SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
Question: Ada yang namanya Kode Etik Jurnalistik bagi
kalangan profesi pers, Kode Etik Tenaga Medik bagi tenaga kesehatan, maupun Kode
Etik profesi-profesi lainnya. Menjadi mengherankan, ketika umur umat manusia
sudah sama tuanya dengan usia Planet Bumi ini, namun belum juga ada semacam
Kode Etik Manusia bagi kita yang mengaku sebagai seorang manusia ataupun sebagai
seorang warga suatu bangsa.
Ataukah memang bangsa kita selama ini tidak merasa membutuhkan hal semacam Kode Etik untuk hidup berbangsa dan bernegara, sebagai sesama umat manusia? Jika deklarasi semacam Hak Asasi Manusia dicetuskan lembaga persatuan bangsa-bangsa dan diakui oleh seluruh dunia, maka mengapa deklarasi semacam Kode Etik Manusia seolah dinomorduakan atau bahkan dipandang sepele dan “sebelah mata”?
Brief Answer: Sebagai salah seorang umat manusia yang saling
berbagi ruang gerak, ruang nafas, serta sumber daya alam, sehingga seorang
manusia serta sebagai sesama umat manusia seyogianya bersikap saling “humanis”,
alih-alih “hewanis” maupun “premanis”. Ketika kalangan orangtua di rumah, guru
di sekolah, pemuka agama di tempat ibadah, maupun pemerintah selaku otoritas
suatu negara, abai dan lalai untuk mempersiapkan dan membekali seorang anak
dengan pengetahuan mengenai Kode Etik Manusia sebagai seorang manusia, maka
memang kita sebagai bagian dari anggota masyarakat perlu mulai mengkampanyekan,
mempromosikan, dan mereproduksi konsep-konsep mengenai Kode Etik Manusia lewat
teladan nyata, bukan sekadar slogan minim esensi.
Kode Etik Manusia adalah berlainan karakter
maupun nature-nya dengan
konsep-konsep semacam hak asasi manusia, dan berbeda pula dengan budi pekerti,
ataupun semacam budaya dan kearifan lokal. Kode Etik Manusia lebih mendekati
konsep “etika universal”, tidak sebatas “etika situasional” semacam “norma
sosial” ataupun adat-istiadat setempat. Etika, lebih mendekati estetika seorang
manusia agar tampak “estetik” di mata dan di telinga orang lain.
Perihal “etis” atau “tidak etis”-nya perbuatan
maupun ucapan seseorang, terkadang tidak terkait erat dengan “etika global”
maupun “etika lokal”, dimana tidak jarang sama sekali tidak saling terkait satu
sama lainnya—etika lokal kadang menjadikan kebiasaan minum-minuman keras
sebagai bagian dari tradisi yang mendarah-daging, bahkan untuk menjalin relasi
sosial, sekalipun tidak etis adanya mengonsumsi makanan maupun minuman yang
melemahkan kesadaran.
Sementara itu, dapat kita katakan bahwa Kode Etik
Manusia ialah lebih condong menekan fungsi utamanya dalam rangka menjadikan
setiap individu adalah individu yang profesional dan bersikap profesional
sebagai manusia sesama anggota keluarga, anggota komunitas pekerjaan, anggota
komunitas sekolah, maupun sebagai antar manusia yang saling berbangsa dan
bernegara, tidak terkecuali bersikap profesional terhadap dirinya sendiri.
Tanpa dibekali paradigma berpikir mengenai Kode
Etik Manusia, maka seorang manusia menjadi tidak ubahnya seekor hewan yang
dapat sangat serampangan, tidak bertanggung-jawab, merusak, berbahaya, serakah,
serta liar tanpa kendali diri. Seorang istri memiliki Kode Etik sebagai istri
yang profesional dalam rumah tangganya, begitupula sang suami, dan anak-anak
maupun pembantu rumah tangga, masing-masing bersikap profesional satu sama
lainnya.
Perihal bagaimana mengkonkretkannya, adalah memang
merupakan tugas utama para kalangan orangtua di rumah, guru di sekolah, dan
para pemuka agama di tempat ibadah dalam mengedukasi maupun mengkampanyekannya
secara konkret, tidak berupa jargon yang “kopong” atau kosong esensinya. Bila
konsep semacam hak asasi manusia telah dikristalisasi dan diakomodasi ke dalam
norma hukum serta pula menjadi kurikulum pendidikan formal, maka konsep semacam
Kode Etik Manusia pun perlu diangkat ke permukaan dan dipromosikan kepada
publik luas sebagai junjungan tertinggi suatu bangsa beradab.
PEMBAHASAN:
Disamping pengetahuan perihal
Kode Etik Manusia, yang juga abai dijadikan materi edukasi formal maupun
nonformil di Republik Indonesia ini adalah perihal keterampilan berumah-tangga
sebagai sepasang suami-istri, ilmu parenting
(cara mengasuh anak), yang seolah-olah dinomorduakan sekalipun ilmu-ilmu
pengetahuan dan keterampilan praktis tersebut justru dapat menjadi bekal hidup
kita dan generasi penerus kita di keseharian. Seorang istri bersikap
profesional terhadap suami dan anak-anaknya, sementara itu sang suami bersikap
profesional terhadap istri dan putera-puterinya, tidak terkecuali seorang anak
pun bersikap profesional terhadap orangtua maupun terhadap diri mereka
masing-masing.
Pada prinsipnya, hidup secara
serampangan ialah mudah alias tidaklah sukar, karena tidak mengenal disiplin
diri maupun aturan hidup. Menjadi pribadi dan individu yang profesional
bermakna, tahu batas diri dan mampu mengendalikan diri serta menyadari apa yang
memang menjadi tanggung-jawab dirinya sebagai anggota komunitas maupun sebagai
anggota keluarga. Be a professional
person, memang harus dipelajari pengetahuan dan keterampilan dibaliknya.
Seseorang tidak akan tumbuh dewasa dan menjadi seorang profesional secara
sendirinya. Profesi dan profesional, artinya sebentuk pengabdian hidup dalam
sebuah ikatan komitmen yang bekerja dibaliknya.
Kode Etik Manusia perlu disusun
secara sistematik maupun metode studinya semacam silabus dalam kegiatan
belajar-mengajar pada lembaga pendidikan formil maupun informil, bahkan sejak
seorang peserta didik masih di bangku Sekolah Dasar atau sedini mungkin di
rumah, lewat penyampaian pesan, pemberian teladan yang konsisten antara apa
yang menjadi materi komunikasi dan perilaku, peng-kondisi-an serta pembiasaan,
hingga kampanye berskala masif agar substansi-substansi terkait Kode Etik
Manusia maulai dikenal serta “membumi” dan “mendunia”. Dengan kata lain,
gerakan mempromosikan konsep semacam Kode Etik Manusia perlu dikampanyekan
secara meluas dan berskala masif-tersistematis sebagai gerakan “kita bersama-sama”
dan “dari kita semua untuk kita semua”.
Yang menjadi Kode Etik Manusia,
sangatlah multifaset sifatnya, tidak sesederhana konsep konvensional semacam
Hak Asasi Manusia, meski Kode Etik Manusia bersifat universal, tidak bersifat kasuistik
sesuai tempat dan kondisinya pada suatu bangsa atau daerah, semata karena
dengan Kode Etik Manusia ini seorang manusia dapat membedakan dirinya dengan
seekor hewan yang tidak humanis dan tidak beradab. Seekor hewan, hanya
melakukan aktivitas antara makan, tidur, dan berkembang biak. Bila seorang
manusia tidak memiliki suatu profesi yang “humanis” untuk dapat disebut sebagai
seorang manusia yang membedakan dirinya dari seekor hewan, seperti hanya hidup
untuk makan-minum, tidur, serta berhubungan seksuil, maka sejatinya ia hanyalah
“manusia hewan”—belum dapat disebut sebagai “manusia manusia” terlebih “manusia
dewa”.
Salah satu contoh Kode Etik
Manusia yang bersifat universal ialah, kredo bahwa kita sepatutnya
menghargai dan menghomati profesi orang lain sebagaimana kita hendak agar
profesi kita dihargai dan dihormati. Bahasan dalam kesempatan kali ini
hanya akan membatasi ruang lingkup telaah pada salah satu Kode Etik Manusia
tersebut secara komprehensif. Ketika kita mengetahui bahwa seseorang berkerja
mencari nafkah sebagai seorang penyedia jasa, semisal sebagai seorang konsultan
hukum, maka adalah tidak etis serta tercela bilamana seseorang meminta dilayani
tanya-jawab seputar hukum tanpa disaat bersamaan menyatakan kesediaan membayar
tarif layanan jasa (bahkan bertanya tarif jasa pun tidak, alias meminta
dilayani tanpa bersedia membayar sepeser pun, alias pelecehan terhadap profesi
orang lain itu sendiri).
Sudah jelas bahwa seorang
konsultan hukum mencari nafkah dengan menjual jasa, sehingga apa yang sudah jelas-jelas
dijual masih juga diminta tanpa harga sepeser pun yang bersedia dibayar oleh
pengguna jasa, itu sama melecehkannya dengan memperkosa dan pemerkosaan
terhadap profesi orang lain. Bila mencari nafkah secara legal dan jujur serta
lurus, merupakan hal yang mulia, maka adalah tindakan yang bahkan lebih hina
daripada seorang pengemis ketika seseorang warga justru merampok nasi dari
piring milk profesi orang lain—seorang pengemis bahkan masih memiliki harga diri,
dengan menghormati profesi orang lain.
Untuk berprofesi dan menjadi seorang
profesional, dibutuhkan pengorbanan tidak sedikit serta pengabdian, dari segi
biaya, modal, komitmen, waktu, bahkan tidak jarang “air mata dan tetesan keringat-darah”
serta jam terbang yang mencapai puluhan ribu jam, karenanya perlu diberi
apresiasi serta imbalan sebagai kompensasinya oleh pengguna jasa. Dimana bahkan,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah menyatakan dalam salah satu pasalnya,
hak untuk memperoleh imbalan atas pekerjaan merupakan HAK ASASI MANUSIA—yang
karenanya merampas hak seseorang warga atas nafkah profesinya merupakan
kejahatan terhadap hak asasi manusia dan dapat disejajarkan dengan “penjahat
HAM”.
Lain halnya bilamana terdapat
seorang lulusan fakultas kedokteran, namun telah ternyata berprofesi diluar
bidang medik kedokteran, terjadi semisal karena tidak kompeten ilmu pengetahuan
maupun keterampilan medik yang bersangkutan yang hanya sekadar lulus ala
kadarnya (secara pas-pas-an), maka bila ada orang-orang yang meminta bantuan
pertolongan medik pada yang bersangkutan dan yang bersangkutan bersedia
menolong tanpa imbalan jasa seperak pun, maka itu masih dapat dimaklumi—dimana
resiko menghantui pihak yang meminta pertolongan dari pihak-pihak yang tidak
kompeten menolong, terlagi pula yang dimintai tolong tidak menggantungkan nasib
sumber nafkah bagi penghidupannya dari bidang layanan jasa medik.
Menjadi tidak waras, ketika
seseorang menghakimi dan melecehkan seorang penyedia jasa dengan diskredit
verbal berupa makian “MATA DUITAN” ketika sang penyedia jasa tidak bersedia profesinya
dilecehkan dan dieksploitasi tanpa bayaran seperak pun—lantas apanya lagi yang perlu
dinegosiasikan bila tawarannya ialah “diberi makan batu” sebagai kompensasinya?—sementara
itu pihak yang menuntut untuk dilayani itu sendiri dengan serakahnya masih juga
merampok nasi dari piring orang lain yang sedang mencari nafkah, dari piring
milik orang lain yang bisa jadi lebih miskin daripada sang “pemerkosa profesi
orang lain”, tanpa hak dan tanpa malu tampil dengan gagahnya bak seorang
penjajah terhadap budak “kerja rodi”.
Ada hak, maka ada kewajiban. Mengklaim
memiliki hak yang mewajibkan orang lain, artinya dirinya sendiri memiliki
kewajiban berupa membayar sejumlah tarif jasa yang menjadi hak dari penyedia
jasa—asas resiprositas /
resiprokal, prinsip bertimbal-balik. Bila diri sang “pemerkosa” itu sendiri
selama ini mencari nafkah dari bekerja sebagai pegawai kantoran, dan menuntut
upah dari pemberi kerja, menjadi absurd serta “serakah” bila dirinya sendiri
justru memperlakukan profesi orang lain tidak secara hormat dan tidak saling
menghargai satu sama lainnya. Tidak terkecuali bila pelakunya mencari sumber nafkah
dari menjual barang, maka ketika ia menjual barang dan menuntut harga atas
barang yang dijual olehnya, bukankah itu berarti ia sendiri merupakan seorang “mata
duitan” alias “maling teriak maling”?
Bila seseorang gagal dan tidak
mau menghormati ataupun menghargai profesi orang lain, maka adalah tuntutan
yang berlebihan bila dirinya sendiri menuntut agar orang lain menghargai dan
menghormati profesi dirinya—sama irasionalnya ketika seseorang selama ini
menghimpun kekayaan dengan cara menipu, ingkar janji, dan mengorupsi hak-hak orang
lain, lantas berkeberatan ketika dirinya dikemudian hari menjadi korban
penipuan, ingkar janji, dan dikorupsi hak-haknya; atau sebaliknya ketika
seseorang menjadi korban penipuan, ingkar janji, dan dikorupsi hak-haknya,
lantas dari korban (kemudian justru) menjelma menjadi pelaku penipuan, ingkar
janji, dan mengorupsi hak-hak orang lain seolah tida memiliki kemampuan untuk
berempati dan merasakan prihatin. Kedua jenis tipikal manusia di atas, sangat
jamak dapat kita jumpai di tengah masyarakat kita di Indonesia yang kulturnya
masih “tidak sehat” dan jauh dari kata “beradab”.
Kode Etik Manusia kedua, ialah
sebagai seorang penyedia barang / jasa (penjual / produsen) terhadap pihak
pengguna barang / jasa (konsumen). Secara singkat, penulis kutipkan dua buah
komentar yang pernah penulis uraikan sebagai tanggapan terhadap praktik
penyedia barang yang tidak menghargai hak-hak konsumen selaku pengguna barang
dan pembayar harga jual-beli. Yang pertama ialah tanggapan tertulis penulis
terhadap sebuah toko buku yang “mau menang dan mau untung sendiri” dengan
membiarkan pembeli buku yang mereka jual sebagai korban yang di-”tumbalkan” hak-haknya,
dengan kutipan sebagai berikut:
Saya pernah beli buku Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tuliasn Prof. Subekti dengan harga / uang UTUH
PENUH. Setelah sampai di rumah, dibuka sampulnya, ternyata ada puluhan halaman
yang cacat alias tidak lengkap.
Saat esoknya komplain ke
petugas di toko buku penipu tersebut, mereka mengoceh-ngoceh dan menggerutu
yang pada pokoknya TIDAK MAU BERTANGGUNG JAWAB meski menjual produk yang
mengandung CACAT TERSEMBUNYI!
Sekalipun sudah jelas, ada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, mereka bersikukuh tidak mau bertanggung
jawab, dan RESIKO USAHA mereka dilimpahkan sepenuhnya kepada konsumen.
Itu sikap MAU MENANG SENDIRI
alias TIDAK BERTANGGUNG JAWAB. Konsumen telah bayar penuh utuh, dan mereka
tidak perlu pusing saya selaku konsumen mendapat uang dari mana. Karenanya,
saya pun tidak mau dipusingkan oleh mereka yang mengoceh-ngoceh karena itu
bukan urusan saya dan menjadi RESIKO USAHA toko buku ketika menjual buku CACAT.
Konsumen Cerdas, pilih toko
buku yang tidak pakai banyak alasan bila buku cacat, mereka akan tawarkan buku
dengan judul serupa atau buku lain dengan harga yang setara.
Yang kedua ialah praktik sebuah
rumah makan yang demikian angkuhnya, bahkan bersikap seolah-olah konsumen yang
membutuhkan mereka bukan sebaliknya “saling membutuhkan”, yang dapat menjadi
pembelajaran bagi banyak kalangan penyedia produk makanan olahan seperti rumah
makan atau bisnis kuliner lainnya untuk memperlakukan calon konsumen dan
pelanggannya secara manusiawi, dengan kutipan sebagai berikut:
Pemilik rumah makan tersebut
adalah orang SOMBONG yang merasa berhak menghina dan melecehkan tamu (calon
konsumen) yang hanya menggunakan haknya seperti bertanya menu masakan yang
dijual serta harga disamping isi menu.
Bagaimana mungkin, calon
pembeli disuruh BELI KUCING DALAM KARUNG, dengan tidak boleh mengetahui isinya
apa saja, dagingnya menggunakan daging apa, dsb? Bertanya harga, dimarahin oleh
penjualnya / pemilik rumah makan. Bertanya menu seperti (menjual apa saja),
dihina. Mengatakan “Jual gado-gado”, namun ketika pembeli hendak membeli,
dijawab, “sudah habis”.
Sekadar informasi, harga
masakan di rumah makan tersebut TIDAK MURAH, ALIAS MAHAL! Tapi soal pelayanan,
lebih ramah Warung Tegal, padahal rumah makan Bakmi Gramedia tergolong SEPI
PEMBELI MESKI DI JAM MAKAN SIANG MAUPUN JAM SARAPAN PAGI!
Bagi para warga, janganlah
bersikap seolah-olah tidak ada rumah bakan bakmie lain di wilayah tersebut.
Dalam radius 200 meter dari rumah makan SOMBONG tersebut, berjejeran rumah
makan bakmie lainnya yang lebih ramah juga lebih ekonomis.
Lucu sekali, menu pun TIDAK
PUNYA. Sungguh rumah makan yang TIDAK PROFESIONAL, AROGAN, DAN SOMBONG!
Sang pemilik, ketika saya
tegur, “Bertanya harga saja, dimarahin!?” Ia menjawab, “Saya sedang cape
memasak!”
ITU BUKAN URUSAN KONSUMEN! JIKA
TIDAK MAU REPOT, JANGAN BUKA TOKO DAN JANGAN JUALAN!
Rumah makan tersebut tergolong
SERAKAH. Betapa tidak, ingin buka warung gado-gado, ingin jual ini itu, jual
nasi tim, jujul bubur, tapi TIDAK INGIN CAPE DAN TIDAK INGIN REPOT-REPOT?
YA MATI DAN GULUNG TIKAR SAJA
SANA, TIDAK REPOT-REPOT DAN TIDAK CAPE LAGI JADINYA!
TIDAK PROFESIONAL, kepada tamu
calon pembeli dimaki dengan alasan “SEDANG CAPE”?
Itu resiko usaha pemilik rumah
makan, bukan urusan pembeli ataupun tamu.
Tidak heran rumah makannya SEPI
PENGUNJUNG! Itulah sebabnya Bakmi tersebut sepi pembeli!
Apa pemilik rumah makan
tersebut mau tahu, betapa repot dan cape-nya pembeli cari uang untuk bisa beli
masakan yang mereka jual?
Per 24 Oktober 2021, saat
ekonomi Indonesia dan global sedang tiarap akibat wabah, rumah makan tersebut menjual
bihun / bakmi Rp. 24.000 dan nasi tim Rp. 26.000. Harga MAHAL tapi pelayanan
AROGAN dan dilengkapi bumbu hinaan dan makian yang melecehkan konsumen.
Akhirnya, saya beli nasi tim,
saya bayar, lalu pulang sembari berkata, “TANYA HARGA SAJA, DIMARAHIN! KAPOK
SAYA BELI DI RUMAH MAKAN KAMU!”
Saking kikir dan serakahnya
pemilik Bakmi Gramedia, tidak mau keluar biaya untuk sewa / gaji karyawan.
Ingin jual ini itu, bahkan ingin pula dlayani oleh konsumen pembayar?
CAPEK???? Konsumen pembayar
BUKANLAH BABYSITTER ANDA, pemilik rumah makan!
BAHKAN MENU MASAKAN DAN DAFTAR
HARGA PUN TIDAK ADA, DIMANA TAMU CALON PEMBELI DIPERLAKUKAN BAK KASTA RENDAHAN!
Saya tidak datang untuk
mengemis, juga tidak meminta-minta, menawar harga pun tidak, hanya menggunakan
HAK KONSUMEN UNTUK TAHU APA YANG DIBELI DAN DIMAKAN, SERTA SEKADAR BERTANYA
MENU MASAKAN APA SAJA YANG TERSEDIA DAN DIJUAL, SERTA HARGA YANG HARUS
DIBAYARKAN PEMBELI, APA SALAH?
Jawabannya, “SALAH”, itulah
kata enci-enci pemilik rumah makan tersebut.
JIka para pembaca tidak ingin
menjadi konsumen yang bodoh, maka jadilah konsumen yang cerdas, dengan tidak
bersikap seolah-olah tidak ada rumah makan bakmie lain yang lebih beradab dan
lebih humanis ketimbang rumah makan AROGAN SOMBONG.
Rumah makannya saja sepi namun
sudah demikian AROGAN. Mereka pikir siapa diri mereka?
CUSTOMER IS THE KING, itulah
prinsip dasar marketing penjual yang tahu cara berdagang, bukannya justru
bersikap bak BOS BESAR terhadap konsumen dan pembeli diperlakukan seperti
seorang pengemis!
Singkatnya, konsep mengenai
Kode Etik manusia mengajak kita untuk bersikap saling profesional
terhadap diri kita sendiri dan terhadap orang lain, terutama sikap penuh
tanggung-jawab, saling menghargai dan saling menghormati selayaknya seseorang
yang profesional satu sama lainnya. Bukan hanya dalam urusan karir, kita
harus bersikap profesional dan dibatasi oleh rambu-rambu Kode Etik. Dalam kehidupan
sehari-hari sebagai anggota keluarga, sebagai anggota komunitas, sebagai
anggota berbangsa dan bernegara, kita pun perlu bersikap saling profesional
satu sama lainnya. Tentu saja, sifatnya ialah saling bertanggung-jawab
satu sama lainnya, semata agar tidak “bertepuk sebelah tangan”, karenanya
perlu itikad baik kedua belah pihak menjalankan prinsip resiprositas berupa “saling
bersikap profesional”.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.