SEBELUM MEMINTA DIMAKLUMI, MAKLUMI DAHULU ORANG LAIN
Pada suatu pagi menjelang siang, saat hendak memasuki rumah untuk mengambil air, di depan gerbang kediaman penulis, melintas seorang bapak yang memikul tikar jualannya yang ia jajakan sepanjang jalan dengan berjalan kaki—“kerja keras”, alih-alih “kerja cerdas”, dimana yang bersangkutan bisa saja meminjam modal usaha untuk membeli sepeda dalam rangka berjualan tikar tanpa harus memikul tikar dagangannya.
Semua usaha, butuh apa yang disebut sebagai “modal”, baik modal pendidikan maupun modal peralatan kerja, biaya marketing, biaya listrik, biaya internet, dsb. Seperti kata pepatah : “No pain, no gain. No capital, no income”. Hanya kalangan profesi “kuli”, yang hanya bermodalkan “dengkul”. Namun, yang membuat penulis merasa miris, ialah cara sang bapak yang berdagang secara kurang etis.
Sang Bapak sembari menatap ke arah penulis, seolah penulis adalah “mangsa empuk” untuk dimangsa, berkata dengan nada manipulatif sebagai berikut : “Ini tikar (ayo beli), berat ini saya pikulnya!” Penulis sebenarnya tidak ingin diganggu oleh yang bersangkutan, dan ingin kembali keluar pagar untuk menyiram tanaman di halaman depan rumah lalu masuk kembali dan menutup pintu pagar serta menyelesaikan banyak pekerjaan rumah yang masih menumpuk.
Namun, sang bapak penjual tikar kembali mengulangi perkataannya secara manipulatif, “Ini tikar (ayo beli), berat ini saya pikulnya!”, berhenti berjalan serta menunggu di depan gerbang kediaman penulis, seolah-olah hendak menyandera dan memeras pemilik rumah untuk membeli satu atau beberapa tikar yang ia jajakan, barulah ia akan pergi dan tidak akan mengganggu lagi.
Ini sudah keterlaluan, penulis yang punya “hak untuk diam” serta hak “untuk tidak diganggu”, telah dirampas kemerdekaannya untuk bebas keluar dan masuk kediaman rumah sendiri tanpa gangguan dari pihak manapun, dimana secara etik moralitas, penulis bahkan tidak pernah menyebut “Mau beli” kepada pedagang tikar bersangkutan, dimana ini sungguh “wasting time”! Hei Pak, “my time is MONEY! You are wasting my time!”
Bapak pedagang tikar tersebut seolah hendak berkata, “Anda orang jahat, jika tidak mau membeli tikar yang saya jajakan untuk meringangkan beban pikulan saya! Anda baru-lah orang baik, jika menolong saya mengurangi barang pikulan ini, dengan cara membelinya!”
WOW, sungguh putar balik “logika moril”. Ia pikir siapa dirinya, merasa berhak menghakimi warga lainnya? Orang manipulatif semacam sang bapak penjual tikar, untuk apa ditolong dan dibantu? Untuk menolong dan membantu, kita harus menilai bibit, bebet, dan bobot orang yang hendak kita bantu.
Tidak ada yang menyuruh yang bersangkutan untuk memikul tikar-tikar tersebut. ia sendiri yang mau memikulnya, lantas mengapa orang lain yang dibebani tanggung jawab moril? Itulah “resiko usaha”, semua orang yang mencari nafkah memiliki resiko usaha dan kesukarannya sendiri-sendiri dan menjadi urusan masing-masing, sehingga berhentilah bersikap “tidak profesional”!
Please deh, BE PROFESSIONAL! Bila saja sang bapak penjual tikar tersebut bersikap profesional, mungkin saat kini penulis tidak berminat membeli. Namun, tidak tertutup kemungkinan bila dikemudian hari penulis merasa tertarik untuk membeli tikar yang ia jajakan bilamana memang dibutuhkan pada saat itu (saat momennya tepat).
Namun, akibat sang bapak penjual tikar membuat penulis merasa tidak nyaman, “ill feel” (antipati, alih-alih simpatik), dampaknya ialah kontraproduktif terhadap sang pedagang itu sendiri. Berjualan, bukan persoalan dapat berhasil menjual dan mendapat pembeli, namun merangkul “langganan”. Lakukanlah “marketing”, alih-alih “anti-marketing”.
Di era persaingan usaha begitu ketat, inovasi yang menentukan seseorang pelaku usaha bisa “survive” atau tidaknya, seperti kata pepatah, “survival of the fittest”—ini bukan soal modal besar, namun soal kemauan untuk berinovasi. Dinosaurus “besar” badannya, namun tidak lolos seleksi alam.
Orang-orang yang bersedia membeli tikar dari sang bapak penjual tikar, sejatinya hanya melakukan “kemurahan hati”, dimana tentunya membeli dari “marketplace” akan jauh lebih murah. Karenanya, jangan memboroskan “kemurahan hati” orang lain, terlebih membuat tidak nyaman ataupun “ill feel”. Bila ingin dihargai, hargai dahulu orang lain.
Dalam bahasa lebih kasar, “Anda mati pun, apa urusannya dengan saya? Kewajiban dari mana, saya harus menjadi sapi perahan Anda? Saya bebas dan merdeka, bukan hidup di negara jajahan dan saya bukan individu jajahan siapapun.”
Namun, bila penulis mendebat seperti semua logika dan rasio di atas, dapat dipastikan, seperti yang sudah-sudah, arogansi khas “orang Indonesia”, lebih galak yang ditegur daripada yang menegur, dimana segala sesuatunya diselesaikan dengan cara “kekerasan fisik”—alias menyelesaikan semua dan setiap masalah dengan “kekerasan fisik”.
JIka tidak mau repot, maka jangan bekerja, silahkan taruh dan letakkan tikar Anda, lalu pergi tidur sepanjang hari, itu baru menyenangkan, mudah, dan mengasikkan. Mau “no pain”? Maka jangan komplain ataupun mengeluh bila mendapati kondisi “no gain”.
Jadi, sikap bapak penjual tikar di atas, sejatinya telah bersikap tidak adil dan tidak “fairness” terhadap warga-warga lainnya yang mencari nafkah tanpa mengeluh dan tanpa memeras emosi maupun mental ataupun mengeskploitasi jiwa orang lain.
Banyak kalangan pekerja, sekalipun belum mampu membeli kendaraan bermotor roda dua secara tunai, membeli secara kredit dan mencicil setiap bulannya selama bertahun-tahun, dalam rangka agar dapat pergi dan pulang bekerja tanpa harus berletih-letih berjalan kaki. Apakah dapat dibenarkan secara moril, bila sang pekerja kantoran tersebut mengeluh kepada warga di sepanjang warga, bahwa dirinya lelah dan letih berjalan kaki untuk pergi dan pulang kerja, karena belum mampu beli kendaraan pribadi?
Ia bersikap seolah-olah hanya dirinya seorang di dunia ini, yang begitu merasakan derita sukarnya mencari nafkah. Ayolah, jangan bersikap naif dan kekanakan. Anda tidak perduli betapa orang lain bisa jadi lebih susah daripada Anda dalam mencari nafkah, namun orang lain tidak pernah bersikap “cengeng” ataupun mengeluh semacam sang bapak penjual tikar. Orang-orang berkerja “banting tulang” belajar dan bekerja tanpa mengeluh, itulah yang disebut sebagai seorang “profesional” sejati.
Yang paling tidak penulis sukai dari sang bapak penjual tikar ini ialah, ia bersikap seolah-olah hanya ia seorang, di dunia ini, yang merasakan beratnya mencari nafkah.
Untuk itu, kita harus menunjukkan bahwa kita bisa merasa tidak suka, terganggu, keberatan, tersinggung, dan menunjukkan sikap tegas tanpa memberi “harapan palsu”.
Bila kejadian semacam di atas kembali terulang oleh pedagang lainnya, inilah yang akan penulis katakan secara sopan sebagai basa-basi pendahuluan, “Mau apa, Pak? Saya tidak pernah bilang mau beli. Kapan saya bilang ‘beli’? Sudah ya, SILAHKAN BAPAK PERGI!”
JIka sang pedagang masih juga bersikukuh dan mulai mengganggu, jawablah secara tegas (namun tanpa perlu agresif): “Sudah saya jawab, sekarang saya minta bapak untuk SILAHKAN PERGI, SAYA TIDAK SUKA DAN MERASA TERGANGGU / TIDAK MAU DIGANGGU!”
Kita perlu mengutarakan apa yang kita rasakan dan ketidaksukaan kita, secara tegas, agar lawan bicara tidak berdelusi bahwa kita suka diperlakukan demikian oleh mereka yang irasional dalam cara berkomunikasi maupun berdagang. Apapun profesinya, semestinya “etika berbisnis” diperhatikan, demi membangun apa yang disebut sebagai “integritas”.
Pernahkah sang bapak penjual tikar, mau tahu atau bertanya, apakah warga yang ia tawarkan untuk membeli, mencari uang secara mudah atau sukar? Semua orang merasakan betapa repotnya mencari nafkah, sehingga adalah irasional ketika sang bapak penjual tikar berpikir dengan naif bahwa ada kalangan orang yang bisa mendapatkan uang begitu saja tanpa bersusah payah bagai “durian runtuh” yang jatuh dari langit.
Cara-cara sang bapak penjual tikar itulah, yang dalam perspektif kacamata penulis, merupakan “pemaksaan terselubung”.
Cara berdagang dan mencari nafkah yang baik dan benar ialah, asas sama-sama suka, sama-sama rela, dan sama-sama ikhlas, dalam artian memang ingin menjual dan pembeli memang ingin membelinya, serta kerelaan menerima uang pembelian dan keikhlasan pembeli membayar sejumlah uang sesuai kesepakatan.
Itu adalah prinsip dasar yang mendasar, mengapa masih harus penulis ajarkan prinsip mendasar hidup bersosialisasi maupun berniaga antar umat manusia demikian? Bagaimana dengan prinsip-prinsip hidup mereka lainnya, jika prinsip hidup mendasar mereka saja demikian memprihatinkan?