tidak menimbulkan kegaduhan ataupun semacam
“polusi” apapun, seseorang umat manusia bisa beribadah dalam rangka memuliakan
Tuhan, sehingga sifatnya murni dan bersih, karena tidak mengganggu dan tidak
juga merugikan siapapun.
Agama “norak”, tidak dapat hidup dalam
keheningan, mereka begitu bergantung pada metoda ritual yang serba “norak”
demikian, seolah-olah bila tidak mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain
maka dibenak mereka belum serasa beribadah—ketika sedang beribadah saja, mereka
begitu intoleran dan merampas ketenangan hidup umat beragama lainnya, maka
bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah? Sebagai contoh kontras dengan
apa yang disinggung sebelumnya, apa yang disebut sebagai agama “hening”, dapat
kita jumpai dalam syair berikut:
Ovada Patimokkha
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling
tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”, begitulah sabda Para
Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan
diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di
tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah
Ajaran Para Buddha.
Sumber:
Dhammapada 183-184-185
Label: Syair Gatha.
Tidak semua orang mampu dan sanggup beribadah
secara “hening” demikian, berikut penjelasannya. Yang pertama-tama ialah, tidak
berbuat kejahatan. Dengan tidak berbuat jahat saja, maka kita sudah tergolong
sebagai seorang pribadi / individu yang “bukan orang jahat”—sama sekali tidak
butuh berteriak-teriak ataupun berkoar-koar dan mengumbar kepada dunia bahwa
kita bukanlah orang jahat. Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming
korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Dengan tidak membuat kegaduhan semacam “polusi
suara” saja, entah saat beribadah ataupun saat berkegiatan dalam keseharian,
kita sudah tergolong tidak berbuat jahat, lewat “keheningan”, menebar kesejukan
dan kedamaian sejati. Berlanjut pada tahap selanjutnya, yakni banyak menimbun
perbuatan baik, yang juga dapat kita lakukan lewat berdana atau berdonasi
secara “anonim”, tanpa perlu mengumandangkan kepada dunia ini, bahwa kita rajin
berdana, bahwa kita adalah seorang dermawan, bahwa kita adalah seorang donatur
rutin, bahwa kita adalah seorang malaikat yang baik hati, dsb. Cukup berdana
secara sunyi dan senyap, berbuat kebaikan secara “hening”.
Tahap selanjutnya ialah bermeditasi, memurnikan
hati dan pikiran, yang juga lewat jalan “hening” penuh “keheningan”—benar-benar
pendekatan beribadah yang “ahimsa”,
alias “no harm principles”. Barulah menjadi
“aneh”, ketika ada negara-negara yang justru menolak Buddhisme, seperti negara
pada kawasan Timur Tengah, akibat fantisme yang “buta” dan “membuta”, justru
memberangus situs-situs purbakala peninggalan budaya Buddhisme.
Praktis, ibadah dalam Buddhistik tidak merugikan,
tidak juga melukai, serta tidak pula menyakiti pihak-pihak manapun. Faktanya,
tidak semua orang sanggup beribadah sesuai ibadah Buddhisme, lebih banyak
diantara masyarakat kita yang “norak” sehingga lebih memilih beribadah secara
“narsistik-isme” lewat segampang, semudah, serta se-intans puja-puji
sembah-sujud yang bersifat “polusif” disamping “delusif”. Semua orang sanggup
menjadi “pendosa penjilat penuh dosa” yang mengumbar puja-puji ataupun
menyanyikan koor paduan suara, namun tidak semua orang sanggup untuk tidak
berbuat jahat, untuk berbuat banyak kebajikan, hingga memurnikan hati dan
pikiran-NYA SENDIRI.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut cukup
representatif mencerminkan esensi dari praktik latihan diri sejati, dimana
ketulusan tidak pernah dimaksudkan untuk mengundang pengakuan dari pihak
eksternal diri. Dimana makna implisitnya ialah, ketulusan itu sendiri ketika
kita hendak dan sedang beribadah. Pada suatu hari, seorang sukarelawan bekerja
di dapur umur yang dikelola oleh Yayasan Buddha Tzu Chi, dimana sang
sukarelawan memotong sayur-mayur dengan begitu gaduh-nya, menimbulkan berbagai
bebunyian, dengan maksud mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya, seolah
hendak berkata, “Hei, lihatlah aku ini,
aku ini bekerja keras loh, sebagai sukarelawan. Betapa baik hatinya saya ini,
bukankah begitu? Ayo, puji aku dan akuilah aku sebagai orang yang berkontribusi
besar!”
Master Cheng Yen, pendiri
Yayasan Buddha Tzu Chi, kemudian mendapati sang sukarelawan memang bekerja
keras, namun bukan berarti sukarelawan lain yang “hening”, tidak bekerja keras
sekeras sang sukarelawan. Master Cheng Yen kemudian memberikan wejangan, bahwa
ketulusan dalam bekerja ataupun beribadah, bukan ditunjukkan dengan bentuk
lahiriah yang eksplisit, namun yang lebih penting ialah makna implisitnya,
yakni ketulusan itu sendiri dalam berbuat baik maupun ketika sedang beribadah.
Tidak perlu sampai diketahui oleh orang lain, bahwa kita sedang berbuat baik
ataupun sedang beribadah. “Langit” tidaklah buta, kita akan mendapatkan apa
yang memang layak untuk kita dapatkan sesuai kontribusi kita dalam kehidupan,
sekalipun berbagai kontribusi dalam hidup kita ditanam lewat cara-cara yang “hening”.
Berangkat dari paradigma
tersebut, bilamana seseorang bekerja “sukarela” namun mengharap atau menuntut
dihormati dan dihargai oleh orang-orang di sekitarnya, itu artinya tidak murni
sedang berbuat kebajikan, namun mengandung “motif terselubung”, yakni
mengundang pujian dari orang-orang di sekitarnya, yang bisa jadi kita maknai
sebagai “pencitraan”. Sama halnya, ketika seseorang mengatas-namakan dirinya
sedang beribadah, namun dipraktikkan lewat sebentuk pendekatan ala norakisme
yang narsistik-istik, itu sama artinya dirinya tidak benar-benar tengah
beribadah—atau mungkin akibat motif lain, yakni tidak benar-benar yakin akan
praktik ritual ibadahnya itu sendiri, sehingga perlu dibuat cukup ekstrem
seperti penggunaan pengeras suara eksternal yang mengundang sumpah-serapah
maupun kutukan dari warga lain di sekitarnya uang merasa terganggu maupun dirugikan
ketenangan dan kedamaian hidupnya.
Kutukan dari satu orang warga
yang merasa kedamaian hidupnya telah dirampas, sudah terlampau banyak. Hanya orang
dungu, yang meremehkan ataupun menyepelekan kutukan dari seorang warga yang
merasa terganggu ataupun dirampas hak kedamaian hidupnya. Sesukar itukah,
beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa merugikan umat beragama lainnya?
Sesukar itukah, beribadah secara “hening”, serta tanpa merugikan pihak lainnya?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.