SENI JIWA
Pertanyaan bagi para Muslim, Mohon Klarifikasi dan
Dijawab
Jika sedang Ibadah saja, seperti Itu Sikap para Muslim terhadap Orang Lain, (maka) bagaimana ketika Mereka Tidak sedang Beribadah?
Sering penulis bertanya kepada para kalangan Muslim, yang beribadah dengan praktik penggunaan speaker pengeras suara eksternal yang mereka pasang di Masjid, menyerupai “polusi suara” yang merampas ketenangan hidup maupun istirahat umat agama lain yang juga punya hak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah dan tidak sedang berbusana “agamais”, perampasan semacam apa yang akan mereka lakukan? Ketika para Muslim mengatas-namakan Agama Islam untuk berbuat apapun semau mereka, sebagai legitimasi atau justifikasi perbuatan apapun yang mereka perbuat, maka bagaimana dengan gaya hidup para Muslim tersebut ketika tidak sedang ber-“agamais”?
Para Muslim beribadah dengan
menggunakan speaker pengeras suara eksternal demikian, sejatinya tidak memiliki
dasar legitimasi apapun, mengingat ribuan tahun lampau di Arab tidak memiliki
listrik maupun alat elektronik semacam speaker, sehingga jelas bahwa kitab
agama mereka tidak menyinggung kebolehan menggunakan speaker pengeras suara
demikian yang membahana bahkan menerobos masuk ke dalam toilet dan lubang
jamban rumah-rumah warga dalam radius ratusan meter jauhnya. Karenanya, yang
menodai dan menista Agama islam, adalah umat Muslim itu sendiri. Bila
melecehkan ayat-ayat agamanya sendiri dengan mengumbarnya semacam itu, bak
selebaran yang bertebaran menjelma sampah di jalanan dan di tong sampah, tidak para
Muslim sebut sebagai “menista agama”, maka yang disebut sebagai “penistaan
agama” adalah yang seperti apakah?
Para Muslim menyebut Islam
sebagai “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”. Namun, alih-alih mengkampanyekan
jalan hidup kemurnian dan kesucian, mengapa justru yang dipromosikan ialah “pengampunan
/ penghapusan dosa”, sekalipun kita ketahui bahwa“hanya seorang pendosa yang
membutuhkan pengampunan dosa”? Rujukan : Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam
hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah
baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR
Bukhari Muslim).
Jika ajaran “penghapusan /
pengampunan dosa” disebut sebagai ajaran yang “suci”, lantas seperti apakah ajaran
yang disebut sebagai ajaran yang “sesat”? Jika ideologi “korup” penuh iming-iming
kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” disebut sebagai “patut disyukuri”,
maka yang “tidak patut untuk disyukuri” adalah ajaran yang seperti apakah
menurut Islam? Jika Tuhan yang disebut sebagai “Maha Adil” dan “Maha Baik”
justru lebih PRO kepada pendosa, dengan menghapus dosa-dosa para pendosa
tersebut—seolah-olah para korban dari para pendosa tersebut tidak punya hak
untuk mendapatkan keadilan—maka yang disebut sebagai “Maha Tidak Adil” dan yang
“Maha Tidak Baik”, yang seperti apakah menurut perspektif Islam?
Para Muslim mengklaim Islam
telah menghapus praktik “jahiliah” dan meluruskan yang bengkok, salah satunya
ialah diturunkannya hukum wahyu dari Tuhan dalam Agama Islam berikut : QS
An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu
mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.’
Jika praktik perbudakan tetap
dilegalkan bahkan dipromosikan secara se-vulgar itu, seolah-olah tidak tabu
ataupun dilarang, disebut sebagai era “pencerahan” dan “lurus”, maka yang
disebut sebagai zaman “jahiliah” serta yang “bengkok” itu seperti apakah
menurut kajian Islami? Apakah ada, yang lebih buruk daripada pratik perbudakan
bahkan hingga perbudakan wanita untuk dijadikan objek pemuasan nafsu “bejat” hewani
kalangan pria yang bahkan sudah beristri namun masih juga di-halal-kan meniduri
seorang wanita tawanan yang bisa jadi bersuami?
Pada Muslim mengklaim bahwa
Islam menolak praktik agama-agama “berhala”, dengan menghancurkan apapun itu
arca maupun situs-situs peninggalan agama non-Islam yang mereka jumpai. Jika ini
yang dimaksud oleh para Muslim sebagai agama non-“berhala”, maka yang berhala
adalah seperti apakah menurut kacamata Islamisme? Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta
mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang
tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak
melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih
al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]. Bukankah umat Buddha tidak pernah
sampai menciumi “Buddha rupang” yang sekadar simbolik sebagaimana kita butuh
instrumen simbol semisal untuk upacara peringatan kemerdekaan dengan
mengibarkan bendera dan memberi penghormatan kepada para pahlawan yang telah
gugur mendahului kita?
Para Muslim selama ini paling gemar
menghalal-haramkan segala sesuatunya. Semua yang ada di Hadist maupun Al-quran,
mereka sebut sebagai “halal”, dan diluar Islam mereka beri stempel sebagai “haram”.
Jika yang berikut ini sahih disebut sebagai “halal”, maka pertanyaannya ialah
yang disebut sebagai “haram” itu seperti apakah menurut pendirian para pemuka Agama
Islam? Shahih Bukhari 6933 : “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami
Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur
berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka
dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.”
Meski mencuri dan berzina,
masuk surga, disebut “kabar baik”—kabar baik bagi siapakah, jika bukan kabar
baik para pendosa? Kabar baik bagi pendosa, sama artinya kabar buruk bagi
korban—maka yang disebut sebagai “kabar buruk” seperti apakah menurut ajaran
dalam Agama Islam? Bila mencuri dan berzina disebut sebagai “halal”, karena
masuk surga (kabar baik), maka yang betul-betul dapat disebut sebagai “maksiat”
seperti apakah menurut ajaran Agama Islam? Mengapa juga para Muslim bersikap seolah-olah
Islam adalah agama yang paling suci, luhur, mulia, bersih, dan lebih superior
ketimbang agama-agama diluar Islam yang tidak pernah mempromosikan “kabar baik”
se-korup mencuri ataupun berzina?
Para Muslim paling sering
mengklaim bahwa Islam adalah agama “rahmatan bagi semesta”, karena Islam adalah
agama “cinta damai” yang “toleran” juga “tidak radikal”, klaim para Muslim
ketika mempromosikan Agama Islam untuk menarik umat baru untuk “mualaf”. Maka yang
menjadi pertanyaan kepada para Muslim ialah, jika perintah dalam ajaran Islam yang
seperti berikut disebut sebagai “cinta damai”, maka seperti apakah yang disebut
sebagai “teror!s” ataupun “radikal” dan “intoleran”?
“Saya diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA
MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan
melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya
kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA
mereka.” [Hadist Tirmidzi Nomor 2533]
Jika “MENUMPAHKAN DARAH” dan “MERAMPOK”
disebut sebagai “rahmatan bagi semesta”, maka yang disebut sebagai “petaka bagi
semesta” seperti apakah dalam ajaran Agama Islam? Diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka masuk agama Islam, disebut sebagai “dizolomi” (sehingga
menjadi alasan pembenar untuk melakukan “pembalasan” berupa membunuh)? Jika itu
yang disebut sebagai “dizolimi”, maka seperti apa yang disebut sebagai “zolim” menurut
kamus ajaran Agama Islam? JIka yang seperti itu tidak dapat disebut sabagai “pemaksaan”
ataupun “penjajahan” terhadap keyakinan orang lain, maka yang disebut sebagai “pemaksaan”
maupun “penjajahan” agama menurut Agama Islam, seperti apakah bentuknya?
Jika ajakan, ajaran, perintah, kampanye,
maupun seruan yang berikut di bawah ini disebut sebagai “bukan teror!sme”, “dizolimi”,
“cinta damai”, “suci”, “lurus”, “baik”, “Tuhanis”, “benar”, maka pertanyaan
bagi para Muslim ialah, seperti apakah yang disebut sebaliknya, sebagai “teror!sme”,
“menzolimi”, “anti damai”, “kotor”, “sesat”, “menyimpang”, “jahat”, “Setanis”, maupun
yang “salah”?
- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap
mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.
- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka
Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka
memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka
bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas
dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]
- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.
- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yg telah beriman”.
Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH
KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.
QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.
[Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang,
alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang
sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi
orang-orang untuk dibunuh?]
Ditunggu jawaban ataupun
klarifikasi dari para Muslim, baik para Muslim di Tanah Air maupun para Muslim
di mancanegara, atas berbagai pertanyaan paling mendasar sebagaimana terurai di
atas, sehingga berdasarkan prinsip keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas
kita semua menjadi tahu, apa yang melandasi para muslim selama ini berkeyakinan
(ataukah berdelusi?) bahwa Agama Islam yang mereka peluk dan bela “mati-matian”
(dalam arti harfiah) merupakan agama yang paling superior, yang karenanya
merasa berhak untuk menghakimi dan mem-persekusi agama maupun umat agama
lainnya.
Dalam realita, ketika para
Muslim sedang beribadah rutin di Masjid atau ketika mereka melayat ke rumah
warga di pemukiman yang anggota keluarganya meninggal dunia, para Muslim
(mengenakan busana “agamais”) kerap memarkir kendaraan yang meraka bawa
(sekalipun rumah mereka tidak jauh dimana sejatinya mereka bisa cukup datang
dengan berjalan kaki) secara liar persis di depan pagar rumah warga (tanpa permisi
juga tanpa izin yang punya rumah, sopan sekali), secara berjejer, mengakibatkan
yang punya rumah “tersandera” bak dipenjara (dirampas kemerdekaannya) selama berjam-jam
lamanya tidak dapat keluar maupun masuk dari dan ke dalam rumah kediaman
sendiri, maka bagaimana sikap mereka terhadap kaum yang berbeda, ketika mereka
tidak sedang memakai busana “agamais” dan tidak sedang dalam rangka beribadah?
Mereka (para Muslim) pun ketika
beribadah kerap menutup seluruh lajur jalan tanpa sisa sejengkal pun, yang sama
artinya merampas hak umum atas jalan (milik) umum, maka bagaimana
praktik sikap hidup mereka ketika tidak sedang beribadah dan ketika tidak
sedang mengenakan busana “agamais”? Bila “menjadikan cara-cara kekerasan
fisik untuk menyelesaikan setiap masalah” disebut oleh para Muslim sebagai
jalan untuk menegakkan kerajaan Tuhan, maka yang bukan “jalan Tuhan”, yang
seperti apakah menurut pendapat para Muslim yang selama ini merasa dirinya
paling tahu tentang Tuhan maupun isi pikiran dan kehendak Tuhan?