SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
Agama DOSA Vs. Agama SUCI dan Agama KSATRIA
Question: Ada yang menyebut-nyebut istilah agama langit dan agama bumi, memang apa maksudnya dan bila ada bedanya maka seperti apa contohnya?
Brief Answer: Disebut sebagai “agama langit”, karena merujuk
pada praktik janji-janji surgawi berupa iming-iming semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, ritual sembah-sujud maupun puja-puji
yang dinilai sebagai sarana untuk memurnikan / mensucikan diri, serta segala
sesuatu bersifat pemberian ataupun cobaan dari langit sehingga umat manusia
cukup (semalas serta securang) meminta dan memohon, tanpa daya sebatas sebagai seorang
“objek”—bukan sebagai seorang “subjek” yang memiliki daya untuk bertanggung-jawab
atas pilihan hidup dan kehidupannya sendiri. Karenanya, dibawah “agama langit”,
manusia ataupun seorang anak manusia hanya dapat memposisikan dirinya sebagai “korban”
keadaan, sebagai “penonton” belaka, bukan sebagai “pemain” yang berdaya menentukan
nasibnya sendiri.
Sebaliknya, kontras dengan yang disebut
sebelumnya, yang disebut sebagai “agama membumi” ialah suatu ajaran atau keyakinan
keagamaan yang tidak mengajarkan iming-iming yang bersifat irasional, namun
mengajarkan konsekuensi-kosekuensi di balik setiap pilihan hidup serta buah
dari setiap aksi (berupa reaksi)—karenanya disebut sebagai ajaran mengenai “hukum
sebab dan akibat”. Disebut demikian juga karena sifatnya yang tidak mengiming-imingi,
tidak menjanjikan bahwa dengan memeluk atau meyakini suatu ajaran tertentu maka
sang umat akan terjamin masuk alam surgawi ataupun terbebas dari kesengsaraan.
Karenanya, sifatnya ialah semacam pengetahuan
mengenai peta jalan menuju suatu pembebasan, dimana para siswa maupun para umat
itu sendiri yang berjuang dengan usahanya sendiri untuk berjalan dan menapak di
jalan spiritual tersebut. Ritual, tidak mensucikan diri pelaku ritual, namun
perbuatan seseorang itu sendirilah yang menjadi penentunya. Sebagai contoh, Sang
Buddha mencapai pencerahan atas hasil usahanya sendiri, bukan
pemberian juga bukan atas dasar permohonan kepada sosok eksternal diri—mulai dari
menanam parami dari banyak kehidupan
lampau sebelumnya, lalu bermuara pada perjuangan dan pengorbanan dalam rangka mencapai
pencerahan saat kehidupan Pangeran Siddhattha Gotama.
PEMBAHASAN:
Masing-masing, ada “segmen
pasarnya”-nya sendiri-sendiri. Adapun perihal “agama langit”, hanya diminati
oleh para pemalas dan para pecundang kehidupan—betapa tidak, mereka tidak
malu dan tidak takut berbuat dosa, semata mengandalkan iming-iming janji-janji “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dan disaat bersamaan
terlampau malas untuk merepotkan diri menanam benih Karma Baik, semata dengan
naif hanya ingin meminta, memohon, dan mengemis-ngemis pemberian untuk
diberikan pada dirinya (dicirikan dari kata “diberi”, seolah-olah sesuatu dapat
jatuh dari langit tanpa sebab mendahuluinya). Suatu jenis keyakinan yang sangat
amat kering-kerontang, yang mendegradasi dan mengancam peradaban umat manusia,
bahkan merusak “standar moralitas” para umat pemeluknya.
Sementara itu perihal “agama membumi”,
hanya diminati oleh para suciwan maupun para ksatria yang memang hidup secara “membumi”,
dimana rasio dan akal sehat serta perjuangan konkret menjadi pilar utamanya, sehingga
tidak semua orang sanggup dan berminat menapak di jalan penuh penempaan,
latihan diri, serta perjuangan sebagaimana menjadi urat nadi serta nafas kehidupan
dari “agama membumi”. Para siswa yang berlatih itu sendiri, yang “memakan
makanan yang bernutrisi dan bergizi” untuk sehat, tidak bisa orang lain yang
memakannya namun mengharap kita yang menjadi kenyang dan sehat. Kita sendiri-lah,
yang harus dan bertanggung-jawab dalam membawa diri kita keluar dari jeratan
siklus samsara, sang Guru Agung hanya memandu dan menunjukkan jalannya lewat
TELADAN nyata.
Diluar kategorisasi besar
antara “agama langit” dan “agama membumi”, kita mengenal pula tiga penggolongan
agama, yakni : “Agama DOSA”, “Agama SUCI”, dan “Agama KSATRIA”.
Mari kita telaah satu persatu ketiga kategorisasi agama yang kita kenal dan
eksis di dunia ini. Yang pertama, ialah “Agama DOSA”, apapun kemasan ataupun
jargon yang dilekatkan oleh para pengikut maupun juru kampanye dan
simpatisannya, esensinya ialah praktik ritual yang menekankan pada eksploitasi “dosa”,
alih-alih berfokus pada praktik latihan kesucian maupun jalan kebaikan yang
bebas dari segala noda dosa. Para umatnya, disebut sebagai seorang “PENDOSA”
(tentu saja!)—dimana ironisnya, bagaimana
mungkin seorang “PENDOSA” hendak berceramah atau memberi nasehat perihal cara
hidup suci, bersih, dan baik?
Disebut sebagai “Agama DOSA”,
semata karena “Kitab DOSA”-nya mengkampanyekan dan mempromosikan “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, tanpa malu dan tanpa “tabu”,
dimana dosa dan maksiat diberi ruang kompromi, namun disaat bersamaan
intoleran terhadap kemajemukan umat beragama. Hanya seorang pendosa,
yang membutuhkan iming-iming “korup” penuh kecurangan semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, itulah postulat utamanya.
Sekali lagi sekadar sebagai
penekanan, hanya seorang pendosa, yang bergantung, mengonsumsi, kecanduan,
serta menjadi pelanggan setia iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa”—dimana setiap kali beribadah, setiap hari raya, bahkan
setiap kali anggota keluarganya meninggal dunia, yang dimohon dan
dikumandangkan ialah “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih
memperhatikan tanggung-jawabnya atas nasib korban-korban mereka selama hidup. Menyepelekan
perasaan korban, dan disaat bersamaan meremehkan perbuatan buruk diri sendiri, itulah
ciri khas para pendosa.
Berikut salah satu cerminan, ideologi
yang mengajarkan, mengkampanyekan, mempromosikan, hingga memerintahkan untuk bersekutu
dengan dosa dalam rangka masuk alam “surgawi” (bagaimana mungkin, secara
rasional seseorang yang bersekutu dengan “dosa” sebagai “pendosa”, sebagai
jalan menuju “surga”, seolah-olah orang-orang jahat berhak memasuki alam surga
yang dipenuhi pendosa?), yang disebut-sebut sebagai “Agama DOSA” yang
bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati
BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku
tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat
mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah mencium kau,
aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki
mereka.”
[Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi dengan
PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Golongan kedua, kontras
berkebalikan dengan jenis agama yang disebutkan sebelumnya di atas, ialah “Agama
SUCI” bagi para suciwan selaku umatnya. Tentu saja, yang dipromosikan ialah
jalan hidup kesucian, kebaikan, dan kemurnian semata, tanpa satu nila atau noda
pun yang mengkampanyekan atau mempromosikan dosa maupun maksiat. Bagi mereka,
nila setitik (artinya) rusak susu sebelanga, tidak ingin ternoda dan tidak akan
menodai dirinya sendiri dengan dosa. Seorang suciwan, mewaspadai dan
memperhatikan perilaku dan perbuatannya sendiri, agar atau dalam rangka tidak
melukai, tidak merugikan, dan tidak menyakiti dirinya sendiri, orang lain,
ataupun makhluk hidup lainnya—karena itulah, suciwan mana yang membutuhkan iming-iming
ideologi korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”?
Bila di mata para pendosa, tidak berbuat dosa dan maksiat
ialah “MERUGI”—rugi, semata karena tidak memanfaatkan iming-iming ideologi curang
semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—maka di mata
para suciwan perbuatan-perbuatan rendah dan dangkal yang menodai dan mencemari
tangan ataupun diri dan pikirannya demikian adalah tabu, aib, serta tercela
yang harus diwaspadai dan dijauhi tanpa kenal kompromi, dan disaat bersamaan
toleran terhadap kemajemukan. Karenanya, tidak semua orang sanggup menjadi
seorang suciwan, jalan “sepi” yang penuh perjuangan dan pengendalian diri. Hanya
dengan cara menjadi seorang yang mulia, barulah kita baru dapat benar-benar memuliakan
nama Tuhan, alih-alih menjadi seorang “penjilat penuh dosa”.
Kini kita beralih pada golongan
agama ketiga, “Agama KSATRIA”. Bila para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba
menjadi “penjilat” (prestasi tertingginya ialah predikat “Maha Penjilat”),
namun disaat bersamaan “business as usual”
(memproduksi dan mencetak dosa, berkubang dosa, menimbun diri dengan dosa,
mengoleksi dosa, mengeksploitasi dosa, menabung dosa, melumuri tangan dan diri dengan
dosa, makan dan hidup dari dosa), maka para ksatria pun tidak luput dari
perbuatan keliru semacam melukai, merugikan, ataupun menyakiti orang lain
ataupun makhluk hidup lainnya—namun, para ksatria bersikap penuh
tanggung-jawab alih-alih lebih sibuk berkelit “seribu satu kata” sedemikian
rupa, lempar batu sembunyi tangan, lebih galak daripada korban yang menegur,
tabrak lari, merasa rugi bila bertanggung-jawab, takut dimintai
pertanggung-jawaban, ingkar janji dari tanggung-jawab, dan segala bentuk justifikasi
diri lainnya.
Para ksatria, entah korbannya
menuntut tanggung-jawab atau bahkan sama sekali tidak menyadari dirinya telah terluka
dan dirugikan oleh perbuatan ataupun sikap lalai / abai seorang ksatria, akan
tampil atas dasar inisiatif pribadinya untuk siap sedia bertanggung-jawab terhadap
para korbannya, sehingga tiada hutang Karma Buruk yang tersisa apapun diantara
mereka, “dibayar lunas”. Para ksatria pun alih-alih menjadi pengemis yang hanya
pandai meminta, memohon, dan mengemis-ngemis, lebih memilih untuk merepotkan diri
menanam benih Karma Baik, agar saat tiba waktu panen, menikmati hasil jirih-payahnya
sendiri untuk dinikmati manisnya oleh diri mereka sendiri—karena itulah, para
ksatria menjadi tuan atas hidup, diri, dan menjadi arsitek atas nasibnya
sendiri, penuh harga diri dan bermartabat.
Dengan cara itulah, para
ksatria memurnikan dirinya, kontras terhadap para pengecut (benama pendosa)
yang tidak ingin repot-repot merepotkan diri bertanggung-jawab terhadap korban
perbuatan atau kelalaiannya, namun ingin semudah dan segampang menyembah-sujud,
meminta dan memohon alih-alih repot-repot menanam, seringan “lip service” puja-puji, dan seenteng
menyanyikan lagu menyanjung Tuhan—seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa
dan butuh penjilat, alih-alih bersimpati terhadap nasib maupun hak-hak keadilan
korban yang menjerit menuntut keadilan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.