SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
Perlakukan Orang Lain sebagaimana Kita
ingin Diperlakukan, dan Jangan Perlakukan Orang Lain sebagaimana Kita pun Tidak
ingin Diperlakukan
Question: Seseorang merasa senang dan gembira ketika melakukan aktivitas yang menimbulkan suara berisik seperti mengemudikan kendaraan motor dengan knalpot bersuara keras, bermain petasan, memutar musik lewat sound system secara keras-keras, sekalipun tidak semua orang menyukainya atau malah terganggu. Begitupula kesenangan yang menimbulkan polusi udara, dan sebagainya. Ada pepatah bilang, perlakukan pihak lain seperti ketika kita ingin diperlakukan. Bukankah justru itu jadi masalah, karena selera atau preferensi setiap orang saling berbeda-beda satu sama lainnya?
Brief Answer: Prinsip demikian dikenal juga dengan julukan
sebagai “prinsip emas” (golden principle),
dengan adagium lengkapnya ialah : Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin
diperlakukan, dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin
diperlakukan. Pendekatan prinsip ini tidaklah dimaknai sedangkal perbedaan pada
persoalan selera, dimana selera tidak dapat dipersengketakan, karena memperlakukan
orang lain dengan semata memakai “standar hidup” kita pribadi tentunya tidaklah
bijaksana (namun bijaksini), karena itu sama artinya sebagai penyamarataan yang
tidak seragam disamping bentuk pemaksaan itu sendiri. Bila Anda tidak ingin
dipaksa atas sesuatu apa yang belum tentu Anda sukai, maka Anda pun tidak
dibenarkan untuk memaksakan sesuatu kepada orang lain yang belum tentu mereka sukai.
PEMBAHASAN:
Terdapat pula ragam variasi “prinsip
emas” tersebut di atas, yakni modifikasinya menjadi berbunyi : “Perlakukan orang
lain sebagaimana MEREKA ingin diperlakukan. Jangan perlakukan orang lain
sebagaimana MEREKA tidak ingin diperlakukan.” Namun pada pokoknya ialah sama
saja, yakni semua orang ingin diperlakukan secara dihormati harkat dan
martabatnya, dihargai eksistensinya, tidak ingin dirampas kedamaian dan
ketenangan hidupnya, tidak ingin diganggu properti miliknya, tidak ingin
disakiti, menuntut apa yang menjadi haknya, menyukai hal yang menyenangkan dan
menjauhi hal yang menyakitkan, diperlakukan secara adil dan patut, yang mana
kesemua itu merupakan pengetahuan mengenai psikologi mendasar manusia serta juga
merupakan asas-asas yang berlaku secara universal.
Karenanya, sebagai contoh, betapa
toleransi dan kompromi menjadi elemen kohesi penting relasi yang sehat antar umat
manusia, dapat diilustrasikan ketika kita bersama seorang sahabat terpaksa harus
mengunjungi sebuah hotel dan bermalam satu kamar di tempat tersebut, maka kita
tidak perlu menunggu rekan kita untuk menegur bahwa dirinya tidak kuat udara dingin,
juga cuaca pada malam hari itu sedang turun hujan dan cukup dingin iklim
daerahnya, sehingga keberatan ketika kita menghidup Air Conditioner (AC). Kita yang
(justru) perlu proaktif dan berangkat dari kesadaran ataupun inisiatif pribadi
untuk bertanya : “Apakah Engkau keberatan,
bila kita hidupkan AC di kamar ini?” Bertanya menjadi penting, agar tercipta
konsensus yang tidak merugikan pihak manapun, saling mundur satu langkah, ataupun
pihak yang harus mengalah dan mundur satu langkah tidak dirugikan sepenuhnya
secara sepihak.
Jalan tengah, demokratis, dan
bersikap moderat, itulah ruang dimana “win
win solution” dapat terbentuk. Prinsip emas ini menekankan agar
seseorang tidaklah bergembira diatas kerugian orang lain, ataupun mengambil
keuntungan diatas penderitaan orang lain sebagai esensinya. Meski demikian,
adalah sukar untuk menentukan patokan empati ketika kita menggunakan pemilikan
suku kata “perlakukan orang lain sebagaimana MEREKA ingin diperlakukan”, alih-alih
“perlakukan orang lain sebagaimana KITA ingin diperlakukan”. Bisa dikatakan,
prinsip emas ini membutuhkan tingkat EQ tertentu yang memadai yang dapat
dilatih keterampilannya lewat praktik pembiasaan, namun tidak menuntut tingkat
EQ yang tinggi sekali adanya.
Empati, mengandalkan daya
introspektif kedalam diri kita sendiri secara sentripetal, sementara itu
penggunaan istilah atau frasa “mereka” lebih merupakan bentuk perhatian
sentrifugal yang mana tidak membutuhkan pengandaian namun harus bertanya kepada
setiap orang yang kita jumpai dan itu sangat tidak efisien kecuali terhadap
pasangan hidup ataupun anggota keluarga yang hidup bersama kita dalam satu
rumah tangga, ataupun seperti anggota komunitas tertutup pada lembaga
pendidikan maupun perkantoran tempat kita bekerja.
Ketika orang lain menyatakan “tidak
suka diperlakukan demikian”, maka kita pun akan menolak sesuatu hal (entah hal
yang sama ataupun hal yang lain) yang membuat kita juga melontarkan pernyataan “tidak
suka diperlakukan demikian”. Perihal apa yang menjadi “demikian” tersebut,
tidaklah relevan, yang relavan ialah pertanyaan utamanya : orang tersebut suka
atau tidak suka diperlakukan demikian? Jika menjawab secara verbal
maupun secara non-verbal sebagai “tidak suka”, maka hentikan perbuatan kita. Prinsip
emas tidak mempersoalkan pernak-pernik semacam “pakai AC” atau “tidak pakai AC”,
dimana fokus perhatiannya ialah “suka” atau “tidak suka”-nya para pihak, “bersedia”
atau “tidak bersedianya” para pihak, maupun seperti “setuju” atau “tidak setujunya”
para pihak.
Dalam berniaga, semisal
transaksi dalam relasi tawar-menawar antara pihak penjual dan pihak pembeli,
pastikan untuk terbentuk relasi yang sehat berupa “sama-sama ikhlas”. Hindari bentuk-bentuk
yang timpang sebelah, sebagai akibat penyalahgunaan daya tawar maupun posisi
dominan salah satu pihak sehingga tidak tercipta kondisi “sama-sama rela
melepas dan membayar” sebagai muaranya. Relasi yang sehat ialah, sama-sama menguntungkan—simbiosis mutualisme—bukan menguntungkan
salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain disaat bersamaan. Menjadi konsisten
dengan sabda Sang Buddha, bahwa yang disebut sebagai perbuatan baik
artinya, tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri kita sendiri.
Tiada orang yang ingin
dirugikan terlebih dikorbankan, semua pihak ingin diuntungkan—inilah yang dimaksudkan oleh
prinsip emas, tujuannya tercipta “sama-sama diuntungkan tanpa ada yang
dirugikan” alias “sama-sama senang”. Titik ekuilibrium dalam contoh
bertransaksi pada dunia niaya, ialah harga jual produk jual-beli di pasar yang
sifatnya terjangkau bagi konsumen dimana pihak penjual tetap memperoleh
keuntungan secara sewajarnya. Dengan demikian, tiada pihak yang dikorbankan demi
keuntungan salah satu pihak, semata karena memang tiada seorang pun ingin
terjebak dalam kondisi semacam itu, dimana empati yang sederhana saja sudah
cukup untuk menjelaskan, bila kita bersedia untuk berempati.
Sebaliknya, tiada dapat kita
benarkan sikap-sikap semacam “mau menang sendiri”, “mau enak sendiri”, “mau
untung sendiri”, “mau seenaknya sendiri”, “mau kemauan sendiri”, yang sifatnya
sepihak tanpa konsensus—tanpa konsensus juga tanpa toleransi ataupun membuka
ruang bagi kompromi, itulah kata kuncinya dibalik keberlakuan prinsip emas. Memang
cukup memprihatinkan serta ironis, untuk prinsip mendasar semacam bahasan ini
saja, banyak diantara masyarakat kita yang berpendidikan hingga perguruan
tinggi sekalipun, tidak memahami ataupun menyadarinya, namun hidup bermasyarakat
dan berbangsa sebagai anggota masyarakat.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.