Karena Ada KEMATIAN, maka Ada KELAHIRAN
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Banyak sekali kejahatan dan pelaku kejahatan di republik ini, sementara itu polisi tidak bisa diandalkan, lebih sering mengabaikan dan menelantarkan aduan ataupun laporan korban dan masyarakat. Apakah dimungkinkan menurut hukum tumimbal lahir, untuk bertekad agar saya dikehidupan berikutnya, saat meninggal dunia dan terlahirkan kembali, diri saya ini bisa rebirt atau reborn sebagai seorang penegak hukum yang benar-benar dapat diandalkan oleh masyarakat untuk memberantas kejahatan?
Brief Answer: Dimungkinkan bagi seseorang untuk mengucapkan ikrar
atau tekad, terlahirkan kembali sebagai apa, bilamana “modal” buah Karma
Baiknya mendukung untuk itu (parami).
Contohnya ialah seseorang pertapa berikrar kepada seorang Buddha, bahwa dirinya
juga akan terlahir kembali sebagai seorang Buddha, dan setelah menanam “parami”
dalam berbagai kehidupan dan kelahiran yang tidak lagi dapat terhitung
jumlahnya (ber-kalpa-kalpa), pertapa tersebut pada akhirnya terlahir sebagai
seorang pangeran bernama Siddhatta Gotama sebelum kemudian mencapai
ke-Buddha-an dan mengajarkan Dhamma sama seperti para Buddha pada masa lampau.
Sang Buddha membabarkan, “Pandangan keliru artinya tidak meyakini adanya Hukum Karma maupun
tumimbal lahir.” Dengan mulai menata diri dengan memiliki pandangan yang
benar, yakni meyakini dan memahami adanya Hukum Karma maupun kelahiran kembali
sebagai bagian dari hukum semesta, sebagai satu-kesatuan yang saling
berpasangan tanpa dapat saling terpisahkan, karenanya kita perlu bersikap arif
dan bijaksana dengan bertanggung-jawab terhadap diri kita sendiri, dimulai dengan
tidak melakukan kejahatan, rajin menanam benih Karma Baik, dan mensucikan
pikiran (ovada patimokkha).
Walter Semkiw dalam bukunya “BORN AGAIN”, mengupas contoh nyata kasus-kasus kelahiran kembali
pada tokoh dunia, yang mana telah ternyata pada kehidupan mereka sebelumnya
pernah membuat ikrar sebelum kemudian terwujud pada kelahirannya saat kini.
Karenanya, seseorang tidak perlu takut mati, bilamana sepanjang hidupnya minim
menanam “Karma Buruk”, dan banyak menimbun perbuatan bajik (Karma Baik),
sebagai modal untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik dan mewujudkan
tekad yang kita kehendaki dalam kehidupan selanjutnya. Sang Buddha seringkali
dalam khotbah-Nya menganjurkan agar para perumah-tangga giat menanam perbuatan
baik demi bekal di kehidupan berikutnya.
PEMBAHASAN:
Dalam terminologi Buddhisme,
kehendak, niat, atau tekad demikian diistilahkan sebagai “cetana” atau “aditana”.
Penulis sendiri secara pribadi juga memiliki sebuah tekad, berupa rajin menanam
perbuatan bajik (sebagai bekal buah Karma Baik untuk dipetik pada kehidupan
berikutnya) agar dapat terlahir kembali sebagai “MONKEY KING” (Sun Go-Kong /
Sun Wukong, si “Kera Sakti”). Selama ini banyak sekali dukun-dukun jahat ritual
“black magic” yang menjadi perantara
transaksi perjanjian persekutuan jahat antara manusia jahat pemakai “black magic” dan makhluk-makhluk alam
“apaya” (alam tanpa kebahagiaan) seperti makhluk berwujud jin, asura, yakkha,
maupun setan gentayangan.
Seperti kata “Bang Napi”,
kejahatan terjadi karena adanya dua faktor, yakni “niat jahat” dan
“kesempatan”. Sekadar adanya niat jahat seseorang, tanpa difasilitasi oleh
dukun-dukun jahat demikian berupa kesempatan bersekutu dengan makhluk-makhluk
jahat sehingga makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata tersebut bersedia
membantu sang manusia jahat untuk memanipulasi, merugikan, melukai, ataupun
menyakiti manusia lainnya, maka hal tersebut tidak akan terjadi. Namun,
dukun-dukun jahat demikian tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan selama ini,
tanpa ada yang mencoba menghentikan aksi jahat mereka menjatuhkan korban-korban
yang telah banyak dan terus saja berjatuhan serta masih akan terus berjatuhan
secara masif.
Harus ada eksistensi “MONKEY
KING” yang membumi-banguskan dan menghajari “bokong” para dukun-dukun jahat
tersebut bersama para “dedemit”-nya, karena para dewata cenderung asyik sendiri
di alam surgawi atau terlampau pengecut memberantas makhluk-makhluk jahat tidak
kasat mata, atau bisa juga karena jumlah makhluk-makhluk jahat sebangsa jin terlampau
masif sehingga tidak sebanding dengan jumlah para dewata yang terbatas. Menurut
kajian Buddhistik, para makhluk alam “apaya” bernama asura memiliki kekuatan
sama saktinya dengan kalangan dewata, sementara itu jumlah dewata tidak
sebanyak jumlah para asura—makhaluk alam rendah mana yang pada kehidupan
sebelumnya merupakan manusia namun kerap berbuat kejahatan sehingga jatuh ke dalam
alam “apaya”, alam tanpa kebahagiaan.
Memang irasional dan sama
sekali tidak logis, ketika umat manusia justru meminta pertolongan,
perlindungan, maupun bantuan dari para mahluk di alam “apaya” yang alamnya “tanpa kebahagiaan”. Bagaimana mungkin, makhluk-makhluk
yang tidak bahagia tersebut diharapkan dapat membuat sebuah keluarga menjadi
rukun dan damai hidupnya dalam kemakmuran dan sejahtera, sementara dirinya
sendiri “tidak bahagia”? Derajat alam manusia lebih tinggi daripada makhluk-makhluk
di alam “apaya”, namun merendahkan
dan menggadaikan martabatnya sendiri demi bersekutu dengan makhluk-makhluk sebangsa
jin, bahkan rela dirinya setelah kematian akan terlahir kembali di alam neraka
ataupun menjadi bagian dari bangsa jin yang mengerikan dan penuh kegelapan.
Itu kabar buruk bagi umat
manusia, karena sekalipun manusia lebih tinggi derajatnya daripada para makhluk
rendahan dari alam “apaya”—sehingga
menjadi irasional sekaligus absurd ketika seseorang manusia justru mencari
pertolongan maupun perlindungan kepada makhluk yang lebih rendah alam
derajatnya dan tanpa kebahagiaan (sebagaimana nama alamnya, “apaya”), semata akibat keserakahan
ataupun kemalasan yang dibahan-bakari oleh kekotoran dan kegelapan batin,
bahkan menjelma “manusia hewanis dan predator” yang tega mengorbankan kehidupan
orang lainnya.
Harus ada dan dunia ini
membutuhkan kehadiran sesosok ksatria yang sakti dan memiliki kemampuan
disamping keberanian untuk memberantas para makhluk jahat tersebut, termasuk
membungkam praktik jahat (evil) para
kalangan dukun di republik negeri kita maupun praktik klenik perdukunan di
dunia ini. Salah satu sosok yang sudah sangat familier dan dekat di hati kita
dan banyak orang di Indonesia, ialah tokoh fiktif bernama “Sun Go Kong” alias
si “KERA SAKTI”, yang benar-benar perkasa, disegani dan ditakuti oleh para
siluman jahat, karena “tongkat sakti”-nya siap selalu untuk memberi pelajaran
bagi para siluman-siluman jahat.
Diakui maupun tidak diakui, banyak
masyarakat kita di Indonesia, yang menjadi konsumen jasa perdukunan, bahkan tega
dan rela mengorbankan anggota keluarga sendiri sebagai bayarannya atas
persekutuan dengan bangsa jin jahat. Mengapa praktik perdukunan di Indonesia,
tumbuh subur? Karena faktor penegakan hukum negara yang belum mengakui
kejahatan berbasis “magic” sebagai
kejahatan yang harus ditumpas dan diberantas secara serius serta dilarang
keras. Bisa dikata, tiada negeri yang praktik perdukunannya semasif di Indonesia,
dimana jumlah dukun yang berpraktik sama masifnya dengan praktik kalangan
dokter.
Disamping itu, minimnya
keseriusan masyarakat kita itu sendiri untuk membumi-hanguskan praktik
“klenik”, disamping fakta empirik bahwasannya rata-rata masyarakat “agamais”
kita kerap menjadi pengunjung jasa praktik perdukunan, dengan dalih klise : “Ketika sakit, kita ke dokter. Ketika ada
masalah, mengapa tidak boleh ke dukun? Ditolak pacar, dukun bertindak! Ingin
laku usaha, dukun pula yang bertindak!” Segala sesuatunya dukun, dukun, dan
dukun sebagai primadona rujukan, di kampung, di perkotaan, maupun di pedesaan,
bahkan kalangan dukun memiliki asosiasinya sendiri sebagai wadah para dukun se-Indonesia,
ketimbang melakukan kerja keras, cara-cara yang jujur dan adil, tanpa manipulasi,
tanpa rekayasa, dan tanpa merugikan pihak lainnya.
Boleh percaya dan boleh juga
tidak, durasi masyarakat Indonesia pergi ke perdukunan, sudah sama intensnya
dangan masyarakat yang membeli obat pereda pusing di warung, mulai dari urusan
percintaan, bisnis, relasi, dendam, iri hati, sengketa, dan lain sebagainya.
Sekalipun akal sehat sudah cukup menjelaskan, tiada satupun orang yang merasa
senang dimanipulasi menjadi korban ilmu pengikat hati, korban penyakit kiriman,
korban pengurasan kekayaan, korban kejiwaan, bahkan dijadikan korban jiwa.
Satu-satunya cara untuk memutus
mata rantai praktik “black magic”,
ialah dengan menihilkan praktik perdukunan, yang selama ini medium
transaksional persekutuan atau perjanjian jahat antara para manusia-manusia jahat
pengguna “ilmu hitam” dan para bangsa jin jahat yang akan mencelakai atau
memanipulasi target korban-korbannya. Sudah begitu banyak korban “black magic” berjatuhan dan bertumbangan,
sudah saatnya kondisi dan keadaan demikian dihentikan dan diakhiri, yakni dengan
memusnahkan praktik perdukunan dari negeri dan dari dunia ini—dimana bila hukum
negara abai, para dewata pun mengabaikannya, maka perlu sesosok yang disegani
bernama “Sun Go Kong” si “KERA SAKTI” untuk menjadi “polisi dan eksekutor” alam-alam
tidak kasat mata, salah satunya bertugas memberantas praktik perdukunan dan
membumi-hanguskan para makhluk jahat yang tidak kasat mata.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.