SENI PIKIR & TULIS
Pertanyaan bagi para Muslim, Ujian bagi Iman sang
umat ataukah Iman para Umat tersebut yang sedang Mencobai Tuhan?
Bukankah Tuhan semestinya Tuhanis, dan Tuhanis lebih Luhur daripada Sekadar Humanis?
Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengajukan pertanyaan mendasar kepada para Muslim, dan menunggu jawabannya. Seorang ustad, pada ceramahnya baik di Masjid maupun pada media massa seperti radio, televisi, dsb, menyampaikan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok manusia (yang dikultuskan dan menjadi saingan terberat bagi Tuhan yang disembah para Muslim), sebagai “rasul Tuhan” juga sekaligus orang yang baik, suci, mulia, luhur, dan menjadi suri tauladan para Muslim, bahkan oleh ibu-ibu pengajian disebut sebagai “kekasih Tuhan”.
Pertanyaannya, bila memang sang
nabi junjungan para Muslim layak untuk dijadikan suri tauladan, disaat bersamaan
sang ustad kemudian mengutip sebuah ayat pada Hadist, salah satu sumber rujukan
paling otentik bagi para Muslim disamping Al-quran, yakni dengan kutipan sebagai
berikut:
Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang
akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba
yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]
Bukankah hanya seorang pendosa,
yang membutuhkan “pengampunan dosa”? jika memang Nabi Muhammad memiliki dosa
untuk dihapus, bahkan tidak tanggung-tanggung, dosa yang “dulu maupun yang akan
datang”, maka bukankah itu ibarat orang buta hendak menuntun sesama orang buta
lainnya? Apakah mungkin dan bagaimana ceritanya, seorang pendosa hendak
berceramah dan memberi nasehat perihal hidup baik, suci, mulia, dan bersih dari
noda maupun cela?
Seorang pendosa hendak
menasehati pendosa lainnya agar tidak berbuat dosa, namun diri sang pemberi
nasehat selama ini turut memohon dan menikmati “pengampunan dosa” setiap
harinya beribadah ataupun setiap tahunnya pada hari raya keagamaan Islam
seperti bulan puasa dan Ramadhan. Mengapa juga bulan Ramadhan disebut sebagai “bulan
SUCI”, sementara itu isinya ialah segala harapan dan iming-iming “PENGHAPUSAN
DOSA”? Bulan penuh berkah bagi KORBAN, ataukah bulan penuh petaka bagi KORBAN
para pendosa tersebut?
Mengapa “pengampunan DOSA”
disebut sebagai “kabar gembira”? “Kabar gembira” bagi siapa? Siapakah yang
lebih mengidam-idamkan iming-iming “penghapusan / pengampunan DOSA”, korban ataukah
para pendosa tersebut? Mengapa juga Tuhan dicitrakan sebagai lebih PRO terhadap
pendosa yang kotor dan tercela penuh noda, alih-alih memberikan keadilan maupun
memperhatikan aspirasi para korban? Bagaimana dengan nasib korban, bilamana dosa-dosa
para pendosa tersebut dihapuskan?
Seorang ksatria, memilih untuk
bertanggung jawab, alih-alih melarikan diri dari korbannya ketika berbuat
keliru. Seorang suciwan, menghindari perbuatan buruk sekecil apapun dengan tidak
menyepelekan dosa maupun perbuatan buruk, juga tidak meremehkan perasaan orang lain.
Bukankah memuliakan Tuhan, sebagaimana kita menjaga nama baik orangtua kita,
ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia alih-alih menjadi seorang “penjilat
penuh dosa”? Bukankah teladan nyata lebih penting dan lebih berbobot nilainya, daripada
segala ceramah maupun nasehat? Bukankah akan jauh lebih berbahaya, ketika “lain
di mulut maka lain pula di hati dan di perbuatan”? Frasa “munafik”, merujuk
pada seseorang yang tidak menjalani apa yang ia sendiri ajarkan kepada orang
lain.
Terdapat pula pertanyaan lain,
akibat rasa ingin tahu penulis yang tinggi, dimana keyakinan yang sehat
haruslah keyakinan yang “ber-otak” dan tahan “uji moril” untuk dicerna terlebih
dahulu sebelum dipeluk dan ditelan mentah-mentah, mengapa selama ini para
Muslim demikian intoleran terhadap NON-Muslim, mengkafir-kafirkannya, namun
disaat bersamaan demikian kompromistis terhadap dosa dan maksiat yang tidak
turut dikafir-kafirkan bagi orang-orang yang justru berkubang dosa dan maksiat?
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka
saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
Selama ini para Muslim
memandang dan menyebut patung yang menjadi simbol bagi umat agama lain
sebagaimana kita biasa memberi penghormatan kepada para pahlawan yang gugur dan
mendahului kita dalam perjuangan memperebutkan ataupun mempertahankan kemerdekaan,
dengan simbolik berupa bendera yang dikibarkan, sebagai “BERHALA” dan
dihancurkan, namun telah ternyata umat agama lainnya tidak pernah sampai
menciumi patung ataupun bendera, sehingga bukankah merupakan praktik “penyembah
BERHALA teriak BERHALA”, mengingat eksistensi kutipan berikut:
Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan
menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah
sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa
pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak
akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]
Bila ayat bawah ini disebut
sebagai ayat “cinta DAMAI” dan “rahmatan bagi semesta”, maka yang “radikal” dan
“petaka bagi semesta” seperti apakah? JIka sedang ibadah saja para umatnya
diajarkan bahkan diperintahkan (wajib dijalankan apa yang dilarang dan diperintahkan
oleh Tuhan) untuk “haus darah”, “radikal”, dan “intoleran”, maka bagaimana
ketika para umatnya tidak sedang beribadah dan tidak sedang memakai busana
agamais? Inikah, yang disebut sebagai “agamamu agamamu, agamaku agamaku”?
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia
hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD
RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan
shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami
diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”
[Hadist Tirmidzi No. 2533]
Sebagai pertanyaan penutup,
meski bukan pertanyaan yang paling akhir, ayat-ayat berikut lebih layak disebut
sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”, ataukah “Agama DOSA”
yang bersumber dari “Kitab DOSA” yang mempromosikan dan mengkampanyekan dosa
serta kejahatan tidak berperikemanusiaan? Jika seseorang manusia tidak bersikap
“humanis”—namun “hewanis”. “Premanis”, dan “predatoris”—maka apakah mungkin
seseorang tersebut dapat bersikap “Tuhanis”?
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong
kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam
dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas dizolimi
dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah proporsional? Apakah itu
bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau justifikasi diri seolah
berhak untuk merampas hidup orang lain?’
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
[NOTE : Maha Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa
perintahnya/]
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yg telah beriman”.
Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [NOTE:
sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang menyerang dan siapa yang
terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru mengintai
dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang, namun yang diserang yang
justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]
Keseluruh uraian diatas
merupakan kalimat tanya, berisi pertanyaan terbuka, bukan tudingan maupun
tuduhan, sehingga adalah kewajiban para Muslim untuk menjawabnya bila masih
memandang dirinya “pejuang Tuhan” yang bahkan rela mati untuk itu. Bukankah artinya,
para Muslim yang bersikap moderat dan toleran terhadap NON-Muslim, selama ini
artinya sudah “MURTAD” dengan terang-terangan dan secara sengaja melanggar dan
tidak patuh terhadap perintah Tuhan yang mereka akui sebagai Tuhan yang mereka
junjung dan sembah sebagai satu-satunya Tuhan serta harus dijalankan setiap
perintah maupun larangannya secara mutlak? Islam, disebut memiliki makna sebagai
“kepatuhan secara mutlak”.
Bagaimana mungkin, perintah-perintah
pembunuhan serta seruan untuk pertumpahan darah demikian, tidak dapat disebut
sebagai ideologi teror!sme itu sendiri? Apakah kami, para NON-Muslim, harus berterimakasih
kepada para Muslim, karena selama ini telah sekadar menganiaya dan membuat kami
terluka ataupun kehilangan harta benda, tidak sampai merampas nyawa dan hidup
kami yang kini hidup dicekam oleh trauma dan ketakutan oleh ancaman-ancaman kekerasan
fisik lainnya oleh para Muslim sebagaimana yang sudah-sudah? Mengapa juga, para
Muslim senantiasa “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”?