SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
Jangan Paksakan Diri maupun Keadaan, dan Jangan Bersikap
Seolah-Olah Tiada Orang yang Lebih Layak dan Lebih Tepat untuk menjadi Pilihan
Kita
Question: Yang disebut dengan relasi atau hubungan antar manusia yang sehat, positif, dan berfaedah, seperti apa bentuk dan contohnya?
Brief Answer: Relasi antar individu yang layak untuk dibangun
dan dijaga ikatan emosional maupun ikatan komitmennya, ialah relasi yang
dibangun diatas setidaknya tiga buah pilar penopang, antara lain:
1.) hubungan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak (sering disebut dengan istilah umumnya
sebagai “saling ber-simbiosis mutualisme”);
2.) bertimbal-balik
(resiprositas / resiprokal, alias “tidak bertepuk sebelah tangan”); dan
3.) tiada salah satu pihak yang
pada akhirnya akan berkata, “JIka
dari awal tahu bahwa ia
adalah seseorang yang ... , maka tidak akan pernah saya menjalin ... dengan dirinya
/ maka lebih baik tidak pernah mengenal dirinya”, alias kejujuran
berlandaskan asas transparansi dan akuntabilitas sebagai bentuk konkret saling menghargai
dan saling menghormati martabat satu sama lainnya.
PEMBAHASAN:
Tidak sedikit diantara kita,
yang membentuk “persona” (citra
imajiner) diri, berupa “topeng”, baik itu penghias tubuh seperti pernak-pernik
busana, asesoris, make-up wajah, potongan rambut, bahasa tubuh, pengharum
tubuh, pemutih kulit, maupun meriasi karakter kita seperti bersikap “seolah-olah”
sebagaimana tampak luar diri kita atau sebagaimana orang-orang eksternal diri melihat
diri kita sebatas dari “kulit luar”, dan disaat bersamaan menutup-nutupi segala
watak otentik diri (yang biasanya berupa berbagai kejelekan), semata agar
menciptakan imaji diri yang tampak ideal dan sempurna di mata orang lain
sebagaimana kita hendak agar orang lain yakin bahwa kita adalah pribadi yang sedemikian
ideal hampir sempurna adanya—alias bukan diri yang “apa adanya”.
Sungguh lebih membebaskan dan
lebih penuh kedamaian hati, berdamai dengan diri sendiri, lewat sikap yang “apa
adanya” tanpa perlu berletih-letih menghabiskan waktu dan energi untuk memasang
“persona”, tanpa polesan apapun—tanpa bermaksud untuk menihilkan pentingnya usaha
introspeksi dalam rangka perbaikan diri secara sungguh-sungguh untuk menuju ke
arah yang lebih baik—salah satunya sebagaimana pepatah berikut yang sangat amat
bermanfaat untuk kita renungkan serta praktikkan dikeseharian : “Be a good person, but don’t waste time to
prove it!”
Banyak pernikahan antar dua
orang mempelai, bermula dari suatu jalinan asmara percintaan ala drama yang berbunga-bunga,
serba semarak dan meriah, seolah-olah telah menemukan “belahan hati” yang selama
ini diimpi-impikan dan ditunggu-tunggu. Namun, ketika usia pernikahan mulai
beranjak tahun pertama, tahun kedua, mulai tampak secara berangsur-angsur secara
lebih jelas dan lebih dekat, sifat-sifat asli kedua pasangan suami-istri, yang
tidak pernah muncul saat pertama kali mereka berkenalan dan berpacaran (momen-momen
indah dimana semua serba tampak “manis” akibat delusi penuh fantasi). Tidak
jarang, berkenalan dan hidup selama puluhan tahun dengan seseorang, atau bahkan
anggota keluarga sendiri, tidak menjamin kita benar-benar memahami ataupun
mengetahui watak asli seseorang yang amat terampil memasang dan memakai “topeng”.
Kita bahkan mungkin juga belum benar-benar mengenal diri kita sendiri.
Sampai pada akhirnya, drama
percintaan berganti menjadi komitmen bersama untuk tetap melangsungkan
rumah-tangga demi kebaikan pertumbuhan anak-anak, meski kedua belah pihak saling
tidak lagi tampak mengagumkan sebagaimana delusi kedua belah pihak ketika
pertama kali memutuskan untuk menikahi satu sama lainnya. Coba saja Anda nikahi
artis atau bintang film, Anda akan terkejut bahwa sifat atau perangai asli
mereka akan berbeda jauh atau bahkan bertolak-belakang dengan peran yang pernah
mereka mainkan di sinema.
Di Jepang, terdapat budaya relasi
yang kurang sehat secara mentalitas kejiwaan, yakni kalangan wanita maupun
gadis diwajibkan oleh tradisi Jepang untuk selalu memberi reaksi atau respons
berupa senyum dan tersenyum, sekalipun sejatinya mereka merasa kecewa, tidak
setuju, sedih, marah, terkejut, menolak, sakit, kesal, dan sebagainya, yang
pada pokoknya dibiasakan menyembunyikan perasaan asli mereka sehingga segala
emosi negatif dalam diri mereka tidak dapat dicurahkan, disalurkan, ataupun
diekspresikan, menjelma “penyakit” mental yang bersarang dalam psikis mereka masing-masing.
Untuk selengkapnya, silahkan rujuk “teori ventilasi jendela” dalam literatur ilmu
psikologi, yang pada pokoknya menerangkan bahwa seseorang individu membutuhkan
penyaluran emosi negatif agar tidak bersarang dalam diri menjadi keruh dan
meracuni tubuh maupun pikiran.
Relasi yang baik, ialah relasi
yang tidak “timpang sebelah”, mengingat Sang Buddha telah pernah mengajarkan, “Perbuatan baik artinya, tidak merugikan orang lain, juga tidak merugikan diri kita
sendiri serta tanpa pula melecehkan diri kita sendiri,” Sebaliknya,
berlaku prinsip serupa, berbuat baik pada orang lain harus pula mendatangkan
faedah bagi diri kita—jika tidak, itu sama artinya kita sedang berhubungan dengan
seorang “lintah penghisap darah” ataupun “benalu” yang hanya tahu mengambil,
meminta, dan menghisap.
Bila orang lain merasa memiliki
“hak”, maka kita pun memiliki “hak” serupa terhadap mereka, sehingga saling
kontra-prestasi, “hak” mereka merupakan “kewajiban” di pundak kita, dan “kewajiban”
di pundak mereka merupakan “hak” bagi kita. Seseorang bermental “penjajah”, adalah
tidak terkecuali, memaksa orang lain untuk kerja rodi bagi kepentingan pribadi
sang “penjajah”, sementara itu yang dipaksa bekerja rodi hanya diberi makan “batu”.
Bila yang diperbudak ialah profesi seseorang, maka itu sama artinya suatu “pemerkosaan”
terhadap profesi orang lain—suatu sikap yang bahkan lebih hina daripada seorang
pengemis yang tidak mencari makan dengan cara merampas nasi dari piring milik
profesi orang lain.
Coba perhatikan, di Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia, terdapat salah satu pasalnya menyatakan : “Diberikan imbalan atas pekerjaan, merupakan hak
asasi manusia.” Yang melanggar norma konstitusi demikian, sama artinya
pelaku kejahatan terhadap hak asasi manusia seseorang warga lainnya yang sedang
mencari nafkah, dimana nafkah merupakan urusan serius perihal hidup dan matinya
seseorang beserta anggota keluarganya, sehingga pelecehan terhadap profesi
seseorang amatlah sangat tercela disamping terkutuk sifatnya. Mengganggu orang
yang sedang bekerja saja, sudah sangat buruk dan tercela, terlebih “memperkosa”
profesi orang lain.
Kini kita beralih pada unsur
kedua, yakni saling bertimbal-balik. Untuk dapat memiliki dan mempertahankan
relasi yang bersifat jangka panjang, maka perlu dipastikan bahwa relasi kita
tidak hanya menguntungkan salah satu pihak, entah pihak kita maupun pihak
seberang. Ibarat seseorang memiliki perasaan “suka” terhadap seseorang, namun
bilamana orang yang ia sukai tersebut tidak memiliki perasaan “suka” yang sama dan
setara terhadap pihak yang disebut pertama, maka relasi tidak dapat dipaksakan
untuk dijalin. Jika tidak demikian, maka yang ada ialah “kawin paksa” dengan mengatas-namakan
“cinta sepihak”.
Bertimbal-balik, dicirikan oleh
frasa kunci bernama “saling”. Semisal, saling kompromi kelebihan dan kekurangan
satu sama lain, saling toleran terhadap selera satu sama lainnya, saling
mengasihi, saling menyayangi, saling menjaga, saling merawat, saling menolong,
saling bergotong-royong, saling mengerti, saling melindungi, saling menegur dan
kesalahan satu sama lainnya, saling membangun, saling menyemangati, saling
tersenyum, saling memeluk, saling merawat, saling berempati, saling mengisi,
saling bekerja sama, saling ikhlas, saling sepakat, saling merelakan, saling
menepati janji, saling berkomitmen, saling bekerja keras, saling bersalaman—itulah
asal kata “tidak bertepuk sebelah tangan”.
Kini kita beralih pada unsur
ketiga, yakni tanyakan pertanyaan introspektif berikut pada diri Anda, semisal
bila Anda hendak melamar seorang pria / wanita yang Anda kasihi, untuk menjadi
pacar ataupun menjadi pasangan hidup Anda, apakah mereka akan menyatakan ini
dalam hati mereka kelak setelah relasi terjalin dalam jangka panjang, “JIka dari awal saya tahu ia ternyata adalah seseorang
yang ... , maka lebih baik saya ...”—adalah idealnya bila kalimat
selengkapnya ialah seperti : “JIka dari
awal saya tahu ia ternyata adalah seseorang yang lebih mulia dari yang saya duga
bayangkan sebelumnya, dan lebih banyak sifat-sifat baiknya ketimbang kelemahan-kelemahannya
dari tampak luar, maka lebih baik saya berkenalan dengannya terlebih dahulu sebelum
ia dilamar oleh orang lain”, alih-alih
“JIka dari awal saya tahu ia ternyata adalah seseorang yang tidak sebaik yang
selama ini ia tunjukkan dan lebih banyak sifat buruknya yang baru saya ketahui
dibelakang hari, maka lebih baik saya tidak pernah kenal dengannya seumur hidup”.
Demikianlah relasi yang sehat
seyogianya dibangun, dirawat, serta dilestarikan. Ketika terjadi relasi yang
timpang, dalam artian satu atau lebih unsur sebagaimana telah diuraikan di
atas, telah ternyata absen dihadirkan oleh pihak seberang, maka kita tidak
perlu memaksakan diri untuk membangun dan mempertahankan relasi dengannya. Sebagaimana
disabdakan oleh Sang Buddha, “Ketika
kita mendapati bahwa tiada orang yang sepadang dengan kita untuk menjadi rekan
seperjalanan, maka lebih baik kita beranikan diri untuk berjalan seorang diri.”
Untuk membangun rumah tangga,
rekanan bisnis, pegawai, anggota organisasi, maka pastikan kedua belah pihak
saling memiliki kebijaksanaan yang setaraf, atau setidaknya tidak terlampau “timpang
sebelah”, bilamana kondisi yang ideal tidak selalu dapat kita bangun, ciptakan,
dan pertahankan sepanjang waktu. Kondsikan relasi yang ideal, agar kita tidak
menyesal dikemudian hari dan tidak perlu menunggu menyesal dikemudian hari,
mengingat “menyesal selalu datang terlambat” ketika semuanya telah “nasi
menjadi bubur” dimana waktu tidak dapat diputar kembali.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.