Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Tidak mudah menjadi seorang pejalan kaki di negeri
ini (Indonesia), kondisi jalan umumnya tidak layak dan tidak manusiawi (tidak
pejalan kaki “friendly”). Ketika
mendapati kondisi berat jalanan seperti adanya lubang ataupun ranting-ranting
terjuntai di pinggir jalan ataupun atap-atap rumah di sisi kiri jalan yang
pendek tingginya sehingga berpotensi melukai mata kami sebagai pejalan kaki
yang berpostur tubuh tinggi, yang terpaksa dalam beberapa kesempatan karenanya harus
bergeser ke bahu jalan agak ke tengah, pengendara kendaraan bermotor roda dua
maupun roda empat seketika mengklakson saya, bahkan tidak jarang memaki atau
menatap ganas kepada saya selaku pejalan kaki.
Mereka bersikap seolah pejalan
kaki menghalangi jalan mereka dan menjadi kasta paling rendah yang tidak berhak
atas jalan (milik) umum. Namun tidak lama kemudian, tidak jauh dari ruas jalan yang
sama, saya berjalan persis di sisi kiri bahu jalan, akan tetapi masih juga
diklakson oleh pengedara dari arah belakang. Pejalan kaki sungguh-sungguh
menjadi kalangan minoritas di republik (Indonesia) ini, mungkin karena trauma
menjadi pejalan kaki yang selalu lemah jika menghadapi kuda atau banteng besi.
Jika pejalan kaki hendak memaki
atau meneriaki mereka, pejalan kaki yang dipandang “tidak waras”, sementara itu
mereka seenaknya dapat mengklaksoni seorang pejalan kaki dengan begitu kerasnya
tanpa rasa malu ataupun bersalah, untuk mengintimidasi ataupun meminta
didahulukan oleh pejalan kaki. Semestinya mereka merasa malu, namun dasarnya
bangsa yang memang tidak punya rasa malu, bahkan justru meminta didahulukan
oleh pejalan kaki.
Semestinya memberi jalan, bukan justru merampas hak pejalan kaki. Bagaimana kata-kata yang tepat dapat seorang pejalan kaki utarakan kepada mereka, bila mereka masih juga menuding pejalan kaki sebagai pengganggu ataupun penghalang jalan mereka? Karena jalan (milik) umum (selama ini) didominasi pengendara kendaraan bermotor, maka mereka berdelusi bahwa jalan umum adalah jalan milik mereka, para pengendara, bukan jalan milik pejalan kaki. Bukankan itu tidak logis serta tidak etis? Mengapa bangsa yang katanya tekun dan rajin beribadah ini, bahkan tidak tahu apa itu “etika berkendara”? Jangankan bersikap Tuhanis kepada Tuhan, bersikap humanis kepada sesama manusia pun mereka gagal.
Brief Answer: Pejalan kaki juga dapat bersikap diktator di
jalan umum, ketika jumlah pejalan kakinya ialah lebih dari satu orang, biasanya
berupa berjalan bersisian di kanan dan di kiri, bukan di depan dan di belakang,
sehingga kerap memakan badan jalan dan menghalangi pengguna jalan lainnya,
budaya mana telah ternyata bukan hanya monopoli Warga Negara Indonesia, warga
asing pun punya tendensi atau kebiasaan serupa—itulah cerminan “power tends to corrupt”, mengingat
jumlah orang lebih dari satu orang sudah merupakan “power” itu sendiri dan cenderung disalah-gunakan. Tidak terkecuali
seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor (“power”), baik roda dua maupun roda empat, kerap mengundang godaan
berupa tendensi untuk bersikap sewenang-wenang di jalanan terhadap pihak yang
lebih lemah dan paling lemah, yakni terhadap pejalan kaki.
Memang tidak mudah menjadi seorang pejalan kaki
di Indonesia, kondisi jalan maupun infrastruktur yang tidak mendukung disamping
tidak manusiawi, dimana pemerintah seolah lebih memerhatikan sarana dan
prasarana bagi pengendara kendaraan bermotor, dan masih juga mentolerir
pedagang kaki lima yang merambah trotoar dengan mengatas-namakan toleran
terhadap usaha mikro, namun disaat bersamaan tidak toleran terhadap pejalan
kaki.
Konon, orang-orang dengan tingkat intelijensi
tinggi yang kerap disebut dijuluki “jenius”, adalah orang-orang yang menyukai akfitivas
berjalan kaki dalam kegiatannya sehari-hari ketimbang berkendara, meski mereka
memiliki kendaraan pribadi yang lebih banyak menghuni garasi. Bagaimana negeri
ini mau mengasuh dan membesarkan seorang warga yang notabene bisa jadi
“jenius”, bila di negeri ini kondisi jalan umumnya tidak ramah terhadap mereka,
para pejalan kaki tersebut? Untuk menilai bangsa, penuh atau miskinnya warga yang
tergolong “jenius”, maka lihatlah kondisi jalan umum ataupun jalan raya kita,
jamak atau jarangnya pejalan kaki.
Berikut tips kalimat yang dapat diutarakan oleh
kalangan pejalan kaki ketika dilecehkan oleh para pengendara kendaraan bermotor
yang saling “bersinggungan” atau berkonflik dengan pejalan kaki sebagai sesama
pengguna jalan, terutama ketika para kalangan pengendara kendaraan bermotor
tersebut justru menyalahkan pihak pejalan kaki yang “malang” (karena harus
menghadapi teriknya sinar mataharai yang menyengat, serangga yang mengancam,
tebaran debu dan asap knalpot kendaraan bermotor, genangan air pada lubang
jalan, jalan yang tidak rata dan penuh lubang, guyuran hujan, ranting-ranting
yang menjuntai, atap perumahan yang terkadang sangat rendah, dsb):
“Jangan arogan. Jika (Anda)
berani, berjalan kaki-lah, jangan naik kendaraan bermotor. Hanya pengecut yang
beraninya naik kendaraan bermotor.
“Yang selama ini zalim, ialah
pengendara kendaraan bermotor, bukan sebaliknya. Yang suka mengebut dan parkir
sembarangan, adalah kalian, para pengendara. Namun yang selama ini selalu
mengalah, adalah pejalan kaki.
“Kalian itu, para pengendara,
begitu sabar ketika menemukan kendaraan yang parkir di bahu ataupun di badan
jalan. Tapi sikap kalian kepada pejalan kaki, kalian klakson keras-keras dan
arogan. Otak kalian taruh di mana sih, lebih bersabar terhadap benda mati
daripada terhadap pejalan kaki (manusia)?”
PEMBAHASAN:
Kekuasaan maupun kekuatan,
cenderung menggoda untuk disalah-gunakan, dimana pola yang sama selalu
berulang, sepanjang zaman, baik penguasa negara maupun rakyat jelata sesama
sipil. Mengendarai kendaraan bermotor, cenderung membuat pengendaranya
bertendensi untuk menjadi arogan di jalan umum, menyalah-gunakan “bumper besi”
kendaraan yang dikendarainya yang berpotensi melukai terutama terhadap warga
yang lemah seperti pejalan kaki. Mengendarai kendaraan, adalah faktor kekuatan
dan kekuasaan itu sendiri. Karenanya, “power”
dalam pengejawantahannya di keseharian, bisa berupa faktor kekuatan dan
kekuasaan karena memiliki sumber daya akses terhadap modal, menaiki dan
mengemudikan kendaraan, dua orang yang berjalan kaki, kerap “tends to corrupt”. Apa yang diutarakan
oleh Lord Acton bahwa, “Power tends to
corrupt. Absolute power, corrupt absolutely”, selalu bersifat relevan
dan aktual, bukan sekadar mitos ataupun pernyataan klise tanpa makna.
Secara pribadi, penulis pun
merupakan seorang pejalan kaki yang aktif berjalan kaki dalam setiap keperluan
saat berada di luar rumah, dan memang turut merasakan lewat pengalaman pribadi
secara langsung betapa infrastruktur jalanan yang sangat amat tidak ramah dan
tidak bersahabat terhadap kalangan pejalan kaki di Indonesia, terutama ibukota
Jakarta yang notabene megapolitan, ditambah oleh faktor ketidak-disiplinan
warga yang kerap memarkir kendaraan dengan merampas hak pejalan kaki atas
trotoar maupun bahu jalan, pejalan kaki yang “berebut” ruang trotoar dengan
“pedagang kaki lima” yang menggelar lapak dagangan secara merampas hak pejalan
kaki, terlebih menghadapi manusia-manusia yang berkekuasaan dan berkekuatan
karena mengendarai “banteng / kuda besi”.
Alhasil, pejalan kaki secara “de facto” memang merupakan “kasta” yang
tersisihkan dan kurang mendapat perhatian pemerintah, semata karena merupakan kalangan
“minoritas”—atau dipaksa dan terpaksa menjadi “minoritas”. Mengenai betapa
“zolim”-nya pengendara kendaraan bermotor, dimana pejalan kaki selalu
diposisikan sebagai “kasta rendahan” yang harus mengais-rais ruas jalan umum di
Indonesia, dimana juga pejalan kaki yang kerap dipaksa dan terpaksa mengalah
dari “ego” para pengendara yang merasa berhak memonopoli ruas jalan umum,
kejadian berikut merupakan pengalaman pribadi penulis yang penulis alami dan
jumpai pada ruas jalan manapun pada berbagai kota di Indonesia, entah ruas
jalan yang sepi maupun ramai, sejak dahulu kala, saat kini, maupun tampaknya
juga akan mengalami pola senada dimasa yang akan datang.
Ketika entah itu pengendara
sepeda roda dua maupun sepeda motor melaju secara melawan arus, selalu saja
100% kejadiannya ialah penulis yang berjalan di sisi (paling) kiri jalan, sisi
mana menjadi hak dari penulis, pengendara tersebut tidak mau mengalah, dan
tetap melajukan “banteng besinya” dengan resiko penulis akan ditabrak dan
tertabrak “bumper besi” sehingga berpotensi terluka, bilamana penulis tidak
menghindarinya dengan bergeser agak ke badan jalan, dengan resiko terkena tabrak
kendaraan yang melaju dari arah belakang—sekalipun para pengendara tersebut
menyadari, bahwa penulis tidak memiliki mata indera penglihatan di belakang
kepala, namun akibat “ego”, sang pengendara yang melaju secara melawan arus
sekalipun dapat melihat arus lalu-lintas di belakang penulis, tetap tidak mau
mengalah dan merampas hak pejalan kaki atas sisi kiri jalan (mengorbankan
bahkan mengancam keselamatan pejalan kaki selaku pengguna jalan yang tertib),
dan tetap melajukan kendaraannya secara melawan tanpa mengurangi laju
kecepatan, tanpa rasa malu terhadap korban (pejalan kaki) maupun tanpa rasa
takut (pada hukum karma). Mereka tidak takut melukai pejalan kaki (manusia),
namun takut terhadap tilang elektronik berupa denda.
Bangsa “agamais”, namun dalam keseharian
begitu produktif mencetak dosa. Buat dosa, siapa takut? Ada “penghapusan /
pengampunan dosa” (aboliton of sins),
agar tidak “mubazir”. Itulah yang terjadi, suatu fenomena sosial, ketika bangsa
yang masih primitif—alias belum beradab—diberi kekuasaan dan keleluasaan
mengendarai kendaraan bermotor, dapat dipastikan “tends to corrupt”. Kejadian begitu ini, pola yang sama selalu
terulang menjelma budaya, dimana hampir selalu penulis jumpai, sedikitnya satu
kali peristiwa setiap kali penulis berjalan kaki di luar rumah, pada ruas jalan
umum manapun, yang menjadi cerminan betapa ironis serta memprihatinkannya
perilaku yang diterima kalangan pejalan kaki oleh sikap arogansi pengendara
kendaraan bermotor yang “irasional”.
Sudah dari bertahun-tahun lampau
penulis dapati dan alami, bahkan juga kembali penulis alami pada pagi hari ini,
peristiwa mana sudah tidak terhitung lagi jumlahnya penulis hadapi, ketika
penulis berjalan kaki di sisi kiri jalan, pengendara entah pengendara roda dua
maupun roda empat, mengklaksoni penulis tanpa sikap kompromi ataupun toleran,
sekalipun kondisi jalanan begitu berat bagi penulis selaku pejalan kaki, tidak
rata dan ditambah rerantingan tumbuhan yang tumbuh tidak terpangkas maupun
atap-atap rumah yang pendek di pinggir jalan, namun tidak jauh di depan, hanya
berselang beberapa ratus meter jauhnya, sang pengendara yang sama “mendadak bersabar”,
“mendadak alim”, “mendadak penyabar”, dengan tidak mengklaksoni baik itu sepeda
motor maupun mobil yang diparkir di bahu jalan atau bahkan memakan separuh dari
badan jalan, dan dengan sabar menghentikan lajunya, menunggu adanya kesempatan
untuk merayap ke lajur jalan seberang untuk bisa melintas.
Penulis adalah “makhluk hidup”,
dimana kondisi pejalan kaki dan jalanan yang tidak ramah terhadap pejalan kaki
sudah begitu menyukarkan para pejalan kaki, sehingga adalah momen tepat bagi
pengendara untuk bersikap sabar dan toleran terhadap pejalan kaki, dimana para
pengendara tersebut cukup duduk manis dan dapat sampai pada tujuan dengan cepat,
bahkan masih pula menikmati subsidi bahan bakar dari pemerintah, tidak mengalami
resiko tersengat serangga, ranting tanaman, maupun sinar terik mentari yang
membakar, guyuran hujan, cipratan genangan air oleh kendaraan yang melintas, asap
knalpot yang menyembur (terutama motor roda dua yang memakai knalpot “racing”), polusi udara, terserempet dan
terluka, berjumpa “mad dog”, berpapasan
dengan preman, maupun resiko-resiko lainnya.
Sementara itu, kendaraan yang dalam
kondisi diparkir ialah “benda mati”, namun para pengendara yang melintas telah
ternyata lebih bersikap toleran dan penyabar menghadapi benda mati daripada ketika
mereka berhadapan dengan seorang manusia pejalan kaki yang sudah malang
kondisinya, masih juga di-“bully” oleh
arogansi penyalah-gunaan klakson kendaraan bermotor secara tidak bertanggung-jawab.
Itukah yang disebut sebagai intelek, logis, berakal sehat, bertanggung-jawab, “agamais”,
etis, sopan, santun, bertata-krama, Ketimuran, ataukah memang budaya khas
Bangsa “Made in Indonesia”? Lagi-lagi,
penjelasannya ialah “power tends to
corrupt”. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang bahkan belum siap untuk
menggunakan alat-alat semacam “banteng besi”, karena tingkat peradabannya sama
sekali masih belum memadai.
Perbuatan baik yang paling
mendasar, bukanlah seperti berdana koin “recehan” ke kotak amal, namun kemauan
untuk “bersikap sabar”. Bila seseorang tidak mampu bersikap bersabar, maka jangan harap ia
mampu dan mau berbuat kebajikan yang lebih tinggi, seperti jiwa altruistik,
berwelas asih, jiwa rela berkorban, berdonasi (namun bukan “recehan”),
memaafkan, mengulurkan tangan untuk menolong, merawat, maupun berkegiatan
sosial lainnya yang mana pada pokoknya ialah kerelaan berkorban, kerelaan mengalah,
kerelaan bersabar, kerelaan memberikan.
Jangankan diharapkan sebagai bangsa
yang gemar berdana—seperti disebut-sebut sejumlah media yang mengatas-namakan
berdasarkan survei yang menyebutkan “Indonesia sebagai bangsa paling murah hati
dan paling gemar berdana”—janganlah jauh-jauh mengklaim sebagai bangsa yang
pemurah dan pemaaf, dimana faktanya untuk bersabar terhadap manusia (makhluk
hidup) bernama “pejalan kaki” sekalipun, mereka telah ternyata gagal dan lebih
bersabar terhadap benda mati semacam kendaraan yang diparkir / terparkir di pinggir
maupun di badan jalan. Sama sekali tidak lucu, tidak logis, serta tidak patut
untuk terus-menerus dilestarikan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.