SENI SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
Question: Terkadang lucu, ketika kita disakiti oleh
seseorang, masyarakat kita justru cenderung turut menghakimi kita (korban)
ketika berteriak dan menjerit protes penuh kesakitan, sebagai “tidak sopan”,
“sudah gila”, “tidak waras”, dan kata-kata menyudutkan lainnya seolah-olah belum
cukup luka jiwa yang diderita korban. Memangnya ada orang yang kesakitan karena
disakiti, lalu menjerit dengan cara yang sopan dan santun? Memangnya yang
menyakiti kita, perilakunya itu sudah “sopan”?
Jika mendapatkan atau menghadapi kejadian yang sangat melukai rasa keadilan dan nurani demikian, apa yang dapat kita lakukan, atau setidaknya dapat kita katakan sebagai tanggapan agar tidak terus-menerus di-diskredit secara tidak patut oleh masyarakat kita yang suka sembarangan menilai, berkomentar, maupun menghakimi?
Brief Answer: Sense of
justice masyarakat di Indonesia, sayangnya, masih tumpul dan patut kita
turut merasa prihatin atas kondisi dan fenomena demikian. Orang yang lemah dan
terutama yang sedang tertindas, secara sosiologi (meski kurang sehat, kultur
atau budaya masyarakat yang “sakit”), memang lebih cenderung untuk menjadi
objek “bullying”, tidak terkecuali
perundungan secara verbal. Orang-orang baik dan lemah, cenderung menjadi “mangsa
empuk”.
Bahkan, fenomena global memperlihatkan gejala “cyber bullying” yang tidak kalah
memprihatinkan, sehingga dikabarkan banyak korban yang pada akhirnya terdesak
untuk mengakhiri hidupnya dengan cara “bunuh diri” setelah secara mental tidak
kuasa membendung tekanan mental dari masyarakat yang gemar menyepelekan
perasaan seorang korban.
Kita tetap dapat melanjutkan
hidup, sekalipun semua orang salah paham dan gagal memahami kondisi dan latar
belakang kehidupan kita—itulah, yang disebut sebagai “positive
thinking”. Sebagaimana kata pepatah, “Be a good person, but don’t waste time to prove it.” Cukup kita seorang diri yang
mengetahui betul siapa diri kita, kita tidak butuh komentar orang lain. Keadaan
dan kondisi yang kita hadapi ketika berada di tengah masyarakat, cenderung
tidak ideal adanya (harap maklum, ini adalah dunia manusia, bukan dunia
surgawi), sehingga berikut inilah panduan hidup ketika kita menghadapi kondisi
yang menyudutkan diri kita : Lebih baik difitnah, disakiti, dan dilecehkan,
daripada kita menyakiti ataupun merugikan diri kita sendiri. Jadikan kredo
tersebut sebagai “mantra”, lewat teknik “self
talk” dalam rangka menguatkan mental kita agar tegar.
Tidaklah penting untuk menjelaskan kepada
orang-orang yang “tidak penting” demikian—terlagi pula, betul tentu mereka mau
memahami penjelasan diri kita, sehingga untuk apa pula kita mengemis-ngemis
minta dipahami seolah kita butuh komentar ataupun izin dari orang lain untuk
hidup sebagai individu yang bebas dan merdeka dari penjajahan siapapun. Jangan
bersikap seolah-olah kita tidak punya pikiran untuk menilai dan membuat
keputusan sendiri. Bisa jadi kita merasa takut, sungkan, malu, merasa bersalah
(secara irasional), namun jangan tunjukkan hal tersebut kepada orang lain,
semata agar kita tidak “dimakan”.
Meski demikian, bila memang kita merasa tidak
dapat berdiam diri mendapati segala perlakuan tidak patut oleh masyarakat kita
yang entah bagaimana kulturnya tidak “friendly”
terhadap kalangan korban, seolah-olah menjadi atau dijadikan korban adalah hal
yang “tabu” sehingga harus menyembunyikan diri, berikut penulis bagikan
kontra-narasi yang dapat para pembaca utarakan secara verbal, cukup sesingkat
dua kalimat yang sangat efektif berikut:
“Lucu sekali, korban Anda
lecehkan, pelakunya justru Anda bela dengan tidak Anda kritik. Anda
tidak cocok bila menjadi seorang hakim, apalagi merasa berhak untuk menghakimi
orang lain.”
PEMBAHASAN:
Mungkin ada diantara para
pembaca yang kemudian bertanya, karena timbul pertanyaan di benak yakni sebuah
pertanyaan menggelitik sebagai akibat penjelasan di atas, “Mengapa masyarakat kita lebih cenderung tidak PRO terhadap kalangan
korban?”, yang secara tidak langsung dapat dimaknai sebagai “masyarakat
lebih PRO dan lebih kompromistis terhadap pelaku kejahatan (penjahat, pendosa,
dsb)”, apakah akar penyebabnya?
Masyarakat Indonesia tergolong
sebagai bangsa yang “agamais”, kita semua sudah tahu akan hal itu. Justru,
karena itulah, masyarakat kita (menjadi) memiliki paradigma berpikir yang sama
sekali jauh dari “victim friendly”.
Sebagaimana kita ketahui, Tuhan yang disembah dan diyakini mayoritas masyarakat
kita di Indonesia, digambarkan sebagai memberikan iming-iming janji-janji
surgawi bernama “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”—alhasil, mayoritas masyarakat kita berbondong-bondong dan berlomba-lomba
menjadi pendosa, menimbun diri dengan dosa, mengoleksi dosa, berkubang dosa,
produktif dalam dosa, semata karena “RUGI” bila tidak berbuat dosa seperti
tidak merugikan, menyakiti, ataupun melukai warga lainnya.
Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan
ideologi “korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan
dosa”. Lantas, bagaimana dengan
nasib korban? Lihatlah serta tengoklah sendiri ceramah dan doa-doa para
“agamais” tersebut lewat pengeras suara tempat ibadah mereka, setiap hari
dengan rajinnya mereka mempertontonkan secara vulgar permohonan “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, seolah-olah bukan hal yang tabu
ataupun memalukan namun sudah menjadi menu konsumsi sehari-hari, setiap hari
raya keagamaan mengharap serta memohon “pengampunan / penghapusan dosa” maupun
“penebusan dosa”, bahkan ketika terdapat anggota keluarga mereka yang meninggal
dunia maka “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang
dimohonkan kepada Tuhan mereka.
Artinya, tidak satupun ajaran
agama yang mereka peluk, memberikan empati dengan memperhatikan terlebih
mengakomodasi aspirasi dan suara jeritan korban, terlebih “bahasa kasih”
ataupun kepedulian. Dimana keadilan bagi korban? Bagaimana dengan nasib korban?
Tuhan mereka bungkam, semata karena Tuhan mereka lebih PRO terhadap pendosa.
Bila Tuhan (yang mereka yakini) saja lebih PRO terhadap pendosa, maka terlebih
masyarakat “agamais” pada umumnya yang hanya sekadar meneladani Tuhan mereka?
Itulah sebabnya, menjadi korban tidak pernah menguntungkan posisinya secara
politis maupun secara sosiologi, yang ironisnya terjadi di negeri “agamais”
ini.
Sebagai antinomi dari “Agama
DOSA” demikian—agama yang mengiming-imingi “pengampunan / penghapusan dosa”
maupun “penebusan dosa”—dikenal juga agama “non-samawi” seperti “Agama SUCI”
bagi para suciwan yang tidak pernah membutuhkan iming-iming “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”; serta “Agama KSATRIA” bagi
para ksatria yang tidak pernah lari dari tanggung-jawabnya terhadap korban perbuatan
mereka yang sekalipun tidak suci dan telah pernah berbuat keliru terhadap pihak
lain namun para ksatria tersebut akan tampil secara inisiatif pribadinya untuk
bertanggung-jawab secara penuh alih-alih berkelit seribu satu kata.
Sebagai penutup, penulis
bagikan pula satu tips berupa argumentasi verbal ketika kita mendapati warga
lain melontarkan pernyataan ataupun perkataan dan kalimat yang tidak bersikap
menguntungkan bagi kedua belah pihak—alias hanya menguntungkan pihaknya sendiri
semata—agar tidak terjadi kondisi “bertepuk sebelah tangan” semata karena tidak
bertimbal-balik sebagaimana prinsip resiprositas semisal hanya mementingkan
kepentingan sebelah pihak, bijaksini namun tidak bijaksana, tidak pula saling
menguntungkan ala simbiosis mutualisme,
hanya mau membuka mulut namun menutup telinga rapat-rapat, hanya mengemukakan
hak namun tidak bersedia menyebutkan kewajibannya, gunakan format kalimat
berikut sebagai tanggapannya:
“Kamu ngomongnya / omongannya
kok, begitu sih? Ngak boleh ngomong / bicara seperti itu. Tidak suka saya
mendengarnya. Maksudnya apa bicara seperti itu?”
Jika lawan bicara tampak
memiliki itikad kurang baik seperti berkelit, mencari-cari alasan, mau menang
sendiri, sudutkan terus pihak lawan bicara dengan terus-menerus menyinggung dan
mengangkat kesalahan utama mereka, tanpa memberiarkan mereka mengalihkan isu
dan jangan biarkan diri kita beralih isu utama, dengan memakai “teknik kaset
rusak” (teknik ini disebut demikian, karena menyerupai kaset rusak yang selalu
mengulang-ulang bunyi yang sama secara terus-menerus):
“Mana boleh bicara seperti itu.
Maksudnya apa, bicara seperti itu? Ngomong kok, begitu sih? ... Bicara kok,
seperti itu. Maksudnya apa, bicara seperti itu? ...”
Sang Buddha pernah bersabda, yang disebut dengan perbuatan
baik artinya : tidak merugikan orang lain, juga tidak merugikan diri kita
sendiri. Kita selalu punya hak untuk berkata “TIDAK”, karena kita pun punya
hak untuk diam, hak untuk tidak setuju, hak ubtuk menolak dan berkeberatan, hak
untuk tidak menjawab, hak untuk tidak bersedia, hak untuk mundur (disconnect), serta hak untuk tidak
dibebani kewajiban yang mana memang bukanlah kewajiban kita.
Jangan bersikap seolah-olah
tidak punya hak, serta jangan bersikap seolah-olah hanya orang lain yang punya
hak sementara kita seorang yang hanya punya kewajiban. Ada hak, berarti ada
kewajiban. Bila seseorang mengaku memiliki hak, maka tanyakan apa yang
menjadi kewajiban mereka. Bila seseorang membebani kewajiban ke
pundak kita, maka tanyakan kepada mereka, apa yang menjadi hak kita sebagai
konsekuensinya?
Relasi yang sehat, tidak
timpang sebelah, harus bertimbal-balik satu sama lain, alias “tidak bertepuk
sebelah tangan”. Ketika seseorang menuntut “hak” dari kita yang artinya menjadi
sebentuk “kewajiban” yang harus kita pikul di pundak kita, maka kita pun berhak
menuntut “hak” dari mereka dan “menjadi” kewajiban bagi mereka untuk
memenuhinya. Asas resiprokal bermakna, relasi yang tidak “bertepuk sebelah
tangan”, dan terdapat keikhlasan dari kedua belah pihak.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.