SENI PIKIR & TULIS
Manusia adalah Makhluk (yang) IRASIONAL, Tidak Logis dan Pintar-Pintar (namun) Bodoh
Umat Manusia Tidak Seindah yang Kita Bayangkan maupun
Harapkan. Ini Dunia Nyata, bukan Dunia Dongeng yang Manis dan Ideal
Pepatah pernah berpesan, “tidak mengenal, maka tidak sayang”. Anekdot klise tersebut ada benarnya, namun sayangnya tidak betul-betul lengkap, mengingat terdapat ekor kalimat yang selengkapnya berbunyi, “..., namun semakin kita mengenal manusia, semakin kita merasa ‘ngeri’!” Mengapa kita patut merasa sebentuk “kengerian” ketika kita semakin mengenal hati dan isi atau cara berpikir seorang manusia? Semata karena kita semakin tahu “wajah asli” seseorang yang selama ini hidup berdampingan dengan kita, semakin kita tahu mengenai kekotoran batin yang dapat dimiliki dan dilekati oleh umat manusia, dan betapa manusia adalah “makhluk yang irasional” disamping penuh dengan “persona” (topeng)—manusia adalah “makhluk irasional”.
Sedari kecil, penulis tumbuh
dewasa dengan keyakinan bahwa semua orang penghuni Planet Bumi ini adalah logis
dan rasional adanya, baik dan jujur, sebagaimana kisah-kisah dalam dongeng yang
sering kita baca semasa kecil, juga meyakini secara ideal (namun naif) bahwa orang
yang baik selalu akan menang dan selamat dan orang jahat akan menemui kekalahan
dan hukuman. Namun demikian, semakin lama penulis bersentuhan dan mengenal
dunia luar, terjun di tengah-tengah masyarakat dan berbaur bahkan menyelam langsung
dalam ruang publik maupun jalan umum, semakin lama penulis kian mendapati bahwa
umat manusia sungguh merupakan makhluk yang tidak logis juga irasional
adanya—dimana fakta demikian adalah mengejutkan sekaligus mengerikan adanya,
oleh sebab bertentangan dengan citra ideal dunia yang selama ini penulis
yakini.
Kenyataan bisa sangat jauh
berbeda dari apa yang ingin kita yakini, impikan, ataupun harapkan, sebagaimana kata orang bijak,
“Truth always bitter”. Kita mengharap
dan bermimpi, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang baik, jujur, mulia,
lurus, dan dermawan. Namun, cobalah perhatikan dengan membuka telinga kita lebar-lebar,
tempat ibadah agama-agama samawi lewat pengeras suara eksternalnya, setiap
harinya mengumbar dan mengkampanyekan “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”—sekalipun kita ketahui, hanya seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming
penuh kecurangan semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”—alih-alih mempromosikan jalan hidup suci, murni, dan bebas dari noda
cela bernama dosa, baik yang besar maupun yang kecil.
Disebut sebagai “Agama SUCI”,
bilamana agama tersebut secara konsisten hanya menganjurkan dan mengajarkan
jalan hidup kesucian dan keagungan, dimana para umat pemeluknya mawas diri serta
penuh perhatian terhadap perbuatan dan pikirannya sendiri, terlatih dalam
pengendalian diri, karena itulah mereka yang berlatih dijalan kesucian layak
disebut sebagai para suciwan, dimana kaum suciwan tidak pernah membutuhkan
ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”—kontras dengan kaum pendosa yang mencandu ideologi “korup” demikian. Karenanya,
antara suciwan dan pendosa, adalah dua sifat yang saling bertolak-belakang. Pernahkah
Anda diajarkan, bahwa memuliakan Tuhan adalah dengan cara menjadi seseorang pribadi
yang mulia? Sebaliknya, menjadi seorang pendosa sama artinya telah menista
Tuhan.
Sementara itu para pemeluk “Agama
KSATRIA”, disebut sebagai seorang ksatria, semata karena mereka memang telah
pernah atau dapat berbuat keliru baik disengaja ataupun karena lalai, sehingga
mengakibatkan orang lain menderita luka, sakit, ataupun kerugian. Namun, para
ksatria alih-alih melarikan diri ke dalam lembah penistaan diri sendiri bernama
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, mereka lebih memilih
untuk bertanggung-jawab dan bersikap penuh tanggung-jawab sebagai “the way of life” atau kode etik kaum
ksatria manapun. Tidak ada istilah “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa” dalam kamus para kaum ksatria.
Sebaliknya, para pendosa yang
kerap menikmati dan menjadi pelanggan tetap setiap hari maupun setiap tahunnya
konsumsi menu “pengampunan / penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa”,
merupakan para umat “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”—meski, mereka
memberinya label merek “SUCI” dalam kemasan luar nama agama yang mereka anut
dan sembah. Pendosa, hendak berceramah dan memberi nasehat perihal hidup baik,
suci, dan luhur kepada pendosa lainnya? Itu ibarat orang buta hendak menuntun
para buta lainnya. Perhatikan sendiri bagaimana mereka setiap harinya
mengumbar ceramah perihal “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”.
Ketika hari besar keagamaan mereka
tiba, lagi-lagi yang diumbar secara vulgar dan seronok lewat pengeras suara,
tanpa rasa malu sedikit pun—sekalipun berbuat dosa maupun meminta “hapus dosa”
sejatinya adalah “aib” berbau busuk dan kotor disamping jorok—ialah “pengampunan
/ penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Busana serba tertutup dari ujung
rambut hingga ujung kaki, namun “aib” memalukan semacam dosa justru diumbar
lewat pesta-pora permohonan “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”.
Ketika sanak keluarga para
pendosa tersebut meninggal dunia, lagi-lagi yang diumbar ialah doa pengharapan “too good to be true” perihal “pengampunan
/ penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi almarhum. Mereka, para kaum pendosa
pemeluk ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”,
tidak pernah sekalipun mendoakan ataupun memikirkan nasib kaum korban yang
selama ini menjadi korban dan dikorbankan oleh para pendosa tersebut, terlebih
memberikan mereka keadilan ataupun mendengarkan aspirasi dan jeritan para
korban yang hanya bisa “gigit jari” dan terus bertumbangan satu per satu akibat
dijadikan “mangsa empuk” oleh para pendosa.
Mengapa juga, para umat “Agama
DOSA” menggambarkan sosok Tuhan sebagai lebih PRO terhadap pendosa lewat “pengampunan
/ penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih menaruh empati dan
keprihatinan kepada para kaum korban? Untuk apa juga, Anda menyembah versi Tuhan
yang telah ternyata lebih PRO terhadap pendosa?—terkecuali Anda sendiri
merupakan sesama pendosa seperti para pendosa tersebut, sehingga tidak kalah
berdosanya.
Bilamana ideologi “korup”
semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” memang benar eksis
adanya, maka mengapa Anda tidak memproduksi dosa sebanyak-banyaknya, berlinang
dosa, menimbun diri dengan gunungan dosa, berkubang dalam dosa, dan mengoleksi berbagai
dosa? Terhadap kaum yang berbeda keyakinan, demikian intoleran. Namun terhadap
maksiat dan dosa, amat kompromistik. Jangan bersikap seolah-olah tidak ada agama
lain yang lebih manusiawi dan lebih humanis, untuk Anda anut dan peluk.
Sifat irasional umat manusia,
sejatinya dapat kita jumpai dengan masif di jalan umum. Sebagai seorang pejalan
kaki, penulis kerap menemui fakta di ruas jalan manapun di perkotaan ini di
Indonesia, yakni ketika penulis berjalan kaki di jalan umum, pengemudi
kendaraan roda dua ataupun roda empat dari arah belakang dengan keras
mengklakson diri penulis, seolah jalan tersebut adalah miliknya seorang dan
pejalan kaki menjadi kasta paling rendah sehingga tidak memiliki keistimewaan untuk
diperlakukan secara manusiawi terlebih dihormati sebagai sesama warga—lihat,
jangankan “power tends to corrupt”,
manusia “Made in Indonesia” yang
mengendari kendaraan bermotor saja kerap “tends
to corrupt” semata karena memiliki bumper untuk menyakiti manusia lainnya
(mentalitas suka mem-bully secara
fisik).
Namun, tidak sampai berjarak
seratus meter di depan setelah melewati penulis, sang pengendara “mendadak
sabar” dan “mendadak alim” dengan melambatkan laju kendaraannya hingga
berhenti, ketika menjumpai kendaraan lain yang dalam kondisi parkir di badan
jalan, sehingga hanya menyisakan satu lajur dari arah berlawanan, dan mereka
baru kembali melajukan kendaraannya setelah pengendara dari arah lajur
berlawanan telah lewat dan jalan di lajur seberang telah kosong. Perhatikan,
penulis notabene merupakan sesama warga dan sesama manusia, merupakan makhluk
hidup, telah ternyata para pengedara tersebut secara “heartless”, tanpa hati nurani, mengklaksoni penulis yang menjadi
terkejut dan panik juga trauma akan ditabrak (karena memang benar-benar pernah
dan tidak jarang pengendara menabrak penulis di trotoar, tidak terkecuali
pengendara yang melaju secara melawan arah).
Namun demikian, ketika mereka,
para pengendara yang sama dengan yang telah mengklaksoni penulis, menjumpai
kendaraan lain yang dalam kondisi diam terparkir di badan jalan, sehingga hanya
menyisakan satu lajur dari arah berlawanan, para pengendara yang tidak manusiawi
terhadap sesama manusia tersebut telah ternyata dapat “mendadak toleran dan
kompromistik” terhadap kendaraan bermotor yang notabene BENDA MATI! Sampai kapan pun kita tidak akan
berhasil menemukan “logika” dibalik kegilaan watak dan mentalitas bangsa
semacam demikian, karena memang kegilaan dan irasionalitas tidak bersandar pada
logika maupun rasio, akan tetapi semata bergerak berdsarkan impuls yang
didorong oleh “akal sakit milik orang sakit”.
Telah ternyata, di mata
manusia-manusia irasional semacam demikian, manusia lainnya terutama pejalan
kaki adalah tidak lebih berharga untuk dihormati ketimbang perlakuan mereka
terhadap kendaraan bermotor (benda mati) yang dalam kondisi berhenti karena terparkir
di badan jalan sekalipun memakan satu lajur jalan umum sehingga menghambat
ataupun menghalangi laju kendaraan yang dikemudikan oleh sang “manusia
irasional”. Kendaraan lain yang dalam kondisi terparkir di jalan, tidak berani
mereka gores maupun senggol; namun pejalan kaki tidak segan mereka ancam akan
ditabrak jika pejalan kaki tidak segera melompat untuk menyingkir dari badan jalan.
Kejadian dengan pola yang
sedikit berbeda berikut ini pun tidak jarang penulis alami sebagai pejalan
kaki. Pada jalan umum dengan dua lajur yang sempit, satu lajur dari arah
berlawanan terdapat kendaraan roda empat dalam kondisi terparkir sehingga hanya
menyisakan satu lajur, lajur mana menjadi lintasan jalan penulis yang berjalan
di bahu jalan pada lajur kiri. Namun secara mendadak dan mengejutkan, dari arah
belakang seorang pengendara kendaraan bermotor roda empat mengklaksoni penulis
(makhluk hidup), seolah penulis tidak berhak menggunakan jalan umum tersebut
dan seakan tidak boleh menghalangi laju kendaraannya—alih-alih mengklaksoni
mobil lain (benda mati) yang diparkir di badan jalan pada lajur sebaliknya di
seberang.
Hingga detik kini, sejak
puluhan tahun lampau, penulis masih belum mampu menemukan “logika berpikir”
dibalik perilaku irasional orang-orang yang mengaku berpendidikan namun minim
rasio demikian, selain “logika irasional” milik mereka sendiri. Jika mereka
masih memiliki rasio barang sedikit, semestinya mereka mengklaksoni dan
menabrakkan kendaraan yang mereka kendarai kepada kendaraan lain (benda mati)
yang diparkir di badan jalan, alih-alih mengklaksoni dan menabrak pejalan kaki
yang notabene seorang manusia dan makhluk hidup yang dapat luka atau setidaknya
menjadi trauma!
Mereka, telah ternyata lebih sayang dan lebih hormat
kepada benda mati, ketimbang kepada sesama manusia yang merupakan makhluk hidup
yang dapat terluka secara fisik maupun traumatik secara psikis. Memang, penulis akui tidak
semua warga di ibukota di Indonesia ini yang berperilaku irasional demikian,
juga tanpa bermaksud untuk menggenalisir, namun sedikit banyaknya juga penulis
akui menciptakan efek traumatik tersendiri bagi benak pribadi penulis, pengalaman
traumatik mana tidak terkikis sedikitpun oleh berjalannya waktu, akibat
kerapnya mengalami kejadian serupa oleh perilaku para pengendara kita di jalan
umum maupun di jalan raya.
Lalu perihal pengemudi yang
melajukan kendaraan secara melawan arus—terutama pengendara kendaraan roda dua,
tidak terkecuali pengendara sepeda maupun sesama pejalan kaki lainnya)—menurut
Anda, siapakah yang semestinya mengalah, yang berjalan sesuai haknya di sebelah
kiri, ataukah mereka yang berjalan secara melawan arus? Faktanya, 100% kejadian
melawan arus yang penulis alami dan kerap hadapi, selalu saja secara arogannya
pihak yang melawan arus selain tanpa rasa malu telah merampas hak penulis atas
jalan sebelah kiri, mereka masih juga membuat penulis harus berpotensi
mengalami kecelakaan terhantam kendaraan bermotor dari arah belakang—sementara
itu mereka bersikukuh tidak mau mengalah sekalipun bersalah, dan sekalipun mereka
mengetahui betul bahwa di belakang kepala penulis tidak terdapat mata ataupun
semacam “spion” untuk mengetahui kondisi lalu-lintas di belakang ketika penulis
dipaksa harus mengalah dengan bergeser ke badan jalan untuk melewati sang
pelawan arus yang bila penulis memilih untuk berdiam di tempat maka diancam
akan ditabrak oleh “kuda besi” yang mereka terjang.
Anda mungkin tidak akan
percaya, bahwa penulis dalam lebih dari satu kejadian pernah hampir terkena
tabrak kendaraan bermotor roda dua di atas JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG! Persoalan merampas hak orang lain,
bangsa ini nomor wahid, dan tampaknya mereka memang berbangga diri menyandang
gelar demikian, kebanggaan irasional milik orang irasional tentunya. Mereka
tidak memiliki sentifitas, terlebih rasa bersalah ataupun rasa malu telah
merampas hak juga memberi potensi celaka kepada warga lain yang tidak bersalah.
Mereka bahkan benar-benar lebih
memilih menabrak kaki penulis (benda hidup yang bisa sakit dan terluka)
ketimbang menabrak kendaraan yang parkir liar di pinggir jalan, sehingga
penulis mengalami memar hebat dan cedera kaki akibat kondisi trotoar yang juga
diokupasi oleh pengendara motor yang parkir liar sehingga sebagai salah seorang
pejalan kaki penulis tiada mamiliki pilihan lain selain berjalan di badan jalan,
itu pun sang penabrak masih juga memaki penulis alih-alih merasa bersalah
ataupun memaki sang pengendara yang memarkir kendaraannya secara liar di
pinggir jalan sehingga pejalan kaki sama sekali tidak memiliki akses ruas jalan
untuk berjalan.
Pemerintah mencoba menggalakkan
budaya berjalan kaki kepada warganya, dengan harapan mengurangi produksi polusi
asap kendaraan bermotor. Namun kenyataan berkata lain, kondisi infrastruktur
kota sekelas Jakarta, sama sekali dibangun secara tidak manusiawi dan tidak “friendly” bagi kaum pejalan kaki,
kecuali hanya di pusat-pusat bisnis elit tertentu semata. Tahukah Anda, salah
satu ciri khas orang jenius, adalah lebih suka berjalan kaki. Suatu negara atau
kota, yang jumlah pejalan kakinya minim, merupakan cerminan negeri yang miskin
warga jenius. Tidak heran bila anak bangsa kita yang jenius, memilih hengkang ke
negeri tetangga yang lebih bisa menghargai kejeniusan mereka serta lebih
humanis terhadap manusia.
Terkadang, seseorang tidak
mengetahui apa yang ia sendiri inginkan, atau sebaliknya, memaksa kita untuk
mengucapkan sesuatu apa yang memang ingin ia dengarkan, bukan apa yang
semestinya atau perlu untuk ia dengarkan. Pengalaman berikut terjadi saat
penulis masih muda yang duduk di bangku Sekolah Menengah. Seorang teman
sekelas, mempertunjukkan kartu bergambar tokoh-tokoh kartun anime Jepang yang
saat itu sedang tren. Penulis nyatakan kepada yang sang teman, kartu tersebut
adalah “palsu” alias “bajakan”. Namun ia tampaknya tidak terima, lalu bertanya
“tahu dari mana?”, selanjutnya
menyatakan bahwa kartu tersebut dibeli dengan harga mahal, beli di mall, ini
dan itulah, dengan tujuan mendesak penulis untuk menyatakan bahwa kartu
tersebut adalah “asli”. Bila memang itu yang ingin ia dengar, maka itulah yang
penulis katakan sebagai respons-nya.
Telah ternyata, ia kemudian
balik menuduh penulis telah berkata dusta, dengan pada akhirnya menyatakan
bahwa kartu miliknya tersebut adalah “asli” meski dilihat dari kualitas fisik
kartunya saja sudah ketahuan bahwa kartu tersebut bukan buatan asli Jepang,
dimana ia membelinya di depan gerbang sekolah oleh penjaja mainan, dan harga
yang murah. Ia menyatakan, sekadar “menguji” penulis, namun dengan cara
berbohong kepada penulis saat “menguji”—ia pikir dirinya adalah Tuhan, berhak
menguji manusia lainnya. Ilustrasi sederhana demikian sejatinya relevan dalam
kehidupan kita sehari-hari, dalam relasi dengan anggota keluarga, teman sekolah
maupun sahabat, rekan kerja, bahkan di dalam komunitas tempat ibadah,
organisasi, serta komunitas tempat kita bertempat tinggal dan bermukim.
Pengalaman pribadi penulis
berikut, saat penulis mencoba menjadi penumpang kereta rel listrik di Kota
Jakarta, dan akan sangat bermanfaat bagi para pembaca, ketika harus menghadapi
orang-orang yang “irasional” semata karena tidak mampu berpikir sendiri dengan
akal sehat. Setibanya di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, penumpang yang hendak
naik dan penumpang yang hendak turun berjubelan dan memadati stasiun
pemberhentian akhir ataupun pemberangkatan awal ini. Penulis di peron yang
hendak naik ke atas gerbong, terhalangi oleh “perisai manusia” yang berjejer di
mulut pintu gerbong, tanpa kunjung turun meski telah ditunggu cukup lama, dan
meski kondisi dalam gerbong telah kosong, sementara itu terjadi “deadlock” akibat ruang dibawah gerbong
juga dipadati oleh para penumpang yang hendak naik.
Sehingga, dibutuhkan inisiatif
penumpang dari bawah yang memberanikan diri untuk memaksakan diri naik ke atas
gerbong, dengan logika sederhana : ketika penumpang yang di bawah diberi ruang
masuk untuk naik ke atas / dalam gerbong, maka sebagian penumpang di bawah akan
menjadi kosong ruangnya karena telah naik ke dalam gerbong, sehingga yang di dalam
gerbong dan hendak turun dapat turun ke ruang kosong yang ditinggalkan oleh
penumpang yang baru saja naik. Namun, saat penulis hendak naik dan sudah
bergantung di ambang mulut pintu gerbong, seorang “bule” dari dalam gerbong
mendadak muncul menahan penulis dan melarang penulis untuk naik masuk ke dalam
gerbong meski kondisi dalam gerbong telah kosong-melompong—“bule edan”, “stupid bule” atau memang semua “bule”
se-“stupid” itu.
Jadilah, penulis tidak bisa
naik, juga tidak bisa turun karena ruang di bawah yang barusan penulis
tinggalkan telah padat diisi penumpang yang hendak naik. Mendadak pula, salah
seorang penumpang di bawah yang hendak naik, menghakimi penulis tanpa
“kebijaksanaan situasional”, dengan seruan “Yang
turun duluan, jangan naik duluan penumpang yang dari bawah gerbong!”—dari
tadi sudah ditunggu, namun penumpang di atas gerbong tidak kunjung turun, mau
tunggu sampai kapan, Neng? Beruntung salah seorang penumpang lainnya dari arah
bawah menyemangati penulis untuk terus naik tanpa perduli siapapun yang
menghalangi, dan seketika itu juga “deadlock”
pun cair seketika karena terurai simpul benang kusutnya, yang hendak turun
dapat turun dan yang hendak naik dapat naik.
Sejak saat itulah, penulis baru
menyadari, betapa manusia “Made in
Indonesia” adalah “makhluk irasional” (termasuk “bule”). Jika saja penulis
dapat mengulang kembali waktu, maka inilah yang akan penulis serukan dan
deklarasikan ketika hendak naik kereta rel listrik di stasiun yang padat dan
menemukan kondisi serupa : “JIka kalian
tidak mau turun juga dari tadi yang di atas gerbong, MAKA KAMI YANG DI BAWAH
GERBONG YANG AKAN NAIK!”—jika sudah seperti itu, maka siapa lagi yang akan
berani “mengkriminalisasi” diri kita yang mengambil langkah inisiatif dalam
rangka memecah kebuntuan dan kebekuan situasi?
Makna eksplisitnya sudah sangat
jelas dan tegas, “wahai para penumpang yang terhormat dan saya kasihi, mohon
perhatikan etika situasional sebelum menghakimi saya yang hendak naik ke
atas gerbong yang penumpang di atasnya tidak mau kunjung turun juga dari tadi!” Itulah, peran penting teknik
deklarasi, agar mereka sadar bahwa kita punya hak untuk “bela diri” sebagai
bagian dari “norma situasional” sebagai konteksnya. Hukum yang tidak
logis, bukanlah hukum, namun “kegilaan”; tidak terkecuali norma sosial
sekalipun haruslah logis dan lolos “uji moril”.
Semakin kita mengenal umat
manusia di luar sana ataupun orang-orang yang tinggal bersama kita dibawah satu
atap rumah yang sama, semakin kita menemukan fakta realita yang jauh dari
gambaran ideal kehidupan manusia sebagaimana asumsi awal kita saat bertumbuh
dewasa. Sungguh, kesulitan paling utama hidup di tengah “kegilaan” masyarakat
kita, ialah untuk tetap mempertahankan “kewarasan” pikiran dan jiwa kita yang
masih tersisa, dan bertahan agar tidak hangut terseret “arus” mainstream. Menjadi orang baik,
bukanlah visi yang mudah, dan banyak diantaranya yang memilih bersikap
pragmatis dengan menjadi salah satu diantara mereka yang terjangkit “stockholmes syndrome”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.