SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
Orang Suci pun Sesekali Perlu Menunjukkan TARING TAJAM-nya agar Tidak Dijadikan Objek BULLYING Tangan-Tangan Nakal
Hanya seorang Pengecut, yang Menjadikan Orang-Orang
Baik sebagai MANGSA EMPUK
Question: Jika Agama Buddha memang adalah agama yang baik dan suci, mengapa para umatnya masih bisa marah dan galak kepada orang lain?
Brief Answer: Para umat Buddhist, bukanlah seonggok mayat
ataupun sebongkah batu yang hanya bisa (dan seolah hanya boleh) diam seribu
bahasa ketika disakiti, seolah-olah tidak punya hak untuk berteriak dan
menjerit kesakitan ketika disakiti pihak lainnya. Jangan mentang-mentang umat
agama Buddha diajarkan untuk menjalankan praktik latihan “ahimsa” (tanpa kekerasan fisik), maka seolah-olah membenarkan orang
lain untuk bersikap seenaknya maupun sewenang-wenang terhadap umat Buddhist. Orang
baik bukanlah “mangsa empuk”, itu adalah perspektif kalangan pengecut dan
pecundang kehidupan.
Apakah umat Buddhist tidak memiliki hak sama
dengan Anda untuk turut menuntut keadilan dan diperlakukan secara patut, adil,
dan layak? Apakah para umat Buddhist hanya memiliki kewajiban untuk bersikap pasif-pasrah
berdiam diri, bungkam, menunggu untuk terus-menerus diperlakukan secara tidak
patut dan tidak adil sampai “titik darah penghabisan” (berdiam diri sampai mati
akibat disakiti dengan mengatas-namakan kesabaran diri)? Itu bukanlah ajaran
Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan, “Perbuatan
baik artinya, tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri kita
sendiri.”
Umat Buddhist juga bukalah “sasaran empuk” untuk
dijadikan “mangsa empuk” siapapun, serta pula bukan karung sam-sak untuk
dijadikan sasaran pukulan tinju untuk disarangkan oleh pihak-pihak manapun,
yang seakan tidak boleh melindungi / bela diri ataupun melakukan perlawanan
sengit ketika diperlakukan secara tidak layak dan tidak patut atas keselamatan
maupun martabatnya. Sebagaimana dituturkan dalam Tipitaka bagian “Jataka”,
maupun disampaikan oleh seorang bhikkhu bernama Ajhan Brahm, “Seseorang yang suci sekalipun, sesekali
perlu menunjukkan taringnya bilamana keadaan memerlukannya (semata agar tidak menjadi
objek bullying).”
Selalu terdapat perbedaan yang hakiki antara bersikap
sabar dan bersikap bodoh, sehingga mengapa harus disamakan dengan ajaran
Kristiani yang lebih ekstrim lagi (namun tidak pernah benar-benar dijalankan
para Kristen, akibat minimnya iman mereka atas agama mereka sendiri) : “Ditampar piki kanan, (maka) berikan pipi
kiri Anda untuk juga (turut) ditampar”—disamping tidak bijaksana, juga
tidak mencerdaskan.
PEMBAHASAN:
Umat Buddhist, bukanlah objek
pemuas nafsu siapapun. Karenanya, bukanlah alasan “pembenar” bagi pihak manapun
untuk menuntut kami, para umat Buddhist untuk bersikap sabar dan pemurah, namun
disaat bersamaan Anda atau pihak manapun lainnya berperilaku tercela, tidak
patut dan tidak layak terhadap kami. Diperlakukan secara manusiawi, tidak
merendahkan martabat, serta diberikan keadilan, adalah hak asasi manusia, tidak
terkecuali hak asasi para Buddhist, dimana sekadar memakai hak bukanlah hal
yang tabu terlebih “dosa”—justru sebaliknya, pihak-pihak yang mencoba merampas hak-hak
kami-lah, yang sepatutnya dialamatkan cela dan kritik.
Yang sejatinya lebih patut
diberikan komentar negatif, ialah praktik ajaran agama non-Buddhist, dimana digambarkan
bahwa Tuhan seolah-olah lebih PRO terhadap PENDOSA (penjahat yang telah
menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain), dengan memberikan iming-iming
penuh kecurangan berupa janji-janji surgawi “pengampunan / penghapusan dosa”
maupun “penebusan dosa”—dimana “untung” bagi pelaku kejahatan yang berdosa dan
berlinang dosa, disaat bersamaan menjadi “ke-RUGI-an” bagi korban-korban para
pendosa tersebut yang terus bertumbangan—sekalipun kita mengetahui bahwa “hanya
seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan dosa”.
Tidak heran bila masyarakat kita
yang notabene para pendosa atau para pelanggan ideologi “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, tidak pernah bersikap “victim friendly”, semata memakai
perspektif pelaku kejahatan alias prinsip “sesama para pendosa dilarang saling mengkritik”.
Bila Tuhan diilustrasikan tidak memiliki “sense
of justice”, maka menjadi tuntutan yang berlebihan bila kita mengharapkan masyarakat
kita memiliki nurani berkeadilan terlebih memerhatikan nasib para korban.
Bila Tuhan yang “Tuhanis” demikian
kompromistis terhadap pendosa (penjahat), maka bagaimana dengan hakim maupun
manusia lainnya yang “humanis” ketika dihadapkan seorang penjahat untuk diadili?
Maka, bagaimana pula dengan sikap para umatnya yang kini menjelma kompromistis
terhadap dosa dan maksiat, namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap
kaum yang berbeda keyakinan? Lantas, bagaimana dengan nasib korban-korban para
pendosa tersebut? Bagaimana ceritanya, seorang pendosa hendak berceramah
perihal hidup suci, baik, dan mulia kepada para pendosa lainnya? Ibarat orang
buta hendak menuntun orang-orang buta lainnya.
Para siswa Sang Buddha,
berlatih disiplin moralitas bukan dalam rangka menjadi “mangsa empuk” ataupun
menjadi “sasaran empuk” karung sam-sak bagi pihak lainnya untuk melakukan
kekerasan fisik penganiayaan ataupun kejahatan lainnya yang dapat membuat kami
menderita sakit, luka, maupun merugi. Berikut inilah, cara umat Buddhist
beriman dan beribadah serta berperilaku dalam kehidupan konkret dikeseharian
sebagai umat perumah-tangga maupun para anggota monastik:
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek
bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”,
begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak
menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal
makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan
batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada
183-184-185, Syair Gatha.]
Ketika mereka yang menyebut
dirinya sebagai umat Agama Buddha, namun bersikap buruk dan tercela, maka sang
umat sejatinya telah menyimpang dari ajaran Sang Buddha, sebagaimana sikap
Devadatta yang justru menyakiti gurunya sendiri, Sang Buddha. Hanya ketika
seorang umat Agama Buddha benar-benar berjalan lurus dijalan kemurnian,
kebaikan, kebajikan, keluhuran, kemuliaan, hingga kesucian, maka sang umat
barulah dapat disebut sebagai siswa dan siswi yang sejati dari Sang Buddha,
telah bersikap patut dan layak yang tidak dapat dicela oleh para bijaksanawan.
Menuding umat Agama Buddha
sebagai pihak yang paling patut dikritik dan dicela semata karena menjerit
ketika disakiti (meski menjerit karena kesakitan adalah hal yang lazim dan
lumrah saja sebagai hal yang manusiawi), ibarat “gajah di depan mata tidak
terlihat, namun semut di seberang samudera ditunjuk-tunjuk”. Sandingkan dengan ajaran-ajaran
sebagaimana diusung oleh “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab
DOSA”—semata karena mempromosikan dosa dan maksiat, alih-alih mengkampanyekan
cara hidup yang suci dan mulia—sekalipun diklaim dengan judul kemasan sampulnya
sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Ketika para umat “Agama DOSA”
tersebut, justru bersikap moderat dengan bersikap toleran, alih-alih “haus
darah”, maka para umat tersebut sejatinya telah menyimpang dari “Kitab DOSA”
yang mereka peluk dan yakini sebagai agama mereka. Sebaliknya, ketika para umat
“Agama DOSA” bersangkutan bersikap intoleran, radikal, fanatisme berlebihan,
ekstremis, barbarik, predatoris, hewanis, premanis, diktator, otoriter, suka
main kekerasan fisik, main hakim sendiri, tidak takut berbuat dosa, barulah
dapat disebut beriman dan patuh terhadap “Kitab DOSA” yang mereka imani dan
peluk. Daripada menunggu “mati konyol” dibunuh oleh para umat “Agama DOSA” yang
radikal dan “haus darah”, bukankah lebih baik kita bunuh terlebih dahulu para “pendosa
yang tidak takut dosa namun masih juga mengharap masuk surga” tersebut, sebagai
sebentuk affirmative action?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.