SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
Question: Mengapa banyak orang bilang bahwa dunia ini tidak adil? Rasanya sudah letih juga bosan, mengeluhkan ketidakadilan dunia ini kepada Tuhan saat berdoa, sama sekali tidak ada perubahan ke arah perbaikan.
Brief Answer: Mungkin yang lebih tepat ialah bukan dunia ini
yang tidak adil, namun justru penggambaran umat manusia terhadap Tuhan (agama
samawi) yang dipersepsikan sebagai tidak adil. Betapa tidak, Tuhan
diilustrasikan sebagai lebih PRO terhadap kaum pendosa ketimbang nasib para
korban dari para pendosa (penjahat yang telah berbuat jahat seperti melukai,
merugikan, ataupun menyakiti para korbannya), lewat iming-iming janji-janji
surgawi bernama “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
PEMBAHASAN:
Betapa merusaknya ideologi “korup”
semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, yang membuat
umat manusia meremehkan perbuatan buruk dan jahatnya seperti
menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain, dan disaat bersamaan menyepelekan
perasaan korban-korban mereka yang terluka, sakit, maupun merugi,
disamping traumatik yang bisa jadi tidak temporer adanya. Pemeluknya,
ketika terpapar, pada mulanya bisa jadi adalah seseorang yang toleran terhadap
kaum yang berbeda dan tidak kompromistis terhadap perbuatan jahat, maka ketika
mulai memeluk dan mengimaninya akan menjelma menjadi pribadi yang sebaliknya :
intoleran terhadap kaum yang berbeda, dan disaat bersamaan kompromistik
terhadap dosa maupun terhadap maksiat.
Sebelum lahir dan muncul ke
muka Bumi ini ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun
“penebusan dosa”, tiada orang-orang jahat yang yakin akan masuk alam surgawi setelah
ajal dirinya menjelang—yang ironinya, justru disebut sebagai zaman “jahil”. Kini,
ketika “Agama DOSA” (alih-alih “Agama SUCI”) lahir mempromosikan dan
mengkampanyekan “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, para
pemeluknya berbondong-bondong serta berlomba-lomba mengoleksi dosa, mencetak /
memproduksi dosa, berkubang dalam dosa, berlumuran dosa, menimbun diri dengan
segunung dosa, bangga alih-alih malu ataupun takut, bahkan menjadikannya bagian
dari “halal lifestyle” alih-alih menjadikannya
tabu, masih pula mengharap atau bahkan yakin telah mengantungi tiket masuk alam
surgawi setelah para pendosa tersebut meninggal dunia--alias jauh lebih “jahil”.
Bahaya kedua dibalik “Agama
DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA” (tentunya) yang selama ini menjangkiti
umat manusia bagaikan “virus pikiran”, ialah ideologi barbarik “hewanis”, “premanis”,
serta “predatoris”—alih-alih “humanis” ataupun “Tuhanis”—dimana diberlaku satu
aturan main utama yang polanya selalu serupa serta selalu berulang, yakni : MENYELESAIKAN
SETIAP MASALAH DENGAN KEKERASAN FISIK, jika perlu selesaikan dengan cara
MEMBUNUH para penentang ataupun untuk membungkam para korban mereka yang
menjerit lantang. Pakai kekerasan fisik, habis perkara dan beres masalah—suatu
ideologi sikap yang bahkan dikampanyekan dan dipromosikan oleh “Kitab DOSA”
milik “Agama DOSA” bagi para umat “PENDOSA”. Tidak takut dosa? Tentu tidak!—semata agar tidak mubazir, iming-iming
dan janji-janji surgawi berupa “pengampunan / penghapusan dosa” maupun
“penebusan dosa”.
“BUAT DOSA? SIAPA TAKUT?!”,
ttulah motto favorit mereka yang kerap dikumandangkan para pendosa dan pemeluk “Agama
DOSA”, tanpa rasa malu ataupun takut berbuat jahat seperti menyakiti, melukai,
maupun merugikan orang lain. Berikut penulis kutipkan beberapa ajaran dalam “Agama
DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”—alih-alih “Agama SUCI”
yang bersumber dari “Kitab SUCI”:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Karena itulah, percuma lapor
polisi bila Anda adalah korban kejahatan para penjahat yang berdosa? Lebih percuma
lapor kepada Tuhan, yang jelas-jelas lebih PRO terhadap penjahat ataupun
pendosa apapun dan manapun. Karena itulah juga, percuma minta tolong kepada
polisi yang juga pemeluk “Agama DOSA” yang sama dengan penjahat (pendosa) yang hendak
kita laporkan? Lebih percuma lagi minta tolong kepada Tuhan, yang jelas-jelas mengkampanyekan
“siapa yang kuat dan JAHAT (pendosa), dia yang survive”. Berikut inilah yang selalu dikumandangkan oleh para
pendosa (pemeluk “Agama DOSA”) tersebut ketika menyakiti korban-korbannya : “Masih untung kamu tidak saya BUNUH, tapi
sekadar saya lukai dan aniaya ataupun rugikan! Orang baik, adalah MANGSA EMPUK!”
Ideologi korup semacam “pengampunan
/ penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, jelas-jelas hanya dibutuhkan dan
dipeluk oleh seorang PENDOSA yang berlumuran DOSA (BERDOSA). Menjadi lebih abrsurd,
ketika seorang pendosa atau seorang pemeluk “Agama DOSA” hendak berceramah perihal
hidup suci, mulia, luhur, dan baik—toh Tuhan yang menjadi panutan dan yang
mereka sembah saja, lebih suka “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan
fisik” serta lebih PRO terhadap pendosa alih-alih kepada korban. Sudah sepatutnya
mereka merasa malu dan inferior—alih-alih tanpa malu merasa lebih superior—terhadap
atau bila dibandingkan dengan para suciwan pemeluk “Agama SUCI” maupun para ksatria
pemeluk “Agama KSATRIA”.
Seorang suciwan, tidak pernah
membutuhkan iming-iming ataupun janji-janji surgawi semacam “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, namun semata mengandalkan komitmen
untuk mawas diri, penuh pengendalian diri, serta penuh perhatian terhadap
perbuatan dan ucapan diri sendiri, agar tidak mencemari diri dengan perbuatan-perbuatan
buruk dan tercela seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain tidak
terkecuali terhadap mahkluk hidup lainnya. Para suciwan, adalah suci, tidak
ternoda dan tidak tercemar, tidak pula dapat dicela tindak-tanduk perilakunya
oleh para bijaksanawan. Memuliakan Tuhan, adalah dengan menjadi manusia yang
mulia, setidaknya dengan menjadi manusia yang bertanggung-jawab.
Serupa dengan itu, para ksatria
bisa jadi masih dapat atau bahkan juga telah pernah menyakiti, merugikan,
ataupun melukai pihak lain. Namun, kontras sikap mental yang membedakan seorang
ksatria dari para pendosa, bila seorang ksatria tidak pernah berkelit
ataupun mencari alibi seribu satu alasan, maka seorang pendosa lebih sibuk
berdalih, “lempar batu sembunyi tangan”, hingga “maling teriak maling” ataupun “lebih
galak yang ditegur daripada pihak korban yang menegur”. Korban, yang kemudian
harus mengemis-ngemis apa yang memang menjadi haknya tersebut (tanggung-jawab pelaku).
Perbedaan kedua, seorang
ksatria akan memiliki inisiatif atau kesadaran pribadi untuk bertanggung-jawab
secara adil, setimpal, proporsional, tanpa harus menunggu dituntut oleh pihak
korban, yang mana bahkan korban yang tidak menyadari dirinya telah dilukai atau
merugi pun akan disampaikan secara transparan oleh sang ksatria akibat imbas perilaku
atau perbuatannya. Sebaliknya, para pendosa akan memanipulasi korban sehingga
sang korban merasa bahwa derita yang diderita olehnya merupakan akibat
perbuatan sang korban itu sendiri, “tabrak lari” (hit and run), merancang modus terselubung yang sukar disadari
korban, atau memandang bahwa korban yang gagal dalam menuntut haknya atas
ganti-rugi atau gagal meminta tanggung-jawab sang pelaku adalah sebentuk
keuntungan bagi sang pendosa.
Menurut para pembaca, manakah
yang merupakan rammatan bagi segenap semesta dan bagi umat manusia maupun peradaban?
“Agama DOSA” milik para Pendosa, “Agama SUCI” yang dianut oleh para Suciwan,
ataukah “Agama KSATRIA” yang diusung dan dijunjung tinggi oleh para Ksatria?
Nyaman atau risihkah kita, hidup berdampingan satu atap dunia dengan para
pendosa yang memiliki motto “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?”, yang mana sewaktu-waktu kita
dapat “dimakan” bila tidak “memakan”, “merugi” menjadi korban ataukah “untung”
mengorbankan pihak lain?
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.