SENI PIKIR & TULIS
Seni Berdiri di atas Kaki dan Pikiran Sendiri
Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan para Penipu dan Penjahat
Manipulasi pikiran, kerap kita jumpai dalam keseharian, masif sifatnya, intrusif, terselubung ataupun yang eksplisit modusnya, kita sadari maupun tidak kita sadari telah menjadi sasaran manipulasi, serta kasat mata maupun tidak kasat mata. Manipulasi pikiran yang terselubung, penetrasinya berupa memberikan umpan berupa iming-iming agar lawan bicara termakan harapan semu. Sementara itu manipulasi pikiran yang eksplisit biasanya dilakukan dengan membuat lawan bicara merasa ketakutan lewat bentuk-bentuk ancaman, intimidasi, atau sejenisnya.
Terdapat jenis-jenis modus
manipulasi pikiran yang konvensional, yang klasik, hingga yang modern dan
canggih (biasanya lebih terselubung dengan menyalah-gunakan berbagai instrumen
keuangan, instrumen hukum, dsb, yang tujuannya untuk membuat selubung ataupun
distraksi yang dirancang secara apik sehingga calon korban manipulasi sukar
menyadari ataupun mengetahui jebakan ataupun bahaya dibaliknya). Terjadinya
bisa lewat medium tatap muka (komunikasi lisan verbal secara dua mata, atau
lebih), bisa juga terjadi tanpa saling bertatap muka, semisal apa yang
disampaikan pembicara lewat radio, media cetak dan televisi, bahkan hingga
pesan-pesan seorang pemimpin ataupun pemuka agama yang kerap disusupi ideologi
“cuci otak”, propaganda, provokasi, tidak terkecuali penetrasi budaya asing.
Ulasan yang penulis susun
secara khusus berikut dengan tema kiat atau cara menghadapi manipulasi pikiran,
bersifat aplikatif yang dapat diterapkan serta dilatih oleh para pembaca dalam
kegiatan maupun kehidupan kita di keseharian, baik di dalam rumah-tangga,
sekolah, tempat ibadah, tempat kerja, lingkungan komunitas, maupun budaya suatu
bangsa tempat kita hidup dan bertumbuh. Disertai contoh-contoh sederhana,
penulis harapkan memiliki kedekatan (proximity)
dengan kehidupan para pembaca apapun latar-belakang Anda, dengan harapan
memudahkan pemahaman para pembaca.
Kiat pertama, ialah selalu
menaruh waspada terhadap apa yang diistilahkan sebagai “iming-iming”. “Positive thinking” adalah baik, namun
bila ditempatkan secara tidak proporsional, maka tetap saja kurang arif dan
tidak bijaksana. “Rational thinking”,
cara berpikir rasional sebagai konsep yang lebih mendekati jalan tengah yang
moderat antara kedua kutup “positive
thinking” dan “negative thinking”.
Cara berpikir rasional, menggunakan pendekatan rasio yang secara bijaksana melihat
situasi dan kondisi dan mencermati relevansinya, dengan menghindari segala
preasumsi baik asumsi harus “berprasangka baik” maupun berprasangka buruk.
Penilaian, dengan demikian, menjadi bersifat objektif.
Jaga diri secara baik-baik itu
penting, dengan memulai menyadari konteks dimana kita hidup dan berkegiatan.
Ini adalah Indonesia, negeri dimana tidak pernah kekurangan para penipu dan
para kriminil berkeliaran mencari mangsa, baik penipu “kerah putih” maupun
penipu berbaju “dekil”, dapat kita jumpai dengan mudah di republik ini. Mencari
orang jujur, lebih sukar dan lebih langka daripada menemukan logam mulia yang
dapat kita cari pada toko-toko perhiasan emas yang tersebar luas baik di pasar
tradisional maupun pada pusat perbelanjaan modern. Karenanya, “positive thinking” hanya
relevan bila kita hidup di alam surgawi, dimana para penghuninya jelas
merupakan orang-orang baik yang sudah teruji dan tidak diragukan lagi itikad
baiknya ketika berkomunikasi dengan kita, tanpa perlu jaminan apapun ketika mereka
menyatakan atau menjanjikan sesuatu.
Apapun itu, belajar dari
pengalaman pribadi penulis, dapat disebutkan bahwa 99,99% dari peristiwa iming-iming,
selalu bersifat manipulatif dan “too good
to be true” dalam artian hampir dapat dipastikan sekadar “umpan” untuk
memancing kita dimana pelaku pembuat iming-iming akan berkelit dari segala
janji-janjinya ataupun iming-imingnya dikemudian hari. Ingatlah selalu rumus
berikut : janji-janji ataupun iming-iming tanpa jaminan, realisasinya
sebatas “lidah tidak bertulang”. Tanyakanlah kepada mereka yang melontarkan
iming-iming ataupun janji-janji kepada kita, “Jaminannya apa?” Bila seorang calon debitor berjanji akan
melunasi hutang modal usaha yang hendak dipinjam olehnya, sang calon kreditor
wajib bertanya, “Apa dan mana agunan
untuk jaminan pelunasan hutangnya?” Menyesal selalu datang terlambat,
sehingga mengapa juga masih ditunggu?
Persoalan ingkar janji,
masyarakat kita nomor wahid. Namun perihal ditagihnya realisasi janji maupun
iming-iming, masyarakat kita nomor wahid dari belakang. Lawan kata dari
iming-iming, ialah janji ataupun tawaran yang disertai dengan jaminan.
Ketika kita mendapati seseorang mengajukan sebuah iming-iming atau tawaran
janji apapun bentuknya, selalu sertai pertanyaan berikut sebagai respons
tanggapan kita, “Lantas, apa
jaminannya?” Tanpa jaminan apapun, itulah yang kita namakan sebagai
“omong kosong”.
Secara singkat, ingatlah bahwa
hampir seluruh iming-iming bersifat penipuan dan manipulasi penuh tipu-daya,
yang tentunya juga tidak disertai jaminan apapun, bahkan tanpa juga “hitam di
atas putih”. Kita berhak untuk tidak percaya serta berhak pula meminta jaminan.
“Negative thinking”, sebagaimana
pernah penulis ulas dalam kesempatan terpisah, merupakan hak asasi manusia itu
sendiri dalam rangka “jaga diri”. Lebih baik pahit di muka, daripada pahit di
belakang hari. Lebih baik tegas dan “cerewet” di muka untuk meminta jaminan
ataupun “hitam di atas putih”, daripada baru “cerewet” dikemudian hari dan itu
pun tidak dapat menjamin apapun ketika “nasi sudah menjadi bubur dan basi”.
Tips kedua kiat menghadapi atau
membentengi diri dari manipulasi pikiran, ialah ketika menghadapi gempuran
pariwara luar dan dalam ruang, ialah dengan tidak menjadi seorang “latah”.
Sering-seringlah melatih daya kontrol terhadap pikiran kita sendiri, dengan
cara begitulah kita dapat berdaya dalam berpikir, alias berpikir diatas kaki
kita sendiri (berdikari). Sebagai bukti bahwa manusia kerap menjadi
“makhluk latah”, ialah ketika penulis mengemudian kendaraan bermotor roda dua pada
satu ruas jalan protokol dalam kecepatan tinggi, tanpa penulis sadari telah
mengambil jalur yang keliru, memasuki cabang jalan menuju pintu masuk jalan tol
yang hanya dikhususkan bagi pengendara roda empat. Yang unik, pengendara motor
roda dua tidak dikenal yang mengekor di belakang kendaraan motor yang penulis
kendarai, telah ternyata turut masuk ke jalur keliru yang sama dan baru sadar
ketika penulis juga menyadari kekeliruan jalur yang kendaraan penulis masuki.
Penetrasi yang kerap dilakukan
oleh iklan, ialah berupa repetisi maupun komunikasi pesan yang dikemas dengan
penyampaian kesan yang berkesan (semisal “lagu jingle” yang “terngiang-ngiang” di kepala para pendengarnya selaku audiens). Iklan “dari mulut ke mulut”,
semisal testimoni dari seorang kerabat atau rekan dan teman, termasuk salah
satu bentuk penetrasi iklan yang menyasar pada media promosi “mulut ke mulut”,
dimana para “latah” akan menjadi “korban”-nya yang paling pertama. Seringkali,
apapun rekomendasi orang-orang, penilaian kita secara pribadi lebih akurat dan
lebih dapat diandalkan.
Di era informasi dimana
berbagai tayangan dan siaran membanjiri, kita perlu dan penting untuk melakukan
filter atau menyeleksi apa yang masuk ke dalam pikiran kita lewat pintu gerbang
indera mata dan telinga. Bila kita sangat penuh kewaspadaan dan selektif
terhadap apa yang masuk ke dalam mulut dan perut kita, tentu kita pun harus
menaruh perhatian dan waspada terhadap konsumsi apa yang masuk ke dalam pikiran
kita, baik pemberitaan tidak terkecuali propaganda maupun provokasi, tidak
terkecuali iklan pariwara yang kerapkali dikemas tidak secara transparan atau
hanya menonjolkan keunggulannya saja semisal dengan tidak menyuguhkan informasi
seputar “efek samping” atau kekurangan lainnya.
Bahkan kalangan pencopet pun
merupakan para manipulator yang ulung. Dua kejadian terpisah berikut merupakan
pengalaman nyata pribadi penulis yang akan sangat berharga untuk diketahui
modusnya oleh para pembaca, semata karena penulis yakini korban modus para
pencopet “licik” demikian sudah banyak berjatuhan. Kejadian pertama ialah
ketika penulis berjalan di sebuah trotoar, terdapat seseorang di depan jalan bersikap
seolah-olah diam berdiri sembari membaca buku, dan ketika penulis berjalan kian
dekat dengannya, mendadak dari arah belakang seseorang mendekati penulis dan
tanpa seizin penulis mengangkat keatas bagian mata kaki penulis (sungguh
lancang dan betapa sopannya?!), sementara perhatian penulis teralihkan kepada
sosok asing tidak dikenal dari arah belakang yang secara lancang mengangkat
kaki penulis, sosok yang tadi semula hanya berdiri diam seolah membaca buku
ternyata diam-diam dan seketika bergerak mendekat merogoh saku celana penulis
sementara perhatian penulis sedang teralihkan.
Beruntung satu tangan penulis
refleks melindungi saku celana, dan sesosok pria yang dengan tanpa permisi juga
tanpa seizin penulis telah mengangkat salah satu kaki penulis, kemudian
beralasan bahwa dirinya hendak mengambil benda yang terinjak oleh kaki penulis
meski sejak semua benda tersebut sudah ada di dalam genggaman tangannya (modus
berpura-pura mengambil benda yang terinjak oleh orang lain). Setelah berjarak
seratus meter berjalan berlalu, penulis menoleh ke belakang, dan kedua pria
tersebut tetap di tempat yang sama dan telah ternyata telah tiba juga di
samping mereka dua orang pengendara bermotor roda dua.
Komplotan pencopet, sekongkol
“berpura-pura”, yang rupa-rupanya modusnya ialah untuk mencopet dan kabur
menaiki pengendara bermotor yang telah siap untuk membawa kabur dan lari pelaku
serta hasil curian mereka. Itulah sebabnya, dalam kasus-kasus semacam itu,
warga semestinya dibolehkan membekali diri alat bela diri semacam pisau saku,
semata karena pelaku menang dari segi jumlah sehingga korban yang selalu lebih
takut kepada pelakunya yang “besar kepala” karena warga tidak diizinkan oleh
hukum untuk membawa senjata tajam untuk bela diri sekalipun.
Pada waktu lain di tempat
terpisah, di atas sebuah Jembatan Penyeberangan Orang (perhatikan, bila ada
orang di atasnya yang tidak mengerjakan apapun selain memerhatikan orang yang
melintas pada jembatan tersebut, maka patut diduga itu adalah kawanan pencopet
yang sedang menunggu “mangsa”), mendadak seseorang dari arah belakang membuka
risleting tas ransel kerja yang berada di belakang punggung penulis, dan sang
pencopet yang tengah beraksi tersebut tertangkap-tangan oleh penulis. Saat
penulis memergoki sang pelaku yang tengah sibuk beraksi membukai risleting tas
ransel penulis dan bertanya kepada pencopet tersebut, “Apa-apaan kamu, buka risleting tas ransel saya? Mau maling ya, kamu
sampai terbuka lebar risleting tas ransel saya?!”
Mendadak satu orang wanita muda
muncul mendekat, berpura-pura sebagai warga biasa justru memaki dan menuduh
penulis telah menuduh orang lain sebagai pencuri, lalu seorang pria lainnya
yang menunggu berdiri tak jauh dari lokasi turut menyerubungi penulis yang
hanya seorang diri untuk turut mengintimidasi mental penulis. Manipulasi ala
komplotan, menyaru sebagai warga yang netral, menghakimi penulis dengan tujuan
memberi kesempatan sang pencopet untuk berkelit dan melarikan diri, bahkan
menjadi ajang “maling teriak maling” dimana modusnya ialah para komplotan
tersebut sejak semula memang telah sekongkol untuk bersikap seolah-olah warga
biasa yang justru menghakimi dan mengkriminalisasi korban yang menangkap basah
pelakunya.
Sungguh, menghadapi modus-modus
kejahatan berupa manipulasi pikiran, terlebih korban kalah dari segi jumlah,
hanya Hukum Karma yang satu-satunya bisa menghentikan aksi para kriminil yang
bahkan berani tampil terang-terangan di ruang publik agar tiada lagi korban
berjatuhan, sekalipun lokasi kejadian ialah di pusat bisnis ibukota yang ramai
dimana para polisi lebih sibuk menilang kendaraan daripada benar-benar
melindungi masyarakat dari aksi-aksi kriminil jalanan. Penulis berteriak “Copet! Maling! Pencuri!”, namun para
warga sekitar ataupun yang melintas tiada yang mengambil hirau, bahkan petugas
pun seolah tidak mau merepotkan diri atau sudah lebih membekuk kriminil yang
seolah tiada habis-habisnya di republik ini—itu pun penjara sudah demikian “over capacity” sekalipun lebih banyak
laporan aduan korban yang ditelantarkan dan diabaikan pihak berwajib di
kepolisian.
Bila kita tidak punya kebiasaan
untuk berpikir di atas kaki kita sendiri atau berpikir untuk diri kita sendiri,
pastilah kita mengalami kondisi “putar balik logika moril”, seolah kita yang
memang telah bersalah karena dipersalahkan oleh dua orang lainnya (yang
seolah-olah warga netral) di lokasi kejadian, kita menjadi gusar, goyah, dan
tidak yakin pada penilaian dan pemikiran kita sendiri yang memang kurang
terlatih untuk “berdikari” dengan bersikap otonom dan independen dalam hal
berpikir, menilai, dan memutuskan. Karena itu, sering-sering-lah membiasakan
diri membuat respons seperti “Maunya saya
ialah...”, “Menurut penilaian dan
pengamatan saya...”, “Pendapat saya
tetap ialah...”, “Keputusan saya
ialah...”, “Pertimbangan saya
ialah...”, “Yang saya butuhkan
ialah...”, dan sebagainya, dimana keberanian dan ketegasan merupakan hak
kita selaku warga yang sederajat di mata hukum.
Tidak sedikit diantara kita,
yang tidak disadari telah menjadi korban dari “konvensi” masyarakat. Semisal,
ketika kita telah cukup berumur / dewasa, yang kerap ditanyakan kepada kita
ialah “Sudah menikah?”, atau “Sudah punya berapa orang anak?”,
seolah-olah membujang adalah “dosa” atau “tabu” itu sendiri. Sekalipun,
“menjomblo” merupakan hak asasi manusia untuk memilih berumah-tangga ataukah
hidup selibat ataupun membujang. Begitupula orang-orang yang terjerumus
minum-minuman keras, sekalipun hanya menyakiti diri, namun banyak diantara kita
yang memungkiri kejujurannya sendiri (bahwa minum alkohol dan mabuk adalah
“tidak enak” serta menyakiti diri sendiri disamping “konyol”) dengan semata
mengadopsi mentah-mentah pendapat umum bahwa minum-minuman beralkohol adalah
“enak” dan “nikmat”.
Menghisap asap tembakau,
“batuk”, sakit, tidak enak. Namun orang-orang yang tidak punya pikiran sendiri
akan mengikuti begitu saja konvensi ditengah masyarakat berupa budaya gemar
menghisap asap bakaran tembakau dan menganggapnya itu keren, macho, berani, dan
bahagia ataupun cara ampuh melepaskan tekanan hidup. Sekalipun kata hati
berkata itu “tidak enak”, “bodoh”, “menyakiti diri”, telah ternyata banyak
orang terjerumus akibat termakan opini lingkungan pergaulan yang membuat citra
seolah menghisap tembakau atau barang madat lainnya ialah pemberani dan jantan,
aksi tawuran adalah menyenangkan, atau berjud! adalah menggembirakan, klub
malam adalah kenikmatan, hingga pelesiran dengan wanita tuna susila adalah menu
sehari-hari para pria dewasa. Kesemua itu, seringkali berangkat bukan dari
kejujuran dari dalam diri, dimana yang lebih sering terjadi ialah terjadi “konflik
batin” namun mereka memilih membungkam “kata hati” dirinya demi demi berbaur
dan bersatu dengan “konvensi” semu ciptaan masyarakat umum tentang apa itu yang
“nikmat” dan yang “tidak nikmat”.
Jangan menjadi orang yang
“sungkan”-an, semata agar Anda tidak menjadi korban modus praktik hipnotis yang
sudah banyak memakan korban. Bila orang-orang menyebut kita orang yang keras,
tegas, ketus, “negative thinking”,
atau apapun itu, ingatlah selalu bahwa kita memiliki pikiran secara mandiri
untuk menilai dan memutuskan sendiri. Terlagipula, sebagaimana kata pepatah
: Jadilah orang baik, namun tanpa perlu membuang waktu untuk membuktikannya
kepada orang lain ataupun kepada dunia. Katakan para mereka, “Saya punya mata, pikiran, juga penilaian
saya sendiri. Saya berhak memutuskan dan membuat keputusan sendiri atas apa
yang menjadi urusan saya.” Anda baru boleh ramah seramah-ramahnya dan ber-“positive thinking” nanti, saat Anda
sudah menjadi penghuni alam surgawi bersama para dewata yang menghuninya.
Terkadang, seseorang tanpa
disadari turut memanipulasi dirinya sendiri akibat “latah”. Pernah terjadi,
seorang teman diberi “verbal bullying”
meski hanya bermaksud bercanda, namun tidak sehat secara psikologis (toxic influence), dengan mengatakan
kepada yang bersangkutan : “(Karena wajah
dan tubuhmu buruk, maka) Masih untung bila ada pria yang mau sama kamu untuk
dijadikan pacar atau istri!” Bila yang disindir justru merasa benar begitu
adanya, maka ia pun akan turut berkata pada dirinya sendiri di dalam batin, “Betul juga, masih untung bila ada yang mau
pada saya!” Jadilah, ia telah merendahkan dan memandang rendah nilai
dirinya sendiri. Bila sudah seperti itu, siapa yang akan memberi nilai
“berharga” bagi diri yang bersangkutan?
Menghargai diri, berbeda dengan
narsistik, namun mengasihi dan menaruh welas sih terhadap eksistensi diri kita
sendiri. Sedikit membahas perihal kepribadian narsistik, sejatinya mudah sekali
memanipulasi orang-orang yang narsistik. Orang dengan tipe narsistik, sekalipun
dirinya kurang berpunya atau hanya membebani ekonomi keluarga pencari nafkah,
demi dipuji atau diberi ucapan “terimakasih”, tidak akan sungkan memberikan
uang tips kepada siapapun itu yang ia nilai bisa membuat diri sang narsistik
dipuji atau diucapkan “terimakasih”. Tiada yang lebih mudah dimanipulasi
selain orang-orang yang bertipe irasional—dengan memahami sifat irasional yang
bersangkutan, maka metode manipulasi pikiran dapat dirancang dan diterapkan
secara efektif terhadap sang irasional. Banyak pelaku usaha yang memainkan
sifat irasional konsumen di pasar, lalu “menyetir” arah tren, hingga membentuk
harga pasaran (kartelisasi harga jual).
Jangan pula bersikap
seolah-olah sama sekali tidak punya daya tawar, dengan seketika masuk, menundukkan
diri, dan mengikuti aturan main maupun permainan orang lain, yang terlebih
itikad orang asing bersangkutan belum tentu baik terhadap kita atau bahkan
patut diragukan itikadnya. Jawab secara tegas, “Itu aturan main kamu, untuk apa saya mau patuh dan ikuti kemauan kamu
ataupun aturan kamu? Saya bebas dan merdeka, ini di ruang publik, dimana bukan
kamu tuan rumahnya. Mengapa juga jadi kamu yang menetapkan aturan main untuk
saya? Kalau mau ikuti aturan main saya, kalau tidak, maka sama sekali tidak
usah saja.” Jangan bersikap seolah-olah kita yang membutuhkan mereka.
Jangan pula biarkan diri kita didikte
dan disetir layaknya diinterograsi sekalipun mereka dan kita adalah sederajat
selaku sesama warga yang tidak lebih tinggi maupun lebih rendah harkat dan martabatnya
secara hukum maupun secara moril. Bila terdapat orang-orang yang kehendak atau
keinginannya tidak kita penuhi dan tidak mau kita ikuti, lantas mendadak murka
karenanya dan mengancam akan mengintimidasi hingga menganiaya kita (seolah-olah
kita punya kewajiban untuk menjadi “objek pemuas nafsu” yang bersangkutan),
jawablah tegas : “Terus, mau kamu apa?
Mau pukul dan aniaya saya? Berarti kamu tidak takut buat dosa, dengan menyakiti
ataupun melukai orang lain. Kamu bukan orang yang baik-baik, kamu orang yang
TIDAK BENAR!”
Lebih baik disakiti, daripada
menyakiti dan mengkhinati diri kita sendiri. Terkadang dan seringkali, kita harus tampil
berani sekalipun sedang dicekam oleh kepanikan dan ketakutan yang melanda
psikis / mental kita. Atau, cukup katakan ini pada diri kita sendiri bila
mental kita letih selama ini banyak terkuras untuk berdebat setiap kali
berjumpa dengan orang-orang irasional yang kita jumpai di keseharian, “Kita bisa melanjutkan hidup, sekalipun tidak
dimengerti oleh orang lain, juga tanpa mendebat orang-orang yang tidak
sependapat dengan kita sekalipun juga kita tidak sependapat dengan mereka.
Itulah yang disebut sebagai ‘positive thinking’.” Kepada orang lain, kita
perlu memiliki derajat minimum “negative
thinking”. Namun, terhadap diri kita sendiri, kita perlu menerapkan derajat
paling minimum “positive thinking”.
Penulis pun pernah mengenal
seseorang yang cara berdialognya sangat menyerupai penyidik kepolisian sedang
menginterogasi seorang tersangka, memaksa lawan bicara untuk menjawab setiap
pertanyaan yang dilontarkan olehnya hingga membuat dirinya merasa terpuaskan
karena “selalu diladeni”. Sekalipun penulis tidak suka menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya privasi, dimana privasi adalah hal-hal
sensitif yang tidak perlu ditanyakan juga tidak perlu memaksakan orang lain
untuk menjawabnya, dimana si penanya tidak memahami makna implisit dibalik
sikap diam penulis yang artinya tidak bersedia menjawab, yang bersangkutan
terus saja memaksakan diri dengan mendesak penulis untuk menjawabnya dengan
terus-menerus menanyakan dan mengulangi pertanyaan yang sama, sehingga agar tidak
lagi mengganggu maka penulis jawab sesuai keinginannya agar terpuaskan dengan
harapan agar dirinya lekas diam.
Namun, memuaskan mereka
bukanlah solusi jangka panjang, hanya temporer saja, karena “biang” masalahnya
akan tetap ada di situ untuk kembali merongrong kita di waktu yang akan datang.
Solusi yang paling ideal ialah, dengan dengan tidak bersikap seolah-olah kita
punya kewajiban, dan tidak pula bersikap seolah-olah kita tidak punya hak.
Untuk kasus-kasus serupa, maka jawablah cukup sesingkat respons berikut : “Saya punya hak untuk diam!” atau semacam “Saya punya hak untuk tidak menjawab!” Bila ia tidak
menghargai pendirian dan pilihan bebas kita, maka lebih baik tidak memaksakan
diri untuk berteman dengan diri sang manipulator yang memanipulasi “rasa sungkan”
dalam diri kita. Orang semacam itu, yang gemar memaksa, bukanlah sahabat, namun
pencuri kebebasan berkehendak diri kita bila tidak dapat disebut sebagai
“penjajah” kemerdekaan untuk berbicara ataupun tidak berbicara.
Sebagai pelengkap, penulis dalam
perjalanan hidup selama puluhan tahun ini kemudian menciptakan dan merumuskan
berbagai kredo yang cukup berharga dan bermanfaat bagi para pembaca, sebagai
bekal untuk membentengi diri dari berbagai manipulasi pikiran. Berikut penulis
uraikan berbagai kredo ciptaan penulis (karenanya merupakan hak cipta
pribadi Hery Shietra selaku penulis artikel ini, kecuali disebutkan lain),
yang bisa para pembaca terapkan latihannya lewat metode “self talk” dengan repetisi setiap kali kita menjumpai
masalah-masalah dalam kehidupan yang bersentuhan dengan orang-orang lain di
luar sana:
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri.
- Jika merasa sungkan, rasa
bersalah, atau rasa takut, maka jangan tunjukkan, agar tidak “dimakan” oleh
orang lain.
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya daya tawar maupun pilihan bebas serta opsi lain untuk dipilih.
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya syarat. (Kita punya syarat dan berhak punya syarat ketika seseorang
meminta sesuatu dari kita.)
- Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya hak untuk menolak dan berkata “TIDAK” ataupun untuk menyatakan
berkeberatan sebagai “tidak setuju” atau “Saya
keberatan!”.
- Jangan bersikap seolah-olah
punya kewajiban terlebih bersikap seolah-olah hanya punya kewajiban kepada
orang lain. (Kita juga punya kewajiban kepada diri kita sendiri.)
- Jangan bersikap seolah bukan
individu atau pribadi yang bebas dan merdeka. (Kita adalah warga dari bangsa
yang merdeka dari penjajahan orang asing maupun penjajahan oleh sesama anak
bangsa.)
- Kita tidak butuh izin dari
orang lain atas pilihan hidup kita sendiri, juga tidak butuh komentar orang
lain atas hidup kita sendiri.
- Lebih baik disakiti ataupun
dilecehkan, daripada menyakiti diri kita sendiri.
- Adalah delusi, ketika kita
berpikir bahwa bersikap lemah, takut, dan lembek maka kita akan dihormati dan
dihargai oleh orang lain.
- Saya memang berbeda dan tetap
akan berbeda dengan mereka, karenanya punya hak untuk “tampil beda”.
- Jangan bersikap seolah-olah
hanya orang lain yang punya hak dan kita tidak punya hak serupa.
- Jangan bersikap seolah-olah
kita punya kewajiban sementara itu orang lain tidak punya kewajiban sama sekali
ataupun kewajiban serupa terhadap diri kita.
- Jangan bersikap seolah-olah
hanya orang lain yang patut diperlakukan secara baik, sabar, lembut, dan patut.
- Be a good person, but don't waste time to prove it. (Pepatah
Inggris yang penulis kutip, pencipta tidak dikenal namanya, anonim.)
- Itu urusan kalian, urusan
saya ialah urus urusan saya sendiri pribadi. (Itulah yang disebut
profesionalisme, profesional terhadap orang lain, juga profesional terhadap
diri kita sendiri.)
- Saya tetap bisa melanjutkan
hidup sekalipun tanpa “itu”.
- Saya punya hak untuk “tidak
ikut-ikutan” serta untuk “keluar” (option
out) sewaktu-waktu jika memang tidak lagi berfaedah bagi kebaikan saya.
- Itu kata kamu, bukan kata
maupun pendapat saya pribadi.
- Bersikap seolah tidak perlu
dihargai, (maka) akan dihargai orang, itu adalah DELUSI. (Justru kita akan kian
diremehkan dan disepelekan oleh orang lain, semata karena kita sendiri bersikap
seolah tidak perlu dihargai.)
- Janganlah bersikap tidak adil
terhadap diri kita sendiri dengan bersikap seolah-olah tidak perlu diberikan
keadilan.
- MEMANG, lalu kamu mau apa?
(Biasanya bila orang lain menuding kita sesuatu, kita jawab dengan respons
seperti itu akan membuat mereka bungkam untuk seterusnya alih-alih “menggoreng
isu yang sama berlarut-larut”.)
- Bukan cuma kamu, yang punya
sudut pandang, mata dan telinga untuk melihat dan mendengarkan, maupun yang
punya kepentingan di sini. (Kita harus juga utarakan dari kepentingan serta
sudut pandang kita. Jika ada orang-orang yang berkelit atas perbuatannya dengan
balik menuding pendengaran atau mata kita sebagai “rabun”, jawablah “Kini kamu mau bilang, saya tuli, buta, dan
sudah pikun?!”.)
- Kita bersikap maklum terhadap
orang lain. Namun, mengapa kita tidak memaklumi diri sendiri dan menuntut pula
dimaklumi secara bertimbal-balik oleh mereka? (Resiprositas, tidak sepihak dan “tidak
bertepuk sebelah tangan”. Saling memaklumi, saling memberi, saling menolong,
saling mengerti, itulah baru yang sehat sifatnya dan patut dipertahankan
relasinya.)
Diantara seluruh koleksi kredo
ciptaan penulis, kredo paling penting sebagai benteng bagi kita dari
modus-modus manipulasi pikiran, ialah kredo : “Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri.” Terdapat
sebentuk kekuatan psikis dibalik kredo tersebut, yang memberikan kita rasa
tegar dan keberanian untuk menjalankan hidup sekalipun dunia ini jauh dari kata
sempurna dan tidaklah ideal adanya, juga tidak sesuai harapan kita. Sekalipun
seribu orang menyatakan kita keliru, tetaplah berani berdiri diatas kaki dan
pikiran kita sendiri—itulah yang disebut sebagai “swasembada diri” dan
“ketahanan mental”.
Apapun yang terjadi, jangan
tunjukkan rasa takut, rasa bersalah yang irasional (terlampau moralis
berlebihan), ataupun sungkan agar tidak dimakan dan dibodohi secara konyol oleh
orang lain. Jika itu tidak baik bagi diri kita, maka itu bukanlah perbuatan
baik, maka jangan lakukan dan jangan biarkan itu terjadi oleh diri kita terhadap
diri kita sendiri. Perlakukan diri kita secara penuh welas asih dan adil,
karena bila tidak, siapa lagi? Ketika kita menghargai diri kita, maka kita
menjadi patut dihargai.
Kita merupakan pribadi yang
bebas dan merdeka untuk menentukan sikap ataupun nasib kita sendiri, miliki
pikiran diatas kaki kita sendiri untuk menilai dan memutuskan dan bersikap.
Jangan bersikap seolah-olah tidak punya daya tawar dan pilihan bebas untuk
berkata “tidak” dan menolak perlakuan yang tidak baik bagi diri kita oleh orang
lain. Berbagai kredo ciptaan penulis pribadi di atas, perlu dilatih secara “self talk” secara berkala maupun secara
sporadik, untuk sepanjang hayat kita. Cobalah menjadi guru pendidik bagi diri
kita sendiri, dan lihatlah betapa sukarnya mendidik diri kita sendiri—meski
bukanlah hal mustahil lewat pembiasaan dan pengkondisian yang tepat.
Bahkan, berbagai kredo di atas
masih pula dilatih oleh penulis selaku pencipta kredo-kredo di atas dalam
rangka internalisasi pola berpikir baru yang perlu kita biasakan dan
kondisikan, agar siap saat harus menghadapi momen-momen krusial yang tidak kita
harapkan dan tidak kita duga, sehingga respons yang kita tampilkan sekalipun
secara spontanitas ialah sesuai apa yang telah kita programkan kedalam pikiran
serta alam sadar maupun alam bawah sadar kita. Begitulah, kiat bagi kita dalam
membangun benteng mental diri dari manipulasi pikiran pihak-pihak eksternal
yang belum tentu baik itikadnya terhadap kebaikan diri kita. Jika Anda sudah
benar-benar menguasainya, maka Anda patut menyandang gelar “Master Kehidupan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.