SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
Bangsa yang ANTIKRITIK, Pendosa yang Berdelusi sebagai Suciwan
Question: Mengapa rata-rata orang Indonesia begitu anti terhadap kritik maupun teguran, bahkan terhadap protes dari korban mereka?
Brief Answer: Ibarat bahasa tubuh ketika akan jatuh dalam
kondisi sakit (early warning system),
ketika kita abaikan, maka alhasil tubuh fisik kita akan mengalami kejatuhan
dalam kondisi sakit. Gejala, adalah istilah medik untuk bahasa tubuh diri kita yang
mencoba berkomunikasi kepada kita, mencoba memberitahu kita ketika akan
mengalami suatu perubahan kondisi fisik. Penyakit yang paling berbahaya, ialah
penyakit yang fase pertumbuhannya tidak menimbulkan gejala, sebagai contoh penyakit
hepatitis yang menyerang organ tubuh hati seseorang, sehingga kerap dijuluki
sebagai “silent killer”, membunuh
atau mematikan “dalam senyap”.
Sama halnya dengan analogi gejala penyakit,
jeritan ataupun kritik / teguran dari pihak warga lain, terkait perbuatan atau
abainya kita, adalah dalam rangka kebaikan bersama—dimana orang lain tidak tersakiti
ataupun dirugikan, dan kita pun terhindar dari menanam “dosa” atau benih Karma
Buruk yang baru. Sementara itu para kriminil, memiliki satu pola mentalitas
yang saling sebangun, yakni mencoba membungkam korban-korban mereka, semisal
dengan intimidasi berupa ancaman kekerasan fisik, semata agar diri mereka tidak
dikritik dan tidak dicela, dan dengan demikian mereka dapat berdelusi
bahwasannya mereka adalah orang baik, bebas dari cela, dan suci.
Sebagai contoh, praktik yang sudah lama terjadi
hingga saat kini di Indonesia salah satu agama tertentu menggunakan speaker
pengeras suara eksternal yang sangat mengganggu ketenangan dan ibadah umat
beragama lain, dimana bukan berarti tanpa ada masyarakat yang berkeberatan ketika
istirahat atau waktu ibadah sesuai agamanya masing-masing diganggu dan bahkan agamanya
“diperkosa” lewat diperdengarkan ayat-ayat agama tertentu yang dikumandangkan
speaker tempat ibadah tertentu, namun semata karena masyarakat telah trauma
ketika seorang warga menyampaikan protes seketika itu pula direspons secara
reaktif sebagai “penistaan agama” bermuara pada aksi anarkisme hingga
vandalisme kediaman sang warga hingga membakar belasan tempat ibadah milik umat
agama lain.
Begitupula aksi para kriminil jalanan semisal
preman pelaku aksi premanisme, dimana sebelum para preman melakukan aksinya
menganiaya dan melukai, mereka akan beragumentasi sedemikian rupa sehingga
seolah-olah calon korban mereka yang bersalah (aksi putar-balik manipulasi
logika moral), sehingga mereka merasa memiliki “alasan pembenar” atau
justifikasi untuk melakukan penganiayaan tanpa banyak kendala perlawanan dari
pihak korbannya. Itulah sebabnya, kalangan preman pelaku aksi permanisme di Indonesia,
sekalipun berupa “preman pasar” berbaju lusuh, sejatinya membekali diri mereka dengan
keterampilan manipulasi pikiran.
Dengan cara begitulah, para preman tersebut dapat
melakukan aksinya menganiaya pihak korban yang telah dimanipulasi “putar-balik
logika moril” demikian, seolah yang bersalah menjadi yang benar dan yang benar
menjadi yang bersalah, dimana para preman pelaku aksi “main hakim sendiri”
serta penganiayaan yang tidak manusiawi, tidak humanis, serta tidak beradab
demikian berdelusi diri bahwa dirinya adalah “penegak keadilan” dan “suci”,
sekadar reaktif, semata membela diri, tanpa noda dosa apapun sekalipun melukai
dan merugikan warga lainnya. Apapun alasannya, “menyelesaikan masalah dengan kekerasan
fisik” adalah cerminan watak belum beradabnya seseorang atau suatu bangsa.
PEMBAHASAN:
Sebenarnya, kritik dan masukan,
adalah dalam rangka feedback konstruktif
yang terkadang dan tidak jarang sangat berharga bagi kita, sekalipun itu
“pedas” dan tidak kita sukai. Ibarat meminum obat yang bisa jadi pahit rasanya,
namun sebagaimana juga pepatah pernah menyebutkan : “Yang pahit, jangan langsung dibuang. Yang manis, jangan langsung
ditelan”. Ketika seseorang menjerit kesakitan, akibat kelalaian kita atau
perbuatan kita, maka kita perlu memberi apresiasi dengan berterimakasih atas masukan
(“jeritan”) mereka, semata agar kita dapat melakukan introspeksi diri serta tidak
lebih jauh lagi melakukan kekeliruan seperti menyakiti, merugikan, terlebih
melukai orang lain—dalam rangka terhindar dari malapetaka buah Karma Buruk yang
akan kita petik sendiri dimasa mendatang, cepat atau lambat.
Tiadanya bentuk-bentuk semacam
protes ataupun komplain dari orang lain, bukan artinya kita telah benar dan
telah tanpa cela. Mungkin kita tidak memiliki niat buruk, namun akibat
kurangnya kewaspadaan dan perhatian maupun pengendalian diri, kita kerap abai
dan lalai, sehingga menimbulkan kesakitan, kerugian, maupun luka bagi pihak
lain, dimana hal tersebut merupakan kepentingan KITA bersama sebagai sesama
stakeholders (sebagai satu bangsa dan
sesama warga yang berbagi ruang gerak dan ruang nafas).
Ada kalanya, secara pribadi
penulis memberi “punishment” terhadap
seseorang warga yang telah merugikan atau mengganggu kehidupan penulis, dengan
cara tidak memberitahukan letak kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh pribadi
orang tersebut—selain semata karena watak mentalitas bangsa Indonesia ialah
“lebih galak yang ditegur daripada yang memberi teguran”. Contoh sederhana di
keseharian berikut, tampaknya dapat cukup memberi ilustrasi konkret. Terdapat
seorang ibu-ibu tua yang menjajakan makanan ringan dari jalan ke jalan di
komplek perumahan kediaman penulis. Saat berjualan, ketika penulis sekadar
bertanya menjual apa saja, harganya berapa, dan isinya apa, sang ibu penjual
langsung memasukkan beberapa jenis kue jualannya ke dalam kantung plastik,
sehingga penulis harus terpaksa membeli apa yang sebetulnya tidak ingin penulis
beli dan bayarkan, sekalipun penulis sama sekali belum berkata “beli” dan
memang tidak berniat membeli, sekalipun sejak pertama sekali penulis telah
berpesan : “Mau tanya dahulu, namun belum
tentu membeli.”
Itu adalah bentuk pemaksaan
secara terselubung. Belum lagi sikapnya yang seolah-olah bila tiada pembeli
yang membeli dagangannya pada hari tersebut, maka hidupnya akan kiamat.
Begitupula ketika sang ibu penjual kue menyatakan mulai besok akan menghampiri
kediaman rumah penulis untuk menawarkan barang jualannya, dan penulis tanggapi
berupa menolak, dan menyatakan cukup bila kebetulan berpapasan di jalan saja,
tidak perlu sengaja mendatangi kediaman penulis. Namun, ternyata keeskokan
harinya sang ibu penjual kue mendatangi kediaman penulis seolah rentenir hendak
menagih dari debitornya.
Berlanjut pada keesokan
harinya, ketika penulis mendapati bahwa relasi yang dibangun oleh sang ibu
penjual kue adalah relasi yang memojokkan, tidak sehat, dan tidak “equal” (singkatnya, tidak menaruh sikap hormat
ataupun saling menghargai), maka saat kembali berpapasan penulis cukup menjawab
“Tidak beli”, sekalipun secara
pribadi penulis memang ingin membeli salah satu jenis kue yang dijajakan yang
bersangkutan—namun terbentur watak dari sang penjual yang pada akhirnya penulis
memilih untuk tidak pernah lagi membeli darinya. Keesokan harinya kembali
berjumpa di tengah jalan, penulis tidak merasa nyaman dengan sikap sang ibu penjual
kue yang seolah hendak menerkam dan memangsa calon “korban”-nya.
Penulis putuskan untuk tidak
memberi tanggapan apapun, dan berlalu begitu saja. Namun alih-alih merasa sadar
bahwa penulis tidak lagi bersedia membeli darinya dan juga tidak suka diganggu
olehnya, menghormati kehidupan masing-masing dengan tidak saling mengganggu,
akan tetapi senyatanya keesokan harinya saat penulis menyapu halaman depan
rumah, sang ibu penjual kue yang kebetulan lewat di jalan, kembali membuat
penulis tidak merasa nyaman atas kehadiran maupun keberadaannya dengan sikap
yang memaksa orang lain untuk membeli sekalipun penulis tidak menanggapi, tidak
menjawab, dan juga tidak menatap sekilas pun pada yang bersangkutan, tetap fokus
pada kesibukan menyapu.
Alangkah terkejutnya penulis,
sang ibu penjual kue melakukan ancaman mental, dengan berkata “Ini ada kue gemblong, dua buah ya, ini saya
masukkan gemblongnya ke dalam plastik ya?!”—seolah-olah dirinya memberi
perintah pada penulis, sekalipun dirinya bukanlah atasan yang berhak memberi
perintah kepada penulis yang merupakan individu yang bebas dan merdeka serta
relasi yang sederajat di mata hukum, dimana bila penulis tidak menanggapi
dirinya dan tetap berdiam diri, maka diartikan penulis membeli dan harus
membayar, sekalipun penulis tidak pernah berkata “beli”. Mengapa yang
bersangkutan, yang merasa berhak membuat aturan main sepihak versinya sendiri
terhadap orang lain?
Bentuk-bentuk pemaksaan demikian,
membuat penulis bertekad untuk kian tidak pernah lagi membeli jajanan dari sang
ibu penjual jajanan. Sudah sejak lama ingin sekali penulis menyatakan kalimat
berikut sebagai bagian dari teguran agar yang bersangkutan melakukan
introspeksi diri, apakah dirinya telah melakukan marketing yang efektif dengan
dilandasi etika berjualan ataukah sebaliknya:
“Saya
putuskan untuk tidak lagi membeli jajanan dari Ibu, karena ibu berjualan dengan
cara yang agak memaksa calon pembeli. Saya belum bilang ‘beli’, namun Ibu sudah
memasukkannya ke dalam plastik, itu maksudnya apa? Maksudnya apa, orang belum
bilang ‘beli’ namun sudah dimasukkan ke dalam kantung plastik?
“Kalau berjualan, tidak boleh
seperti itu, calon konsumen tidak nyaman dipaksa membeli. Jika Ibu ingin punya
pelanggan, harus sama-sama ikhlas dalam tawar-menawar barang dan harga, serta sama-sama
ikhlas dari pihak yang menjual dan dari pihak yang membeli.”
Namun pada akhirnya penulis
putuskan untuk tidak menyampaikan pandangan tersebut kepada sang ibu penjual
jajanan. Untuk berkuliah dan sekolah, kita harus membayar mahal, semata agar
guru dapat memberitahu letak kesalahan maupun perbuatan yang telah tepat kita
lakukan. Penulis bukanlah guru sang ibu penjual kue, dan juga tidak pernah
menerika uang kuliah darinya. Jika sudah demikian, siapa yang pada akhirnya
paling merugi?
Ketika seseorang menjerit
kesakitan atau keberatan atas perbuatan ataupun akibat kelalaian kita, maka
suara / jeritan / aspirasi tersebut merupakan masukan, input, atau feedback yang sangat penting sekali bagi
kita, setidaknya agar kita tidak produktif dalam mencetak Karma Buruk. Bagi yang
tidak menyepelekan bahaya dibalik benih Karma Buruk yang ditanam, maka jeritan tersebut
menjadi amat berharga bagi kita. Akan tetapi bagi yang meremehkannya, si
“dungu”, maka jeritan tersebut terdengar sebagai gangguan di telinga sehingga harus
secepatnya dibungkam, jika perlu dengan kekerasan fisik atau tidak
dihiraukan sama sekali dan tetap “business
as usual” dimana orang lain kembali menjadi korban atau berjatuhan korban
baru lainnya.
Namun juga kita perlu ingat, sebuah
teguran notabene adalah sebuah “penghakiman”. Ironisnya, masyarakat di
Indonesia rata-rata tergolong sebagai “hakim” yang buruk saat menghakimi warga
lainnya, disamping kultur “sense of
justice” yang masih tumpul akibat budaya yang tidak “victim friendly” berkat ideologi yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat
kita : “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana hanya
seorang penjahat (pendosa) yang membutuhkan penghapusan dosa. Semisal
menghakimi dengan mendengarkan aduan secara sepihak, bahkan sekadar “katanya,
katanya, dan katanya”.
Dahulu saat penulis masih duduk
di bangku Sekolah Dasar, penulis pernah mencoba menjajakan koleksi kartu
bergambar kepada teman sekelas. Penulis mencoba menawarkan kepada sang teman,
namun sang teman tidak pernah berkata tegas “Tidak” ataupun “Tidak beli”. Ia selalu
berkelit seperti “nanti saja sepulang sekolah ketemu di taman sekolah”, yang
ternyata ingkar janji sehingga penulis menunggu yang bersangkutan secara sia-sia
sepulang sekolah. Ia yang telah mempermainkan penulis, namun ia juga yang
kemudian memfitnah penulis dengan mengadu kepada teman sekelas lainnya, bahwa
penulis telah memaksa ia untuk membeli.
Teman dari temannya tersebut
kemudian berkata pada penulis, menyampaikan teguran bahwa penulis telah memaksa
temannya tersebut untuk membeli. Lebih tepatnya, sebuah tuduhan, dimana penulis
telah difitnah. Yang bersangkutan, sang penuduh, tidak meminta keterangan dari
penulis dalam rangka “cross-examination”,
namun semata memakan mentah-mentah aduan atau cerita temannya. Penulis merasa
didiskreditkan dan dipojokkan oleh sesosok teman sebaya yang tidak pernah
penulis pilih untuk menjadi hakim yang menghakimi—terlagi pula hakim yang
buruk, mendengar aduan secara sepihak, dan sekadar menghakimi berdasarkan “katanya,
katanya, dan katanya”.
Jika dirinya kini telah
beranjak dewasa dan menjadi seorang hakim, pastilah akan menjelma hakim yang
buruk, disamping “sense of justice”
yang pincang sebelah karena membela secara membuta semata karena pertemanan
atau membela teman yang lebih dekat dengannya. Penulis sempat merasakan trauma,
trauma yang bahkan membekas hingga beranjak dewasa dan hingga saat kini. Siapa bilang,
fitnah hanya satu kali terjadi, faktanya ialah luka tersebut membekas dan masih
terluka hingga penulis tumbuh dewasa, sehingga tidaklah tepat seseorang
menyepelekan luka atau derita yang diderita korban dengan meremehkan perbuatan
buruknya sebagai “hanya pernah satu kali memfitnah dan melukai perasaan”.
Menjual, adalah wajar
menawarkan. Namun ketika yang diberi penawaran hanya berkelit tidak pernah
secara tegas menyatakan “TIDAK beli”, atau penolakan eksplisit lainnya, maka
menawarkan ulang adalah hal lazim dan lumrah dalam dunia niaga dan marketing. Tunggu
saja hingga mereka dewasa, jika mereka berjualan dengan cara menawarkan produk
dagangannya kepada publik, buah Karma Buruk yang akan membalas perbuatan
mereka, tidak perlu dengan tangan pribadi penulis—menghakimi maka akan dihakimi,
terlebih secara tidak adil.
Begitupula teguran agar pelaku
kejahatan bertanggung-jawab serta mempertanggung-jawabkan perbuatannya yang
telah melukai, merugikan, ataupun menyakiti korbannya. Tanggung-jawab, adalah
kepentingan kedua belah pihak, pihak korban dan pihak pelaku itu
sendiri—mengingat, “Agama Ksatria” (agama untuk para kesatria) mengajarkan
bahwa seseorang ketika dan bisa saja berbuat keliru, namun alih-alih melarikan
diri atau “cuci tangan” terlebih “maling teriak maling”, dimana adalah percuma
mencoba mencurangi hidup dengan aksi berkelit ataupun berdalih, adalah demi kebaikan
bersama bila sebagai pelaku pembuat bertanggung-jawab terhadap korban sehingga
tiada yang dirugikan ataupun yang merasa dirugikan.
Sebagai penutup, kita dapat
belajar hal-hal berharga perihal falsafah hidup, dari siapa saja, apapun latar-belakang
maupun profesi orang tersebut. Pada suatu hari, penulis berpapasan dengan seorang
tukang roti tradisional gerobakan yang didorong dengan sepeda. Ketika penulis
melakukan tawar-menawar harga secara “alot” dengan sang tukang roti, pada
akhirnya tercapai kesepakatan harga transaksi untuk sebungkus roti yang memang
hendak penulis beli dan yang juga hendak si penjual jual, dan inilah yang
dikatakan oleh sang penjual roti kepada penulis : “Ya sudah, yang penting sama-sama ikhlas.”
Terdengar sederhana, namun telah
ternyata itulah prinsip serta etika paling utama dan paling tertinggi dalam
suatu relasi hubungan yang sehat antar manusia maupun mata pencariaan / sumber
penghasilan yang paling benar dan paling sehat, yakni ke-ikhlas-an kedua
belah pihak (“sama-sama ikhlas”),
tanpa ada yang merasa dipaksa, tanpa ada yang diintimidasi, tanpa ada yang
merasa ditekan oleh daya tawar yang lebih lemah, tanpa ada yang merasa tidak dihargai,
tanpa ada yang dirugikan (memberikan hak dan menunaikan kewajiban masing-masing),
tanpa ada yang dimanipulasi, tanpa ada yang dieksploitasi, tanpa ada yang
dipermainkan, tanpa ada yang ingkar janji, tanpa ada yang dimarginalisasikan,
tanpa ada yang dibohongi, semata demi kebaikan dan keuntungan kedua belah pihak.
Diluar itu, yang terjadi ialah
relasi tidak sehat atas dasar pemerasan ataupun pemaksaan, baik yang tersirat
maupun yang terselubung. Telah ternyata, seorang pedagang kue pikulan pun,
merupakan manipulator pikiran yang ulung. Sebagai seorang warga dimana negara
tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, kita perlu membentengi diri
dari segala jenis modus ataupun motif dibalik upaya manipulasi pikiran.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.